Bagaimana Dampak OTT Jika Tuntutan RCTI Dikabulkan?

– Siapa yang akan dirugikan jika tuntutan RCTI dan iNews dikabulkan?
– Bagaimana pentingnya UU Penyiaran?

Berita bahwa pihak dua anak perusahaan MNC Group, iNews dan RCTI, bakal menuntut live streaming dan over-the-top bikin berang banyak orang. Pasalnya, jika tuntutan ini dikabulkan, ada banyak pihak yang enggak bisa siaran lagi di platform-platform media sosial seperti Youtube, Anchor FM, atau Instagram. Bahkan, konten digital dari Netflix atau platform video-on-demand lainnya pun bakal harus melewati perizinan yang rumit.

Hampir semua orang berang atas tuntutan itu, karena dianggap membatasi kebebasan berekspresi. Anak-anak perusahaan MNC itu dianggap hanya mau “menikmati kue” buat diri mereka sendiri.

Sebenarnya, apa sih yang mereka tuntut? Apa dampak yang bakal ditimbulkan kalau tuntutan mereka diumumkan, terutama buat konten OTT?

UU Penyiaran, Senjata Ampuh Bagi iNews dan RCTI

Via Istimewa

Semenjak kehadiran platform over-the-top, harus diakui bahwa alternatif tontonan banyak orang semakin beragam aja. Kini, hiburan enggak cuma berasal dari stasiun televisi lokal dan nasional aja. Cukup buka ponsel dan ada banyak alternatif hiburan tersedia.

Untungnya lagi, kalian juga bisa bikin siaran sendiri. Bahkan, kalian enggak perlu punya satelit sendiri yang harganya mahal dan cuma bisa dimiliki sama perusahaan besar.

Namun, tentu saja hal itu berdampak cukup buruk pada bisnis pertelevisian. Net TV misalnya, adalah stasiun TV yang pada akhirnya terkena imbas tayangan digital. Stasiun TV besutan Wishnutama ini harus memangkas banyak program dan enggak lagi membuka biro di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Via Istimewa

Menurut Amelia Day, pengamat media dari Universitas Indonesia, pada satu titik orang-orang menyukai Net TV, tetapi sekarang, semua orang bisa bikin konten. Mau enggak mau, fakta itu memang harus ditelan sama bos TV. Cara lama enggak bisa dipakai.

Namun, di berbagai negara, hukum yang mengatur terkait internet memang sedikit ambigu dan tumpang-tindih. Jadi, terkadang ada aja celah untuk melakukan pelanggaran atau membuat tuntutan. Hal tersebut juga terjadi di Amerika Serikat, di mana false game advertisement alias iklan game yang enggak merepresentasikan apa yang ditawarkan game, sulit untuk dituntut.

Bicara soal UU Penyiaran, RCTI dan iNews menggunakan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Undang-Undang ini meliputi banyak pasal, tetapi pada pasal ke-33, ada kewajiban bagi lembaga penyiaran untuk mendapatkan izin dari pemerintah agar bisa melakukan penyiaran. Bentuk penyiaran itu enggak cuma live streaming aja, lho, tetapi apapun yang disampaikan ke khalayak umum.

Via Istimewa

Berdasarkan UU tersebut, siaran adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran.

Masih dari UU yang sama, definisi penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.

Berkas judicial review RCTI dan iNews menyebutkan bahwa apa yang mereka tuntut adalah tentang perluasan makna penyiaran hingga ke platform Internet. Jadi, yang diawasin sama KPI bukan sekadar channel-channel resmi Indonesia aja, tetapi juga tayangan-tayangan lain di media sosial. RCTI menuntut perumusan baru Pasal 1 ayat 2 menjadi:

Penyiaran adalah (kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran; dan/atau kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran.

Apakah Tuntutan RCTI Realistis?

Via Istimewa

Hukum memang sebuah hal yang ketat, tetapi pasal demi pasal bisa punya banyak celah. Klaim RCTI-iNews dalam judicial review bisa saja bertujuan agar konten Internet juga diawasin sama KPI. Namun, tuntutan itu pada akhirnya kelihatan ambigu dan bisa jadi pedang bermata banyak yang menurut banyak orang –mengancam kebebasan publik–.

Dalam wawancara bersama Deddy Corbuzier, Dini Putri (Direktur Program & Akuisisi RCTI) dan Chris Taufik (Direktur Legal MNC Media), mengatakan bahwa peraturan ini sama sekali enggak ditujukan buat kreator konten, tetapi buat para penyedia layanan over-the-top kayak Netflix dan Youtube.

Dini Putri mengibaratkan para kreator konten sebagai selebritas di channel TV, dan Netflix atau Youtube sebagai stasiun TV. Saat para selebritas melakukan hal-hal enggak senonoh atau enggak sesuai peraturan, KPI berhak memberikan peringatan bahkan menghentikan tayangan itu.

Dampak Apabila Tuntutan RCTI – iNews Dikabulkan

Via Istimewa

Para konten kreator tentunya masih bisa melakukan live streaming atau membagikan konten video. Namun, tentu saja bakalan sangat terbatas, bahkan bisa aja harus disetujui penyedia platform terlebih dahulu dan harus sesuai sama peraturan mengenai siaran yang diperbolehkan di Indonesia.

Coba, deh, ibaratkan konten Youtube adalah show di stasiun televisi. Ada banyak hal yang bisa aja harus disensor, misalnya, nih, belahan dada, atau kata-kata kasar.

Selain itu, bisa aja kalian harus izin dulu buat mengadakan live streaming. Jadi, kalian enggak bisa langsung live streaming kapan aja seperti yang kalian mau. Mekanisme izinnya seperti apa, tentu membingungkan mengingat hubungan antara konten kreator dan penyedia layanan over-the-top enggak sesimpel hubungan antara produser TV show dan stasiun televisi. Jika stasiun TV adalah kolam di depan rumah, platform over-the-top adalah lautan tempat bermuara bagi banyak sungai.

Lalu, Bagaimana Dampaknya Buat Layanan OTT?

Via Istimewa

Sebetulnya, beberapa over-the-top sudah menerapkan filter dan peraturan yang mengikat tentang usia. Netflix misalnya, udah membuat fitur Kids di mana anak-anak cuma bisa mencari konten untuk usia mereka. Youtube juga udah memberikan peringatan terkait konten dewasa. Nah, apabila OTT harus terikat oleh UU Penyiaran seperti permintaan RCTI-iNews, ada banyak konten yang harus mengikuti sensor penyiaran Indonesia.

Konten-konten yang menurut RCTI-iNews enggak sesuai sama Pancasila juga bisa aja enggak boleh ditonton di Indonesia. Di satu sisi, hal ini positif karena anak-anak enggak bisa seenaknya melihat hal-hal yang enggak sesuai umur. Namun, di sisi lain, ini bisa membatasi kita dari pengetahuan, mengurangi bahan riset, dan membuat kita banyak tertinggal dibandingkan sama negara lain.

Via Istimewa

Bayangin aja, film-film Marvel mungkin bisa aja enggak boleh tayang di Netflix karena ada banyak hal yang enggak sesuai sama sistem sensor televisi. Hal yang sama berlaku pada film-film dokumenter yang dianggap terlalu kasar atau vulgar. Padahal, ada banyak tayangan vulgar yang memang bisa menjadi bahan edukasi buat orang yang cukup usia.

Lagipula, sistem rating TV nyatanya enggak efektif dalam mengelompokkan tayangan mana yang bisa ditonton anak-anak, mana yang enggak. Mereka masih bisa menonton tayangan itu karena enggak ada filter yang bisa dipakai orang tua layaknya dalam Netflix atau Youtube.

Selain itu, pembaruan pasal ini juga menyebabkan dia menjadi pasal karet. Soalnya, frasa “sesuai dengan Pancasila” itu maknanya luas banget dan butuh kajian khusus untuk merumuskannya.

Bagaimana Tanggapan Pihak Pemerintah?

Via Istimewa

Sanggahan soal UU Penyiaran disuarakan sama Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kemenkominfo Ahmad M. Ramli dalam persidangan Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu. Menurut Ramli, penyedia layanan over-the-top enggak bisa disamain sama penyiaran radio atau televisi, meskipun output-nya sama-sama berupa suara atau konten audio visual.

Jika layanan penyiaran diatur melalui UU Penyiaran, maka layanan OTT yang memanfaatkan jasa akses internet melalui jaringan telekomunikasi tunduk pada UU Telekomunikasi.

Menurut Ramli, konten OTT enggak bisa tunduk sama UU Penyiaran, melainkan sama UU ITE. Apa yang dikatakan oleh beliau ini cukup realistis karena memang selama ini, konten dari OTT juga udah dikontrol sama UU ITE.

Via Istimewa

Sedangkan pengawasan konten OTT yang ditransmisikan melalui sistem elektronik tunduk pada UU ITE. Memasukkan konten OTT ke dalam ranah penyiaran bakalan bikin peraturan menjadi tumpang tindih.

Sementara itu, komisioner KPI, Aswar Hasan berharap kalau tuntutan ini jangan sampai mengekang kebebasan berpendapat. Beliau juga berpendapat kalau enggak semua pembuat konten harus punya izin siar.

***

Keputusan Mahkamah Konstitusi bakalan berpengaruh sama hajat hidup banyak orang dan kepada cara kita dalam mendapatkan informasi. Kalau menurut kalian, apakah tuntutan ini realistis, atau bikin kita jadi mundur beberapa dekade?

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.