Sejak 9 Juni 2022 lalu, Indonesia kedatangan film superhero terbaru, yaitu Satria Dewa Gatotkaca. Film ini merupakan proyek pertama dari Semesta Satria Dewa yang nantinya akan menghadirkan berbagai film tokoh pewayangan lainnya. Hanung Bramantyo pun digaet sebagai sutradara dari film pertama semesta superhero lokal ini.
Sinopsis Satria Dewa Gatotkaca mengisahkan Yuda (Rizky Nazar), seorang pemuda yang baru saja kehilangan pekerjaannya. Setelah itu, Yuda justru menemukan fakta bahwa ia adalah bagian dari gen Pandawa dan juga titisan Gatotkaca. Namun, statusnya ini justru membuat Yuda menjadi incaran dari kaum Kurawa yang mengincar medali Brajamusti agar bisa membangkitkan Aswatama.
Nah, belum lama ini KINCIR mendapatkan kesempatan untuk ngobrol bareng produser serta salah satu pemain Satria Dewa Gatotkaca. Mereka adalah Celerina Judisari selaku produser serta Edward Akbar yang memerankan sosok Profesor Arya dalam filmnya. Dalam kesempatan ini, keduanya membahas keterlibatan mereka dalam semesta baru superhero Indonesia serta potensi ke depannya.
Penasaran bagaimana keseruannya? Langsung saja simak obrolan kami berikut ini!
KINCIR: Antusias atau tidak dengan proyek ini?
Celerina: Pastinya. Buat saya pribadi sebagai produser, ini adalah suatu peluang yang baik sekali. Soalnya, tak semua produser memiliki kesempatan untuk bisa menghadirkan seorang superhero. Kalau kami tagline-nya “Ini Jagoan Kita”.
Apalagi, dengan pemain yang luar biasa dan sutradara yang keren banget. Saya sudah lama bekerja sama dengan Mas Hanung dan dalam proyek ini saya bisa lihat bahwa Mas Hanung memiliki passion yang begitu dalam. Jadi, seolah-olah ini adalah sebuah film baru bagi dia, seperti dia baru belajar lagi bikin film.
KINCIR: Kalau Edward dalam film ini perannya sebagai apa? Lalu, pendalaman karakternya seperti apa?
Edward: Saya jadi profesor ahli budaya dan sejarah juga seorang ayah bagi sosok Agni yang diperankan oleh Yasmin Napper. Kalau pendalaman karakter pasti dalam banget. Soalnya, kami itu melihat bahwa karena ada pandemi kami jadi punya persiapan waktu lebih panjang bagaimana untuk membedah naskah, transformasi karakter, dan hubungan antarkarakter.
Mas Hanung juga berkomunikasi kepada kami dengan sangat luar biasa. Maksudnya, sebagai sutradara dia benar-benar tahu apa yang ia inginkan. Jadi, ya, seperti yang saya bilang bahwa saya bersyukur pandemi ini membuat kami jadi punya banyak waktu untuk menggali. Soalnya, persiapan itu jauh lebih penting daripada prosesnya kalau sebagai pemain
KINCIR: Kalau boleh tahu, proses syutingnya berapa lama?
Celerina: Sekitar 37 hari. Kami sebenarnya punya rencana awal untuk syuting selama 30 hari, tapi akhirnya mundur sekitar lima hari atau seminggu.
KINCIR: Highlight utama film ini terletak pada Rizky Nazar sebagai Gatotkaca. Ada riset khusus atau enggak dalam mengangkat kisah Gatotkaca ataupun menunjuk Rizky Nazar sebagai pemerannya?
Celerina: Iya. Saya bukan satu-satunya produser, ada tim kreatif. Dari saat penulisan naskah sudah mulai dibangun. Lalu, kami berjumpa dengan Mas Hanung juga membicarakan karakter-karakter yang pas, begitu juga dengan tim produser.
Lalu, Rizky Nazar selama ini kita lihat memang dia lebih sering bermain di film-film percintaan. Namun, itu juga yang menjadi poin tambahan bagi Rizky Nazar. Ini merupakan film kedua saya bekerja sama dengan Rizky. Pada film pertamanya, dia bisa membuktikan dalam genre yang berbeda bahwa ia bisa bermain bagus. Jadi, sekarang kami menantang Rizky lagi, dan itu terbukti. Dia sangat profesional.
Proses casting-nya sebenarnya cukup panjang. Jadi, enggak dalam satu kali jalan kami langsung menentukan Rizky. Pada saat itu tim produser ada yang sudah sangat yakin dengan Rizky, tapi karena saat itu ada perubahan naskah, kami menanyakan apakah ceritanya masih cocok dengan Rizky. Namun, ternyata masih dia (Rizky) yang terbaik sebagai pilihannya.
KINCIR: Apa saja tantangan Edward selama proses syuting?
Edward: Menurut saya, kita harus mengubah beban menjadi tantangan. Cuma, karena seperti yang saya bilang di awal dengan proses persiapannya yang panjang, saya melihat proyek ini sangat luar biasa. Soalnya, proyek ini bukan statis, tapi dinamis sehingga semuanya bertumbuh sehingga hasilnya bisa maksimal.
Namun, untuk tantangan yang ada, yaitu membedah karakter itu sendiri. Soalnya, hubungan antara karakter itu tak semudah kita cuma terima naskah dan hanya tahu dialog kita saja. Harus bisa berlatih dengan berbagai macam pemain, cari alternatif yang baik sampai akhirnya bisa jadi. Itu adalah proses yang penting dan sangat enjoyable menjalaninya.
KINCIR: Menurut kalian berdua, bagaimana potensi film superhero Indonesia?
Celerina: Kalau kami melihat, respons pertama dari trailer (Satria Dewa: Gatotkaca) saja sudah luar biasa, dari YouTube-nya dalam empat hari sudah 1 juta penonton. Biasanya kami bisa melihat dari situ dengan organik, kemudian juga dilihat dari banyak respons seperti reaction itu membuktikan bahwa ada pasarnya.
Namun, yang terpenting sekarang adalah apakah pasar yang organik itu bisa menjadi pasar kenyataan. Ini yang sekarang menjadi usaha bagi tim publicist dan promosi karena dari tim produksi sudah selesai.
Akan tetapi, ini (Gatotkaca) bukan superhero yang pertama, sehingga kami bisa menganalisis potensinya. Jadi, kami bisa memperkirakan jumlah penontonnya bisa sebanyak apa. Misalnya, filmnya terlalu male audience, maka angkanya akan mencapai sekian. Nah, kami mencoba membuat sebuah formula yang bisa ditonton oleh anak-anak sehingga bisa memperlebar pasarnya.
KINCIR: Berarti potensial banget untuk ke depannya, ya?
Celerina: Iya, harusnya potensial. Menurut saya, kita harus menghadirkan genre yang variatif. Jadi, kalau dilihat dari genre yang sudah ada, ditambah dengan antusiasme penonton yang ingin tontonan genre baru usai pandemi, saya rasa harusnya pasarnya melebar.
KINCIR: Superhero lekat banget dengan kostum. Bagaimana proses pembuatan kostum dalam film ini?
Celerina: Untuk kostum Gatotkaca dan lawannya, kami pesan dari luar negeri. Namun, kami tetap ingin ada tukar pengetahuan sehingga kami juga sempat menawarkan ke tim lokal untuk membuat kostumnya untuk nantinya.
Kostum yang dari luar tersebut juga ketika sampai ke Indonesia harus ada yang menjaga. Memakainya juga enggak bisa sembarangan, harus ada tim khususnya. Jadi, sebelum syuting harus ada waktu yang cukup panjang untuk bisa menggunakannya.
Soalnya, ini bukan film Hollywood yang bisa punya puluhan kostum untuk satu film, sedangkan kami terbatas. Jadi, kami harus cerdik. Nanti kalau sudah selesai (menggunakannya) harus kami maintain lagi untuk pemeliharaan kostumnya. Jadi, serunya di situ, sih.
Edward: Kostumnya itu enggak sembarangan, bisa dilihat di trailernya. Jadi, harus dipakai, dirawat, dan semua maintenance-nya ada pokoknya.
KINCIR: Bagaimana proses marketing untuk film Satria Dewa Gatotkaca?
Celerina: Dari tim marketing Satria Dewa Studio harus membuat sebuah IP yang ada permutasi. Jadi, film enggak berdiri sendiri. Kami membuat ini menjadi sesuatu yang berbeda. Seharusnya, filmnya duluan rilis, baru segala macam merchandise-nya. Namun, kalau ini (Gatotkaca), kita coba rilis merchandise-nya terlebih dahulu sebelum filmnya.
Hal ini nyatanya berhasil. Jadi, banyak pembelian merchandise. Ini yang menjadi keberhasilan sekaligus membedakan Satria Dewa Studio untuk bisa menyatukan itu.
KINCIR: Apa yang kalian harapkan untuk Semesta Satria Dewa ke depannya?
Edward: Sebelum bicara harapan, proyek ini ekosistemnya luar biasa. Bukan cuma satu proyek film terus selesai, tapi menciptakan suatu dunia sendiri. Bahkan, (proyek) yang setelah ini juga sudah diumumkan.
Jadi, kalau harapannya ini jelas bisa menjadi suatu benchmark dan breakthrough yang akan bisa beri kesan ke semua kalangan bahwa Gatotkaca bisa seperti ini. Soalnya, dalam film ini konsepnya titisan sehingga lebih modern. Namun, enggak menghilangkan esensi (pewayangan).
Harapannya supaya film ini bisa memberikan impact yang baik terhadap masyarakat dan juga laku. Lalu, yang jelas semoga ekosistem ini terus berjalan supaya masyarakat segala umur di Indonesia bisa bangga dengan superhero ini.
Celerina: Bahwa (semesta superhero) bisa dilakukan. Tidak perlu muluk-muluk seperti Hollywood, tapi menuju (standar) sana. Lalu, harus ada pihak yang memulai.
***
Nah, apakah kamu jadi semakin penasaran dengan film Satria Dewa Gatotkaca setelah mendengar cerita Celerina Judisari dan Edward Akbar tersebut? Share pendapat kamu pada kolom komentar, ya!