Selain Hollywood, soundtrack juga kerap mengiringi sejumlah adegan dalam film Indonesia. Denny Sakrie, pengamat musik Indonesia, pernah menulis dalam blognya bahwa kepopuleran soundtrack film nasional baru mulai terjadi pada era 1970-an.
Soundtrack yang hits pada era itu adalah Badai Pasti Berlalu yang juga diambil dari judul filmnya (1977). Lagu ini dinyanyikan oleh Chrisye dan Berlian Hutauruk. Pada 2007, Rolling Stone Indonesia menobatkan album soundtrack hasil arahan Eros Djarot ini sebagai album Indonesia terbaik sepanjang masa.
Badai Pasti Berlalu juga menjadi batu loncatan Chrisye sehingga ia mulai terkenal di belantika musik Indonesia. Ia juga jadi mengisi banyak soundtrack; mulai dari Seindah Rembulan (1977) hingga film Puspa Indah Taman Hati (1980) yang menghadirkan salah satu lagu ikonisnya, yaitu “Galih dan Ratna”.
Lebih dari itu, lagu Almarhum Chrisye justru diangkat jadi judul film atau sinetron; salah satunya “Kisah Kasih di Sekolah”. Chrisye berhasil membalikkan keadaan; ketika musik bukan hanya sekadar pendukung, melainkan ia bisa jadi inspirasi lahirnya sebuah judul film.
Selain Chrisye, nama Rhoma Irama juga tidak luput dalam perkembangan soundtrack di Indonesia; terutama pada era 1970-an hingga awal 1990-an. Yap, penyanyi yang akrab dengan sebutan “Raja Dangdut” ini sempat merajai perfilman Indonesia sebagai pemeran hingga penyanyi. Uniknya, tujuan utamanya adalah untuk berdakwah; lewat musik dan film.
Soundtrack yang dinyanyikan Rhoma dalam filmnya kerap memiliki unsur ketuhanan meski tema utamanya adalah cinta. Contohnya lagu “Masya Allah” dalam film Oma Irama Penasaran (1976) yang menyuarakan kekaguman Oma kepada kekasihnya, yaitu Ani. Namun, hal ini dilakukan dengan cara melafalkan nama Allah SWT untuk memuji Ani yang merupakan makhluk ciptaan-Nya.
Dengan cara tersebut, Rhoma tentunya enggak cuma membuat penonton teringat dengan sebuah adegan dalam film lewat lagunya, melainkan juga terhadap Tuhan. Selain itu, Rhoma juga menjadikan soundtrack sebagai media untuk menyentil orang-orang yang kerap menyebut dangdut sebagai “musik kampungan.”
Dalam film Darah Muda (1978), ia menyajikan perseteruan musik rock dengan dangdut. Meski pada akhirnya membuat konflik antara penggemar musik dangdut dengan rock di Indonesia semakin memanas, Rhoma berhasil membuat citra musik dangdut jadi positif lewat film ini. Dalam rentang waktu 1976 hingga 1993, Rhoma punya 23 judul film dengan soundtrack yang juga beragam. Ia mengubah dangdut dari musik kampungan menjadi ‘bintang’ di rumah sendiri.