*Spoiler Alert: Artikel ini mengandung bocoran film Blackpink: Light Up the Sky yang bisa saja mengganggu buat kalian yang belum menonton.
Di atas panggung, hal pertama yang penonton tangkap mengenai boyband atau girlband Korea Selatan adalah kesempurnaan. “Keliatannya mereka beruntung banget sih, terkenal aja belum lama udah jadi bintang!” Padahal, mereka sudah melewati berbagai macam rasa sakit, tangisan, istirahat yang kurang, hingga rasa kesepian selama bertahun-tahun, untuk jadi bersinar di atas panggung.
Blackpink: Light Up the Sky karya Caroline Suh adalah dokumenter yang enggak cuma ditujukan untuk para die-hard fans Blackpink, tetapi juga semua orang. Percaya, deh, meskipun kalian enggak suka K-Pop dan lagu Blackpink yang kalian tahu cuma “Ddu-Du Ddu-Du”, kalian enggak akan kebingungan mengikuti alurnya. Karena, seperti yang udah sempet disinggung di atas, film dokumenter ini menyorot para personil Blackpink bukan sekadar sebagai bintang, tetapi manusia.
Selain itu, film ini juga bisa membuka hati para penonton yang skeptis sama K-Pop dan menganggap mereka enggak lebih dari sekadar komoditas. Di dalam Blackpink: Light Up the Sky, ungkapan bahwa “usaha keras enggak mengkhianati hasil” sangat terasa dan menjadi pesan buat semua orang yang mau mengejar mimpi.
Seperti apa suka duka dan perjalanan karier mereka dalam film Blackpink: Light Up the Sky, yuk, simak review-nya di bawah ini.
Dibuka dengan Hangat
Dokumenter dibuka dengan nuansa yang hangat. Setelah adegan debut Blackpink pada 2016, film menyorot jalan-jalan setapak di Seoul, para personil Blackpink yang bercengkrama di mobil, minim makeup, dan kemudian studio rekaman Blackpink beserta Teddy Park, produser dan penulis lagu Blackpink.
Konsep dokumenter ini sederhana banget, yakni tentang mengenal para personil Blackpink, Jennie, Jisoo, Rosé, dan Lisa lebih dekat. Film ini cukup pendek, tetapi cukup banget buat bikin kita menyelami kehidupan mereka dan mengapa Blackpink bisa tenar banget.
Blackpink adalah formula yang unik karena setiap personilnya memiliki latar belakang berbeda. Ada Lisa, yang udah jelas banget adalah orang Thailand, bukan Korea Selatan. Ada juga Rosé, personil Blackpink yang lahir di Selandia Baru, besar di Australia, dan terlihat "sangat bergaya barat" dengan aksen Australia dan gitarnya.
Kemudian, Jennie, yang dibesarkan ibu tunggal dan menjadi mandiri sejak kecil di Selandia Baru. Terakhir, ada Jisoo, seorang perempuan Korea Selatan yang sejak lahir sudah tinggal di negara itu dan kurang lancar berbahasa Inggris.
Teddy Park, sang produser, mengatakan bahwa Blackpink adalah panci dengan banyak perbedaan. Hal ini menimbulkan sebuah rasa yang unik banget, apalagi kebersamaan mereka enggak dibuat-buat. Di luar panggung, mereka bener-bener kompak dan bisa bersenang-senang bareng.
Walaupun usai debut mereka langsung jadi terkenal, bahkan di seluruh dunia, Blackpink enggak lahir dalam semalam. Para anggota udah dilatih bertahun-tahun. Latihan itu keras banget, bahkan Rosé sempat disuruh pulang oleh orangtuanya yang kasihan melihatnya. Jennie pun sempat akan menyerah.
Hal-hal yang enggak kelihatan di panggung itulah, yang disorot sama dokumenter ini. Meskipun enggak banyak, kalian cukup paham bagaimana kerasnya pelatihan di camp setelah para calon anggota boyband dan girlband ini lolos audisi. Lolos audisi enggak berarti kalian sudah meraih mimpi, karena di dalam sana, kalian bakal dimaki-maki, kurang istirahat, bahkan bisa kena eliminasi kalau enggak sesuai keinginan perusahaan hiburan.
Para personel Blackpink mengatakan bahwa mereka kehilangan masa-masa SMA. Sambil tertawa getir, Rosé berkata, “Saya putus sekolah, di usia ke-15, di Selandia Baru”. Bukan hal yang mudah mengorbankan masa-masa coming-of-age, karena di situlah kepribadian manusia dibentuk. Namun, selalu ada yang harus dikorbankan demi sebuah mimpi.
Adegan para personel Blackpink menonton rekaman audisi, training, dan juga rekaman konser bikin kita menyadari kalau seperti kita, mereka punya rasa insecure. Meskipun mereka dipuji habis-habisan dalam setiap penampilan, selalu ada rasa “kurang” saat melihat performance tertentu, seperti misalnya nada yang kurang pas, atau tarian yang terlalu kaku. Padahal, para penonton mungkin enggak menyadari itu.
Penyuntingan Menarik, tetapi Minim Konflik
Dilihat dari segi sinematografi, dokumenter ini sudah cukup bagus, tetapi tentu saja enggak spesial seperti dokumenter Our Planet. Apalagi, ada banyak footage yang berasal dari sumber lain dan kualitasnya enggak mencengangkan.
Namun, yang bikin dokumenter ini jadi spesial adalah alur dan penyuntingannya. Alurnya asyik banget, enggak lurus, tetapi bikin orang yang buta K-Pop jadi tahu betul soal Blackpink. Bahkan, habis menonton film ini, lagu Whistle jadi terngiang-ngiang di pikiran kalian.
Ketika menyorot kehidupan personal masing-masing anggota, terdapat font berwarna merah muda yang tegas membungkus video para anggota Blackpink. Perpaduan yang manis, dinamis, memanjakan mata banget.
Dan lebih cantiknya lagi, dokumenter ini ditutup dengan suasana yang sangat homey, mengingatkan kita bahwa personel Blackpink enggak selamanya muda dan suatu saat nanti, mereka mungkin bakal punya kehidupan 'normal'.
Terlalu Sempurna, Kurang Emosional
Hanya saja, kalau ada beberapa hal yang bisa dikritik dari keseluruhan film adalah kurangnya footage saat mereka training dan interaksi para anggota. Jika footage ditampilkan lebih banyak, penonton bisa ikut merasakan ‘penderitaan’ mereka.
Konflik antaranggota pun kurang disorot, sehingga memunculkan kesan bahwa persahabatan mereka terlalu sempurna. Padahal, seperti yang sudah menjadi rahasia umum, selalu ada gesekan di dalam tubuh girlband dan boyband, apalagi pada saat tur dunia.
Tekanan dan perbedaan pandangan bisa bikin anggota di dalamnya jadi ‘meledak’. Entah mengapa konflik ini enggak disorot. Padahal, itu bisa menjadi elemen menarik di dalam dokumenter yang lebih memanusiakan mereka.
Barangkali hal ini disebabkan oleh keinginan sutradara buat menyorot hal lain, klausa kontrak yang melarang adegan-adegan konflik, atau entah ada alasan lain yang bikin film pada akhirnya enggak mau mengekspos konflik terlalu dalam.
Namun, menonton dokumenter Blackpink: Light Up the Sky, bener-bener memberikan kita perasaan yang campur aduk. Kalian akan dibawa kagum, berasa dibawa berwisata lewat rekaman tur dunia, dibawa kesel, dan juga dibawa terharu saat melihat mereka secara personal.
Mixed feeling, tetapi terlalu main aman dan sedikit kurang membumi. Soalnya, kalian enggak dibawa deg-degan atau kesal karena konflik tertentu –seperti yang ada di berbagai dokumenter menarik Netflix lainnya kayak The Social Dilema, Drug Lords, atau bahkan Street Food.
Di samping beberapa kekurangannya, ini bukan sekadar dokumenter yang menjual nama tenar Blackpink, tetapi merupakan karya yang padat dan menyenangkan.
***
Nah, buat kalian yang sudah nonton film dokumenter Blackpink: Light Up the Sky, hal apa yang sudah kalian pelajari dari mereka? Bagikan pendapat kalian di kolom review, ya.