*(SPOILER ALERT) Artikel ini mengandung sedikit bocoran film yang semoga saja enggak mengganggu buat kalian, ya.
Remake sekaligus reboot film Child’s Play (2019) memang cukup mengundang kontroversi. Don Manchini, kreator sekaligus penulis skenario film seri Child’s Play, enggak rela Chucky buatannya di-reboot.
Namun, karena rumah produksi MGM memegang hak cipta buat film pertamanya yang rilis pada 1988, mereka pun diizinkan membuat remake sampai reboot dari film pertamanya. Sementara, franchise film Child’s Play Don Mancini masih terus berjalan dan dipegang oleh Universal.
Karena itulah kalian bisa lihat ada perbedaan besar dalam Child’s Play yang memang mau membawa Chucky ke dunia yang lebih besar. Perubahan ini pun bukannya tanpa sebab. Pasalnya, sang sutradara, Lars mau menciptakan Child’s Play yang lebih menggambarkan permasalahan nyata.
KINCIR pun menemukan tiga isu nyata yang secara enggak langsung menjadi pemicu konflik dalam Child’s Play (2019). Yuk, simak!
1. Intimidasi di Dunia Kerja
Di awal film, kalian dikasih pemandangan pekerja pabrik di Vietnam yang ditegur, dimarahi dan dicecar pakai kata-kata kasar. Sakit hati, dia pun melepas semua proteksi keamanan sistem salah satu boneka Buddi, kemudian bunuh diri. Hal ini sebetulnya cuma gambaran kecil atas fakta kekerasan dunia kerja.
The Guardian pada 2008 pernah merilis reportase tentang kekerasan fisik dan seksual yang dialami oleh para perempuan pekerja di pabrik garmen Gap dan H&M di India, Sri Lanka, Bangladesh, Kamboja, dan Indonesia. Hal ini disebut-sebut karena tekanan langsung atas deadline perputaran yang cepat dan gaji buruh yang rendah.
Pada 2010, The Guardian juga pernah merilis berita senada, kali ini tentang ribuan pekerja dalam industri makanan (supermarket besar) di Inggris yang dieksploitasi dan diperlakukan dengan buruk, baik dalam hal kekerasan fisik maupun verbal.
Jadi, melihat yang dialami seorang pemrogram yang bekerja di pabrik Kavlan di Vietnam, hal itu bukanlah sesuatu yang dilebih-lebihkan. Di luar sana, eksploitasi dan kekerasan terhadap karyawan lumrah dilakukan oleh banyak perusahaan besar, bahkan dengan bayaran yang juga enggak sepadan.
2. Anak Mudah Terpapar Kekerasan
Dalam Child’s Play, Andy cukup bebas bermain tanpa pengawasan ibunya yang memang harus bekerja. Bahkan, saat orangtuanya di rumah pun, dia masih bisa terpapar kekerasan saat tetangganya yang masih sebaya membawakannya film thriller.
Hal ini memang enggak dianggap serius oleh Andy, tapi lain halnya dengan Chucky yang malah menganggap kekerasan sebagai bentuk hiburan untuk Andy.
Hal semacam ini terlihat lumrah dan bukan kali ini aja terjadi. Makanya sampai ada klasifikasi usia untuk film. Bahkan, sebenarnya ada 37 persen acara yang ditujukan buat anak-anak ternyata memiliki adegan kekerasan fisik dan verbal.
Belum lagi, lebih dari 90 persen film, 68 persen game, 60 persen acara TV, dan 15 persen video musik yang mengandung beberapa bentuk kekerasan. Jumlah ini pun sebetulnya meningkat signifikan dalam 50 tahun terakhir. Berarti, anak memang bisa dengan mudah terpapar kekerasan, padahal hal itu bahaya buat anak balita.
Dalam penelitian lainnya, kalau anak sering terpapar adegan kekerasan, mereka dapat mengembangkan pandangan tentang dunia sebagai tempat yang lebih berbahaya daripada yang sebenarnya.
Makanya, saat Chucky melakukan apa pun, bahkan membunuh, buat menarik perhatian Andy, hal itu sebenarnya merupakan bagian dari perkembangan psikologis anak yang udah dalam tahap terburuk.
3. Kekerasan Berdampak Buruk Bagi Anak
Lars Klevberg, sang sutradara, menyatakan bahwa dirinya terinspirasi dari karakter Frankenstein sampai Pinocchio untuk menerjemahkan naskah film ini ke layar lebar. Buat Lars, Chucky kayak anak kecil yang baru pertama kali melihat dunia.
“Saya mau membuat sesuatu berdasarkan pada bagaimana anak-anak memecahkan masalah dan selalu ingin tahu. Pada awalnya, mereka memiliki hati yang baik. Semua yang mereka lihat dan sentuh didasarkan atas rasa ingin tahu soal apa yang sedang terjadi di dunia,” ujar Lars kepada Los Angeles Times.
Chucky digambarkan sebagai boneka yang belajar apa saja. Jika yang diserapnya baik, Chucky bisa jadi “menggemaskan”. Namun, setelah menonton film thriller dan melihat Andy terhibur, dia pun berpikir bahwa semua kekerasan yang dilihatnya akan menghibur dirinya.
Sebetulnya, penelitian tentang dampak kekerasan terhadap anak telah banyak dilakukan. Dalam Psychology Today, sejak tahun 1960-an, anak-anak diminta menonton video yang berisi orang dewasa memukul-mukul boneka dengan tangan kosong sampai menggunakan alat.
Saat mereka diajak ke ruangan lain dengan boneka, anak-anak itu pun melakukan hal yang sama kepada boneka yang mereka mainkan. Bahkan, hasilnya lebih gila lagi saat melibatkan senjata.
Ketika Chucky menirukan apa yang dilihatnya dalam film terhadap korban-korbannya, hal itu sebenarnya mengenaskan. Hal itulah yang terjadi jika seorang-anak-tanpa-filter terlalu banyak terpapar kekerasan. Mereka bisa mencoba kekerasan yang dilihat dan dialaminya kepada orang lain dan merasa itu adalah jalan keluar yang baik.
4. Dampak Buruk Teknologi
Selain ketiga isu tersebut, sebetulnya Lars Klevberg dan Tylor Burton Smith juga mengangkat isu dampak buruk teknologi, loh. Secara enggak langsung, Lars juga menunjukkan bahwa kemajuan teknologi bisa jadi senjata yang mengerikan dan menyerang balik, dengan sedikit campur tangan dari beberapa orang.
Boneka Chucky yang jadi produk “gagal” akibat buruknya perlakuan yang diterima para pekerja di pabrik Kavlan, juga akibat dari berbagai paparan kekerasan yang dilihatnya dari film dan televisi.
***
Chucky pun ditetapkan sebagai film R-rated karena horor berdarah, kekerasan dan bahasa keseluruhan di dalamnya yang enggak cocok ditonton anak-anak. Berarti, cuma anak di atas 17 tahun aja yang boleh nonton film ini, itu pun dengan pengawasan orangtua.
Jadi, jangan bawa anak-anak menonton film ini, ya. Kalau maju ajak anak-anak, nonton The Lion King (2019) aja. Nah, buat yang udah nonton, apakah ada isu lain yang kalian rasakan pas nonton Child’s Play? Komen di bawah, ya.