*Spoiler Alert: Artikel ini mengandung bocoran film Cuties yang bisa saja mengganggu buat kalian yang belum menonton.
Film Cuties atau Mignonnes (2020) yang baru tayang di Netflix bukanlah film pertama yang dianggap mengeksploitasi sensualitas anak di bawah umur. Sebelumnya, sudah pernah ada beberapa film yang jauh lebih berani dalam melakukan hal itu, seperti misalnya Lolita (1997) dan Léon: The Professional (1994)
Umur di mana seseorang dianggap memiliki konsensus buat melakukan hal-hal berbau seksual berbeda-beda tergantung pada peraturan di setiap negara. Prancis misalnya, mengatur age of consent pada usia 15 tahun, Turki 18 tahun, dan Amerika Serikat antara 16—18 tahun, tergantung pada masing-masing negara bagian.
Film Cuties yang banyak menampilkan koreografi eksotis dan diperankan oleh anak-anak yang berusia sekitar 11 tahun tahun pun sontak menjadi kontroversi. Di Twitter, bertebaran tagar #CancelNetflix yang merepresentasikan kekecewaan netizen pada ide buat mengeksploitasi anak-anak dengan ornamen yang sensual.
Nah, separah apa sih pameran sensualitas dari film Cuties? Apakah selain kontroversi, ia memiliki alur dan sinematografi berkualitas yang bisa dibanggakan?
Yuk, simak review film Cuties di bawah ini!
Berangkat dari Isu Klise di Prancis
Isu multikulturalisme udah banyak banget dipakai dalam pembuatan film di Prancis. Kebanyakan film Prancis yang mengangkat isu imigran selalu menggunakan formula benturan budaya dan masalah keluarga. Mayoritas imigran di Prancis berasal dari Afrika Utara, yang punya budaya berbeda dengan Prancis serta kental akan nilai-nilai Islam.
Selain membawa budaya yang beda banget sama Prancis, biasanya mereka juga enggak kaya-kaya amat. Bahkan termasuk ke dalam golongan masyarakat berpenghasilan rendah yang hidup di banlieue, alias permukiman kumuh di Prancis (semacam ghetto).
Cuties berangkat dari kisah Amy, gadis umur sebelas tahun yang tinggal di banlieue bersama keluarganya. Mereka adalah imigran dari Senegal yang masih menganut budaya Islam dengan kuat, termasuk Amy. Sayangnya, ayah Amy menikah lagi alias poligami, membuat Amy kecewa berat dan mempertanyakan semua hal yang melekat di dalam dirinya.
Hal ini ditambah lagi dengan perbedaan persepsi soal pakaian. Amy merasa kalau temen-temennya terlihat bebas tanpa kerudung atau hal lain yang menutupi tubuh mereka.
Membaca sinopsisnya mungkin bikin penonton, terutama Indonesia, terbelah ke dalam dua golongan. Golongan pertama adalah mereka yang udah males duluan sama film dengan isu agama dan berpikir kalau film Cuties ini provokatif banget. Golongan kedua adalah mereka yang bersemangat karena film Cuties seolah mengajak penonton buat mendobrak budaya yang menurut kita mengekang.
Siapa yang bener? Well, dua-duanya bisa jadi bener, bisa jadi salah. Ide Cuties memang klise, provokatif, dan lagi-lagi membawa agama (khas Prancis banget!). Namun, eksekusinya ternyata enggak sedangkal itu.
Pencarian Jati Diri Amy
Kalau kalian berpikir bahwa Amy digambarkan sebagai gadis bodoh, naif, dan gampang kebawa arus layaknya anak-anak muda di sinetron, maka kalian salah besar. Pergolakan batin Amy dieksekusi dengan baik di film Cuties.
Amy enggak secara frontal mempertanyakan budayanya seperti SJW media sosial. Dia mempertanyakan semuanya lewat tindakan, ucapan, pilihan hidup, bahkan pada saat dia diam.
Identitas Islami keluarga Amy pun enggak ditonjolkan dengan ekstrem, jadi, enggak memberikan ruang bagi penonton untuk berpikiran terlalu buruk. Film ini memang sebetulnya enggak mau lebih jauh mempertanyakan nilai-nilai Islam, kok. Pada dasarnya, Cuties mau para orangtua buat lebih aware sama anak-anak mereka.
Orangtua adalah sekolah pertama buat anak, tetapi nyatanya banyak anak yang justru menyembunyikan banyak hal dari orangtua mereka. Alasannya beragam, mulai dari perbedaan generasi, keinginan orangtua buat membentuk anak sesuai dengan idealisme mereka, dan sifat posesif mereka.
Amy adalah contoh anak yang "jauh" dari orangtuanya. Sebagai anak yang baru beranjak remaja, begitu mudah baginya untuk menjamah dan terpapar budaya di Prancis. Dia baru saja mengenal dunia dan menganggap bahwa tarian, obrolan dewasa soal reproduksi dan lainnya –seperti yang dilakukan oleh para anak hit di sekolahnya– adalah tiket untuk keluar dari dunia keluarganya yang membosankan dan mengecewakan.
Lalu, di Mana Kontroversi Film Cuties?
Permasalahan yang bikin banyak penonton ngamuk bukan pada ide ceritanya, tetapi beberapa adegan yang menggambarkan betapa “bebasnya” anak remaja zaman sekarang.
Tenang, di film ini enggak ada adegan seks, kok. Namun, melihat bagian-bagian tubuh tertentu dari anak-anak umur 11 tahun ditonjolkan secara intens pada adegan menari, tentu sama aja kayak “ngajak ribut banyak orang”.
Ada yang berpendapat kalau adegan itu bakal memancing banyak pedofil. Ada juga yang berpendapat kalau ini merupakan eksploitasi yang bakal disesali sama anak-anak ini kelak.
Dan bukan cuma sensualitas, ada adegan di mana anak-anak ini meniup kondom seperti balon! Sutradara Maïmouna Doucouré mungkin ingin membuat adegan ini sebagai gambaran betapa enggak terbatasnya informasi zaman sekarang. Ditambah, bagaimana mudahnya anak-anak remaja buat mengakses hal-hal yang enggak sesuai sama usia mereka.
Ada juga adegan berantem para remaja yang ngeselin, mengingatkan kalian pada FTV di mana anak SMP saling ngelabrak. Well, enggak selebay itu, tetapi mengingat tokoh-tokoh kita ini bahkan belum lama mendapatkan menstruasi pertamanya, hal tersebut cukup mengganggu.
Masih belum cukup? Anak-anak ini juga sempat digambarkan berbelanja dengan gaya ala Sex and the City. Melihat orang dewasa memboroskan uang dengan gaya centil mungkin menyenangkan, tetapi enggak dengan anak remaja yang bahkan belum bisa sepenuhnya memahami kebutuhan mereka.
Namun, dilihat dari kualitas sinematografi, akting, dan juga premis, film Cuties layak mendapatkan acungan jempol. Fathia Youssouf sebagai Amy bener-bener mampu berakting sebagai anak imigran yang penuh dengan kegalauan dan krisis identitas.
Teman-teman sepermainannya pun enggak kalah centil. Enggak mengherankan, Maïmouna Doucouré, sang sutradara, memenangkan penghargaan di Sundance Film Festival 2020.
Untuk kalian yang memang mencari tontonan penuh makna, film Cuties adalah jawabannya. Cuma, kalau kalian lagi malas mikir dan kalian juga sedang di dalam fase krisis identitas yang parah, kayaknya lebih baik kalian menonton film lain yang lebih ringan daripada lebih stres setelah nonton film Cuties –kecuali kalau kalian memang lagi nyari referensi buat proses pencarian jati diri–.
***
Overall, menyalahkan film Cuties sebagai pengundang pedofil sama aja kayak menyalahkan pakaian manusia saat seseorang diperkosa. Namun, kalau ada yang bisa dikritik dari film ini adalah: apakah para orang dewasa yang terlibat bakal bertanggung jawab dengan kondisi psikologis para pemain –yang notabene masih anak-anak–? Apakah suatu saat mereka bakal menyesal karena pernah berakting dengan gaya yang hot di dalam sebuah film?
Film Cuties sudah bisa diakses di Netflix sejak 9 September 2020. Buat kalian yang udah nonton film ini? Bagikan pendapat kalian di kolom komentar, ya!