*Spoiler Alert: Artikel ini mengandung bocoran film Hiruk-Pikuk Si Al-Kisah atau The Science of Fictions yang bisa saja mengganggu buat kalian yang belum menonton.
Tahun lalu, di sebuah ajang kompetisi film internasional bertajuk Locarno Film Festival, Hiruk-Pikuk Si Al-Kisah mendapat piala sebagai bentuk penghargaan atas kualitas ceritanya. Setahun berselang, film ini dihujani 10 nominasi Festival Film Indonesia 2020 dan meraih Piala Citra “Aktor Terbaik”.
Sebelumnya, film berjudul lain The Science of Fictions ini sudah berkeliling festival film internasional. Hingga pada 10 Desember, film yang digarap Yosep Anggi Noen ini pulang ke Tanah Air dengan diputarnya di bioskop.
Film ini dibintangi oleh Gunawan Maryanto sebagai Siman, Yudi Ahmad Tajudin sebagai Ndapuk atau Tupon, Lukman Sardi sebagai Jumik, Asmara Abigail sebagai Nadiyah, dan sederet pemain lain.
Penasaran seberapa menariknya film Hiruk-Pikuk Si Al-Kisah atau The Science of Fictions ini? Simak review khas KINCIR di bawah ini.
Tentang Siman dan Fiksi-fiksi di Sekitarnya
Film The Science of Fictions ini bercerita tentang Siman, seorang pria yang menjadi saksi konspirasi dunia, yakni pendaratan manusia pertama di Bulan. Premis awal ini jadi hal menarik dan bikin pertanyaan baru, “bagaimana jika pendaratan manusia di Bulan selama ini hanya fiksi dan itu direkam di sebuah padang pasir di desa Siman?”
Melihat hal tersebut, Siman ketahuan. Dia diminta menggigit lidahnya, bahkan lidahnya dipotong oleh sang kreator! Setelah itu, hari-hari Siman hanyalah tentang trauma dan pengungkapan sejarah.
Dirinya yang tak bisa bicara lagi, mencoba menyampaikan pada publik kebohongan pendaratan di Bulan tersebut lewat gerakan lambatnya yang menyerupai astronot, persis adegan syuting yang dilihatnya.
Gerakan lambat Siman adalah upayanya menyampaikan apa yang dia lihat. Namun, semua orang tidak mengerti dan menganggap Siman gila. Ibunya depresi kemudian gantung diri. Beberapa kawannya ditangkap karena dituduh PKI. Siman sendiri, tapi film tidak selesai di situ.
Film berubah dari latar tahun 1966 ke masa kini. Siman bekerja sebagai kuli panggul di pasar dan telah meninggalkan rumahnya yang lama untuk membangun sebuah rumah baru yang menggunakan peralatan elektronik bekas yang disusun menjadi seperti pesawat luar angkasa. Semua demi bikin orang-orang mengerti apa yang terjadi pada Siman bertahun-tahun ke belakang.
Ada banyak teka teki tentang Siman dan tokoh-tokoh lain yang seolah menyimpan fiksinya masing-masing. Untuk lebih lengkapnya, bagaimana film ini dibangun dan diakhiri, langsung tonton salah satu film Indonesia terbaik tahun ini di bioskop!
Semiotika di Mana-mana
Harus diakui, film ini bisa menimbulkan efek tak nyaman bagi sebagian orang, terlebih buat penyuka film-film dengan dialog banyak dan gamblang. Film The Science of Fictions ini bukan sekedar menyampaikan cerita lewat rentetan dialog. Sebaliknya, film minim dialog ini penuh dengan semiotika yang harus dipecahkan oleh persepsi penonton masing-masing.
Pertama, kita lihat Siman yang selalu bergerak secara lambat layaknya astronot. Namun, ada waktunya ketika Siman hanyalah manusia biasa. Dia berjalan biasa saat marah karena uangnya dicuri, dia bisa kesal saat upahnya enggak cair tepat waktu, dan dia punya hasrat kepada lawan jenis.
Siman sebagai seseorang yang berjuang mengungkap sejarah dengan terus bergerak lambat, nyatanya dia tetap manusia yang punya kepentingan pribadi. Siman yang mengalami trauma tubuh pun enggak berdiam diri meratapi nasib, dia tetap bekerja untuk bertahan hidup. Siman yang beraktivitas layaknya astronot di Bulan, bukan karena dia gila, dia melakukan hal itu secara sadar.
Lidah Siman yang dipotong jadi penggambaran betapa penguasa bisa berlaku apa saja untuk memuluskan kepentingannya. Sikap Siman yang bertahun-tahun selalu berlaga seperti astronot menjadi penggambaran bahwa setiap orang berhak memperjuangkan kebenaran dengan cara apa pun.
Selain soal pembungkaman, film The Science of Fictions juga merekam perkembangan teknologi audio visual dari masa ke masa. Pada latar 1960-an, terdapat kamera jadul yang hanya bisa dioperasikan oleh penguasa. Lalu, mulai perkembangan handycam, GoPro, kamera profesional, sampai pada kamera yang kini bisa dimiliki semua orang, yakni ponsel.
Hal tersebut bukan hanya menampilkan perkembangan teknologi, tapi juga soal bagaimana kebenaran itu dibawa dan dikonsumsi publik dari zaman ke zaman. Film ini penuh semiotika di banyak adegannya. Memang bikin bingung, tapi karenanya film ini akan jadi pembahasan menarik pada segala sisi.
Segala Hal Ajaib dalam Film Ini yang Tak Perlu Dipikirkan
Banyak hal ajaib dalam film The Science of Fictions yang berpotensi membingungkan. Bahkan, KINCIR butuh waktu beberapa saat untuk mencerna maknanya setelah nonton film ini. Makanya, KINCIR akan bagikan hal-hal ajaib dalam film yang tak perlu dipikirkan, tapi patut disimak.
Film ini punya dua latar waktu: 1965 dan masa kini. Namun, Siman tak pernah terlihat bertambah tua, Semenjak lidahnya dipotong hingga jadi badut astronot di masa kini. Latar film ini pada era tahun 1960-an, dipilih karena ada dua sejarah yang diyakini: pendaratan manusia pertama di Bulan dan sejarah kelam di Indonesia.
Lalu, ada Ndapuk (Yudi Ahmad Tajudin), teman Siman yang ditangkap karena disangka PKI. Kemudian di masa kini, aktor yang memerankan Ndapuk muncul kembali sebagai juragan pentas kuda lumping bernama Tupon. Ndapuk dan Tupon ini juga tak bertambah tua, padahal latar film sudah melintasi lebih dari lima dasawarsa.
Kemudian, ada sosok Wanto (Alex Suhendra), teman Siman yang menjadi seorang penjahit. Dia mencuri uang Siman, kemudian kabur. Namun beberapa waktu kemudian, Wanto muncul kembali. Sama seperti Ndapuk/Tupon, aktor yang memerankan Wanto juga punya peran lain, bernama Gun, asisten Tupon. Dia juga membantu Siman mendapatkan pekerjaan jadi badut astronot.
Oh iya, ada yang menarik dari sosok Wanto. Dia satu-satunya orang yang berbicara dengan Bahasa Cirebon, padahal latarnya adalah di Jogja dan semua karakter menggunakan Bahasa Jawa.
Tak sampai disitu, ada sosok pelacur yang disewa Siman. Pelacur itu adalah sosok yang sama dengan seorang warga yang berada di rumah Siman ketika lidah Siman baru saja dipotong. Diperankan oleh Asmara Abigail, pelacur tersebut bernama Nadiyah.
Satu hal yang juga menimbulkan tanda tanya besar adalah sosok yang menyerupai Bung Karno. Sosok pemimpin ini seperti punya cerita sendiri dalam film. Dia hadir dalam adegan syuting pendaratan di Bulan. Lalu, seolah dia menyimpan file rahasia rekaman tersebut.
Kemudian di masa kini, sosok itu muncul di sebuah acara nikahan tempat Siman pentas. Dia berlaku selayaknya bintang iklan, sampai terlihat hanya sebatas seorang pengagum Soekarno.
Banyak hal yang mungkin membingungkan dalam film ini. Namun, semua punya maksud, semua ada artinya. Sutradara Yosep Anggi Noen punya interpretasi sendiri terhadap film ini. Dia tak menampik bahwa filmnya memang dibuat secara terbuka, siapa pun boleh mengartikannya sendiri, siapa pun punya fiksinya sendiri.
Menang Piala Citra meski Tanpa Dialog
Sosok Gunawan Maryanto adalah orang pertama yang memenangi Piala Citra “Aktor Terbaik” tanpa bicara sepatah kata pun di film yang dia bintangi. Selama film ini berlangsung, Gunawan benar-benar tak bicara. Lidahnya yang telah dipotong di awal film jadi penyebab.
Namun, nyatanya akting bukan sekadar menghafal naskah dan membawakannya di depan kamera. Gunawan mampu menjadi sosok yang tepat sebagai seorang Siman. Emosi, ekspresi, sampai gerak tubuhnya adalah bagian penting yang membuat dia berhasil tampil memukau dalam film ini. Lewat bahasa tubuh, Gunawan menampilkan semua sisi trauma dan kemanusiaan Siman dengan apik.
Interaksinya dengan lingkungan, bahkan kostum astronotnya membuat kita percaya bahwa Gunawan memang aktor yang tepat untuk jadi Siman. Terlebih, track record-nya di dunia teater, membuat The Science of Fictions jadi panggung yang kembali menyinari keaktoran sosok Gunawan Maryanto, setelah aktingnya di Istirahatlah Kata-kata (2016) sebagai Wiji Thukul.
Racikan Baru Film Indonesia
Yosep Anggi Noen tidak sekadar membuat karakter Siman dan fiksi-fiksi di sekitarnya. Anggi juga membangun suasana film dengan serius. Film ini punya dua rasio. Ketika 1965, rasio film ini 3:4 dengan warna hitam putih. Kemudian, ketika cerita masuk pada latar masa kini, rasionya berubah jadi 16:9 dengan tampilan berwarna.
Proses transisi dari hitam putih ke berwarnanya juga digarap dengan rapi. Scoring dalam film ini juga membuat penonton hanyut dalam cerita, tidak dilebih-lebihkan dan serasi dengan tiap adegan. Apalagi, scoring tiap adegan di rumah Siman yang menambah sisi artistik nan multitafsir.
Film The Science of Fictions jadi racikan baru. Film yang hadir di masa pandemi ini justru bikin sebagian penonton film Indonesia semangat lagi datang ke bioskop. Terbukti dari jumlah layar yang terus ditambah, bahkan jadi momen bioskop-bioskop di kota besar dibuka.
***
Secara garis besar, film The Science of Fictions patut ditonton di layar besar alias di bioskop. Tak hanya kembali merasakan experience nonton di bioskop setelah puasa delapan bulan, tapi juga nonton film racikan baru yang barangkali pertama kali di Indonesia.
Film ini telah tayang di bioskop sejak 10 Desember. Jadi, silakan datang ke bioskop, tetap jaga protokol kesehatan. Selamat menikmati salah satu film terbaik Indonesia di tahun ini!
Buat yang sudah nonton film The Science of Fictions, bagikan pendapat kalian di kolom review yang ada di awal artikel ini, ya. Tungguin review film terbaru lainnya hanya di KINCIR.