Setiap sutradara punya nilai yang mereka letakkan dalam film garapannya. Tak jarang nilai tersebut berasal dari perhatian mereka terhadap isu tertentu. Salah satunya, ada Arfan Sabran, sutradara film dokumenter Bara ‘The Flame’.
The Flame merupakan film dokumenter panjang pertama yang disutradarai oleh Arfan Sabran. Film yang diproduseri Gita Fara ini telah tayang di Vision du Reel Film Festival di Swiss pada April 2021, DMZ Documentary Film Festival di Korea pada September 2021, dan Bifed, Ecology Film Festival di Turki pada Oktober 2021. Selanjutnya, film dokumenter ini juga akan tayang perdana di Jogja NETPAC Asian Film Festival 2021 dan di Singapore International Film Festival pada akhir November ini.
Dalam sesi konferensi pers beberapa waktu lalu Arfan Sabran menjelaskan soal proses penggarapan film ini. Dirinya mengungkapkan bahwa ada banyak kendala yang mereka rasakan selama proses pengambilan gambar.
“Kalau sukanya pastinya makanan Ibu Iber enak-enak ya di rumah. Sederhana tapi sangat menyentuh. Kesulitannya adalah kita harus memanage produksi di tengah-tengah asap ya, di tengah kebakaran besar. Kemudian menjaga kalau Pak Iber juga tetap tenang dan sehat selama produksi,” katanya.
Dalam blog pribadinya, Arfan menuliskan bahwa Ia bertemu Iber Djamal pada tahun 2014 ketika dirinya mulai syuting sesi pembakaran di Kalimantan.
Saat itu, Arfan hanya fokus terhadap dampak kebakaran hutan dan perubahan iklim dan tidak fokus mengikuti Iber Djamal. Ketika mengunjungi hutan hujan di Kalimantan dan hutan lainnya di Papua, hatinya tergugah.
“Ini adalah pertama kalinya bagi saya untuk melihat kondisi hutan hujan negara saya. Negara saya telah mengeksploitasi hutan hujan kami di luar kendali selama bertahun-tahun. Saat itulah saya berpikir saya harus membuat film tentang ini,” tulisnya.
Menurut Arfan, asap dan kabut yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan juga menyebabkan gangguan dan kerugian ekonomi bagi banyak negara tetangga, sehingga menimbulkan ketegangan diplomatik.
Setelah menyelesaikan filmnya tentang kebakaran hutan di Kalimantan dan Papua pada 2015, ia merasa belum selesai. Akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan topik ini untuk membuat film berdasarkan kisah karakter utama Iber Djamal dan membuat hubungan yang lebih dalam dengannya.
“Saya mungkin sebagai film maker merasa terpanggil untuk mengangkat isu-isu yang menurut saya penting dan sangat mendasar. Kita punya hutan yang luas, tapi laju deforestasi kita jadi salah satu yang tertinggi di dunia. Menurutku, saat ketemu Pak Iber, oke saat ini saya harus berbicara soal isu lingkungan,” jelas Arfan.
Iber merupakan salah satu dari antara ribuan korban Proyek Beras Mega Indonesia. Arfan melihat kalau Iber memiliki trauma, penderitaan, dan kemarahan yang belum selesai sampai sekarang.
“Itulah salah satu alasan juga mengapa saya memilih judul itu untuk film ini. Dia selalu menangis ketika saya bertanya tentang Proyek Mega Rice, tetapi juga memikirkan apa yang akan terjadi dengan hutan di masa depan, terutama jika kita tidak mengambil tindakan. Saya menghormatinya karena dia tidak pernah menyerah, bahkan dengan kondisi kesehatannya yang menurun,” ungkap laki-laki kelahiran 12 Oktober 1981 ini.
Kondisi kesehatan Iber pun jadi pertimbangan dan tantangan lain dalam proses syuting The Flame. Arfan mengakui kalau tempo produksi terasa sedikit lambat. Ia tidak ingin menggangu kesehatan Iber dengan jadwal syuting yang padat.
Fokus terhadap isu global dengan pendekatan personal
Ada satu hal yang menarik dalam Bara ‘The Flame’ bahwa kisah Iber dan keluarganya tak hanya jadi pemanis dalam dokumenter ini. Pendekatan personal yang membungkus isu kelestarian hutan ini sangat menarik untuk diikuti. Ini yang membuat para penontonya merasa terhubung dengan isu utama dalam The Flame.
Menurut Arfan, hutan merupakan simbol kehidupan, keseimbangan, dan kebijaksanaan hidup. Ia sangat tertarik untuk mengkesplorasi hubungan antara hutan dan manusia.
“Saya mengembangkan cerita saya yang tidak hanya tentang Iber, tetapi juga untuk melihat perbedaan hubungan antara hutan dan tiga generasi dalam satu keluarga: Iber, putranya, dan cucunya,” tulisnya dalam catatan sutradara film dokumenter yang dimulai pada tahun 2018 ini
Dalam The Flame, diceritakan pula bahwa di balik perjuangan Iber untuk menyelamatkan tanah dan hutannya, anak-anaknya justru kurang peduli tentang hal ini. Mereka berpikir untuk mengambil uangnya saja, sama seperti prang lain. Sementara itu, generasi berikutnya (cucu Iber) mulai bertanya tentang hutan dan segala sesuatu yang sudah dan akan hilang.
“Bagi saya, cerita tentang keluarga, cinta dalam keluarga adalah satu hal yang mendasar ya. Itu adalah bahasa universal. Bagaimana saya berbicara soal hal yang global, seperti lingkungan lewat medium film, dengan cerita yang sangat personal, tentang kakek dan cucunya. Bagi saya, itu adalah cara saya menyampaikan kegelisahan hati saya dalam masalah yang besar, lewat cerita-cerita yang sangat sederhana,” ungkapnya.
Lewat film ini, ia berharap agar pemerintah bisa melihat dan membuat kebijakan yang baik untuk menyelamatkan Hutan Adat Indonesia. Menurutnya, deforestasi telah menyebabkan erosi tanah, kebakaran hutan besar-besaran dan perubahan iklim. Pertarungan yang harus kita taklukkan, untuk menyelamatkan masa depan.
“Memang hal-hal mendasar seperti kesehatan, anak-anak, lingkungan itu salah satu concern saya dalam berkarya. Setelah ini, saya akan melanjutkan karya saya yang produksi 2016 soal kesehatan, tentang kisah ibu dan anak di pulau terpencil,” tutupnya.