*Spoiler Alert: Artikel ini mengandung bocoran film The Professor and the Madman yang bisa saja mengganggu buat kalian yang belum menonton.
Membuat kamus seolah seperti aktivitas yang kurang menantang. Enggak banyak yang mengetahui proses istimewa di balik hal ini, kecuali mereka yang memang mengambil jurusan sastra dan bahasa, atau mempelajari linguistik. Padahal, pembuatan kamus merupakan sebuah proses rumit yang enggak sekadar melibatkan huruf dan kertas. Ada banyak proses analisis, proses kreatif, bahkan pemahaman budaya di baliknya.
Itulah tema yang diangkat di dalam film berjudul The Professor and the Madman. Kalian pasti pernah mendengar tentang kamus Oxford. Buat yang belum tahu, kamus Oxford yang pertama kali dirilis pada 1884 adalah kamus pertama yang dianggap paling kuat dan komprehensif. Nah, film ini bakal menceritakan kepada kalian sejarahnya dan tentu saja dibalut dengan drama menarik yang bikin kalian paham sama pikiran para penggiat bahasa.
Film ini dibintangi oleh aktor Hollywood senior, seperti Mel Gibson, Sean Penn, Eddie Marshan, dan Natalie Dormer. Mendapat skor 7,3 di IMDb dan audience score 78 persen di Rotten Tomatoes, membuat film ini wajib masuk daftar tontonan akhir pekan. Film The Professor and the Madman bisa kalian tonton di Mola TV.
Bagaimana keseruan film The Professor and the Madman, simak review KINCIR di bawah ini.
Kisah Poliglot dan Pengidap Skizofrenia
Sesuai dengan judulnya, tokoh utama dalam film ini adalah seorang ‘profesor’ dan pengidap skizofrenia. Latar belakang keduanya unik banget. James Murray (Mel Gibson), adalah seorang pria tanpa ijazah yang mampu menguasai berbagai bahasa.
Dia melamar pada posisi editor ke sebuah proyek yang nantinya bakal jadi kamus bahasa Inggris Oxford. Diragukan sama banyak penguji, karena enggak punya ijazah, dia diterima atas saran Freddie Furnivall (Steve Coogan).
Para anggota tim ini memang kebanyakan orang yang kaku dan suka berpegang sama cara lama. Salah satu anggota, misalnya, memberikan aturan yang terlalu kaku pada proses pengucapan bahasa. Padahal, bahasa bukan sekadar aturan atau tata bahasa. Bahasa juga terkait sama budaya, sama semua hal yang dipakai manusia dalam berkomunikasi.
Dalam proses penyusunan kamus, Murray sempat mengalami kendala dalam mendefinisikan berbagai macam kata. Dia pun punya ide brilian: mengajak masyarakat –yang notabene adalah pengguna bahasa aktif–, buat berkontribusi. Nah, William Chester Minor (Sean Penn), sang madman alias pengidap skizofrenia, adalah salah satu kontributor.
Dia merupakan mantan dokter militer sekaligus tentara yang berilmu tinggi, tetapi dia enggak sengaja membunuh seseorang bernama George Merret dan didiagnosis skizofrenia. Surat-suratnya kepada Murray dan aktivitas membaca buku menjadi penawar bagi kegelisahannya.
Film The Professor and the Madman enggak cuma berputar pada kisah hubungan Murray dan Minor. Murray harus menghadapi konspirasi dari para anggota tim penyusun yang iri kepadanya dan mau menjatuhkannya. Sementara itu, Minor berhadapan dengan Eliza, janda dari seseorang yang dia bunuh, lalu jatuh cinta kepadanya.
Film Based on True Story yang Hangat
Baik tokoh Murray maupun Minor, keduanya adalah orang yang bener-bener pernah hidup di masa lalu dan berkontribusi besar pada pembuatan kamus Oxford. Jadi, film The Professor and the Madman memang merupakan film biopik di Mola TV. Dan seperti film biopik pada umumnya, “bosan” bisa masuk ke dalam kamus penonton pada saat menontonnya.
Bagi yang enggak bener-bener paham kerumitan di balik penyusunan kamus dan enggak suka sama linguistik, film ini bisa jadi membosankan. Soalnya, mereka akan bingung dengan kenapa aktivitas menyusun kamus harus melibatkan banyak orang dan apa hal yang perlu diambil dari film ini.
Lalu, buat penonton yang mencari klimaks apalagi plot twist, film ini enggak akan memenuhi ekspektasi. Menonton film ini sebenernya enggak akan bikin kita terlalu bahagia, terlalu sedih, atau terlalu deg-degan.
Namun, agaknya film ini merepresentasikan apa yang orang-orang pikirin soal linguistik. Linguistik itu secara umum membosankan banget. Bahkan, mereka yang mengambil jurusan sastra dan bahasa pun kadang males sama peminatan yang satu ini. Namun, begitu kalian memahaminya, kalian bakal paham bahwa ia indah dengan caranya sendiri. Begitulah film ini bekerja.
Lagipula, film biopik memang sebaiknya enggak didramatisir, karena, kehidupan nyata memang enggak selalu penuh dengan drama layaknya film fiktif.
Selain plot yang agak flat, salah satu ‘masalah’ di dalam film The Professor and the Madman adalah bahasa. Ya, aksen bahasa Inggris ala British abad ke-21 aja udah susah dipahami, apalagi aksen abad ke-19. Buat yang enggak terbiasa sama aksen British, menonton film ini tanpa subtitle akan membuat kalian tersesat.
Namun, soal akting, sinematografi, dan desain tata artistik, film ini berkelas. Embel-embel “Academy Award Winner” untuk para aktor yang disematkan di poster enggak mengada-ada. Kedua pemeran betul-betul menampilkan akting kelas Oscar.
Buat kalian yang suka dengan film tahun 1980-an sampai 2000-an dan nge-fans sama para aktor idaman di masa itu, kehadiran Mel Gibson dan Sean Penn bakal sangat menghibur, deh.
Hal-hal Klise yang Enggak Bisa Dihilangkan
Beberapa hal di dalam film terasa klise buat orang modern, seperti misalnya orang-orang kolot dan Eliza (Natalie Dormer), janda Merret yang setelah ditinggal sang suami, malah terjun ke prostitusi. Entah mengapa dalam setiap proyek masa depan, selalu ada orang-orang kolot yang punya kuasa.
Ditambah lagi, film-film lawas selalu menggambarkan para perempuan tanpa suami terjun ke dunia prostitusi. Kita sudah melihatnya di dalam film Les Miserables dan Malena. Seolah-olah, para perempuan ini akan lumpuh tanpa suami dan hanya bisa menjual tubuh.
Namun, film The Professor and the Madman adalah gambaran kehidupan. Kendati sosok-sosok yang unik seperti cewek independen itu menarik buat ditampilkan, dia enggak menggambarkan cewek Eropa abad ke-19. Pada masa itu, cewek-cewek memang enggak dianggap independen. Mereka berada di bawah bayang-bayang pria.
Hal-hal klise ini, buat para penonton yang mencair pengalaman baru, akan membuat film menjadi sesuatu yang menjemukan. Namun, karena dasarnya memang kisah nyata, enggak ada yang bisa dilakukan kecuali sedikit mendramatisir cerita.
The Professor and the Madman memang bukan film buat semua orang. Namun, film ini adalah film yang menghangatkan hati dan menawarkan kalian pandangan baru tentang hidup ini. Enggak banyak film yang mau repot-repot mengangkat topik linguistik karena ia adalah rumpun yang rumit dan film ini berhasil melakukannya.
***
Jadi makin penasaran, kan, sama film The Professor and the Madman? Nonton film ini sekarang di Mola TV, ya! Kalian bisa langganan Mola TV dengan harga murah meriah. Selain The Professor and the Madman, banyak rekomendasi film dan serial lainnya yang bisa kalian tonton sesuai umur karena ada banyak pilihan di Mola TV.