*Spoiler Alert: Artikel ini mengandung bocoran film The Trial of the Chicago 7 yang bisa saja mengganggu buat kalian yang belum menonton.
Siapa yang salah, pemerintah atau rakyat yang melakukan demonstrasi? Masyarakat terbelah menjadi dua saat harus beropini soal hal ini. Ada yang beranggapan bahwa demonstrasi itu harus rusuh supaya masyarakat didengar. Namun, ada juga yang beranggapan kalau demonstrasi cuma bikin susah.
Mengingat isu demonstrasi lagi hangat-hangatnya semenjak permasalahan UU Cipta Kerja, The Trial of the Chicago 7 bisa jadi film yang bisa dinikmati oleh kita sebagai masyarakat Indonesia saat ini. Sebab, Indonesia dan Amerika Serikat memang pada dasarnya punya permasalahan sosial yang sama. Jadi, waktu menonton film ini, kita seperti berkaca.
Di luar isu yang kebetulan sedang hangat, film ini juga menarik perhatian dari aspek lain. Salah satu yang paling mencolok adalah deretan pemeran yang diisi oleh bintang Hollywood ternama. Menariknya, di film ini kalian bisa melihat satu fenomena “langka”, yakni penampilan serius dari Sacha Baron Cohen, si pemeran Borat di film Borat.
Nah, apakah film The Trial of the Chicago 7 ini bisa memenuhi ekspektasi akan film serius yang tetap mampu menghibur penontonnya? Yuk, simak ulasan khas KINCIR di bawah ini!
Biopik yang Dibikin Dramatis
The Trial of the Chicago 7 adalah film biopik yang berkisah tentang persidangan Chicago Seven. Sekadar info, “Chicago Seven” merupakan tujuh orang (tadinya delapan) yang dianggap memicu kerusuhan demonstrasi pada saat Konvensi Nasional Demokrat tahun 1968 di Chicago.
Demonstrasi tersebut terjadi karena kebijakan Perang Vietnam Presiden Lyndon B. Johnson. Sebetulnya, Amerika Serikat udah terlibat di dalam perang ini sejak 1950-an. Namun, semenjak Johnson menjabat, penambahan pasukan semakin signifikan. Sang presiden pun meningkatkan pajak buat mendanai perang.
Udah gerah dengan segala wajib militer buat perang serta kebijakan yang makin pro-perang, banyak orang Amerika di masa itu yang gerah. Protes pun bergema di mana-mana dan yang salah satu yang paling fenomenal adalah demonstrasi Konvensi Nasional Demokrat.
Film biopik pada dasarnya diangkat dari kisah nyata, tetapi dengan ramuan buruk. Kebanyakan biopik cenderung menjadi pelajaran sejarah yang membosankan. Film ini untungnya enggak masuk ke dalam kategori itu. The Trial of the Chicago 7 menjadikan kisah nyata menjadi lebih dramatis dan lebih mengena.
Terlalu Nyata dan Realistis
Secara keseluruhan, film ini mengambil sudut pandang dari kedelapan tokoh, yakni Abbie Hoffman, Jerry Rubin, Tom Hayden, Rennie Davis (Alex Sharp), David Dellinger. Lee Winer, John Froines, dan Bobby Seale. Bobby Seale kemudian dipisahkan karena alasan tertentu sehingga mereka menjadi tujuh.
Segala hal yang ada di film ini terlihat sangat alamiah dan enggak dibuat-buat. The Trial of the Chicago 7 enggak sekadar menjadikan para tokoh tersebut sebagai sosok-sosok heroik. Pada beberapa kesempatan, kalian sempet kesel sama mereka karena ceroboh (seperti yang dilakukan Tom Hayden), enggak main cantik di pengadilan (kayak Bobby Seale), dan sebagainya. The Trial of the Chicago 7 membuat para penonton berpikir realistis; demonstrasi itu penting banget untuk menjaga demokrasi, tetapi enggak semua peserta demonstran itu benar.
Film ini menggambarkan demonstrasi natural apa adanya. Polisi yang insecure duluan karena tugasnya buat mengamankan masyarakat serta beberapa demonstran yang ikut demo cuma karena kebawa hype aja. Yang memahami esensi demonstrasi, seperti para Chicago 7, tentu enggak bisa menghalau terjadinya kerusuhan. Apalagi, sempet ada ‘kesalahan ucapan’ dari salah satu Chicago 7 yang tanpa disengaja malah beneran memicu kerusuhan.
Kondisi ini tentu berhubungan sama apa yang selalu terjadi di Indonesia dan negara multikultural lain. Saking multikulturalnya, isu-isu pun jadi mengarah ke mana-mana, termasuk ke isu rasisme. Ada yang ikut demo karena memang mau mengkritik pemerintah. Ada juga yang demo buat nyari pacar, dan ada yang demo karena merasa dirinya minoritas.
Lebih relate lagi sama Indonesia masa kini, pada akhir dekade 1960-an, budaya hippies emang lagi menjadi tren di tengah anak muda Amerika Serikat. Hippies merupakan sebutan untuk kaum muda anti-mainstream yang memuja kebebasan, tetapi juga enggak mau terikat aturan hingga kadang jadi kebablasan. Kebanyakan malah jadi ketergantungan narkotika dan seks bebas serta enggak benar-benar mikirin masa depan.
Di Indonesia, ‘kaum semacam hippies’ ini memang sering dibahas, apalagi ada media-media sosial yang semakin mendukung pemikiran mereka. Kaum yang kadang disindir dengan sebutan SJW, kaum senja, libtard, dan lain sebagainya ini kadang dianggap terlalu sok memberontak tanpa tahu esensi, walaupun hal itu masih dapat diperdebatkan.
Jadi, meskipun film ini mengambil latar tahun 1960-an, rasanya dia seperti nyata terjadi di Indonesia sekarang. Seolah-olah, sejarah mengulang dirinya sendiri. Makanya, melihat fenomena demo dan protes terhadap pemerintah yang sedang marak, film ini jadi sangat relate.
Pemilihan Alur yang Tepat dan Akting Keren
Alur film enggak dibuat lurus, melainkan maju mundur sebelum pada akhirnya benar-benar maju. Awalnya, penonton yang enggak mengetahui kiprah Chicago Seven di dunia nyata bakalan bingung sama tokoh yang terlalu banyak.
Jadi, kami saranin kalian buat mencari tahu sedikit latar belakang Chicago Seven sebelum menonton film ini. Soalnya, kalau kalian udah tahu siapa mereka dan apa motivasi di balik demonstrasi ini, kalian akan sangat menikmati alurnya.
Jika alur dibuat maju, tentu akan menjadi kurang dramatis dan membuat kita kayak menonton buku sejarah. Sementara itu, alur acak, jika enggak dieksekusi dengan baik, berpotensi bikin hancur film dan membuatnya jadi seperti suntingan yang enggak selesai.
Pemilihan akhir film mau enggak mau bikin mata kita sedikit berair. Bukan karena ending-nya menyedihkan dan menyayat hati, tetapi karena mengingatkan kita bahwa di balik perang, ada ribuan nyawa orang enggak bersalah yang gugur. Dan apakah pemerintah peduli sama mereka? Terkadang, mereka hanya dianggap sebagai angka. Terkait hal tersebut, barangkali akan tergerak buat berdiri di akhir film sebagai bentuk penghormatan.
Para pemain pun sangat mendukung keelokan film ini. Sacha Baron Cohen mampu tampil sempurna sebagai Abbie Hoffman yang idealis, Eddie Redmayne cocok sebagai sosok yang intelek tetapi juga suka ceroboh, begitu pula Yahya Abdul-Mateen II sebagai Bobby Seale yang aktingnya di pengadilan bisa bikin suasana menjadi dramatis. Julius Hoffman yang diperanin sama Frank Langella juga cukup bikin kita kesal dan rasanya pengin ikut teriak-teriak di pengadilan.
The Trial of the Chicago 7 bukan cuma film biopik tentang ideologi. Ia adalah film tentang realita kehidupan bermasyarakat dan politik di sebuah negara multikultural. Film ini konfliknya rumit, tokohnya banyak, tetapi renyah. Mirip sama sepiring salad dengan topping yang lezat.
Maka dari itu, enggak mengherankan kalau film ini mendapatkan rating yang tinggi baik di Rotten Tomatoes (92%), IMDb (8,0), dan Metacritics (76). Film ini adalah biopik yang bikin kita lebih objektif dalam melihat sebuah masalah, bikin kita menjadi melek politik, sekaligus menghibur dengan drama yang enggak lebay dan sok patriotik.
Kalian pernah merasa benci sama negara, tetapi negara lebih benci sama kalian? Enggak percaya sama sistem hukum? Atau kalian pernah skeptis sama para pelaku demonstran, karena pada akhirnya mereka cuma mau mencari panggung? Ini film buat kalian semua, terlepas suka atau enggak sama demonstrasi, pro atau kontra sama pemerintah.
***
The Trial of the Chicago 7 mungkin bukan film yang terlalu “feel-good”. Akan tetapi, kalau kalian mau mencari film yang akan membuka pikiran, maka inilah jawabannya.
Buat yang sudah nonton film The Trial of the Chicago 7, bagaimana pendapat kalian? Bagikan di kolom review film di atas, ya. Tunggu ulasan film terbaru dari KINCIR selanjutnya.