Selain membahas warna ungu, tiga pemeran film Yuni juga membahas keseruan selama syuting!
Siapa yang sudah menonton film Sekala Niskala (2018)? Film tersebut cukup berjaya di Festival Film Indonesia (FFI) 2018, bahkan masuk dalam nominasi “Film Terbaik” dan “Sutradara Terbaik”. Nah, sutradara yang menggarap Sekala Niskala, yaitu Kamila Andini, bakal comeback dengan film terbaru yang diberi judul Yuni.
Yuni baru dijadwalkan rilis di bioskop Indonesia pada 9 Desember 2021. Belum dirilis untuk umum, Yuni bikin bangga Indonesia dengan mendapatkan Platform Prize di Toronto International Film Festival (TIFF) 2021. Hebatnya lagi, Yuni menjadi perwakilan Indonesia untuk masuk nominasi “Best International Feature Film” Oscar 2022.
Yuni berkisah tentang seorang gadis SMA Banten yang berprestasi di sekolahnya. Belum juga lulus sekolah, Yuni menerima lamaran dari tiga cowok yang berbeda. Hal ini sangat kontradiktif dengan keinginan Yuni yang ingin bebas dan melanjutkan pendidikannya. Akibat mitos dilarang menolak lamaran lebih dari tiga kali, Yuni pun menghadapi dilema di lamaran ketiganya.
KINCIR mendapatkan kesempatan mengobrol dengan tiga pemain Yuni, yaitu Arawinda Kirana, Asmara Abigail, dan Vania Aurell. Bagaimana pengalaman mereka membintangi film ini? Yuk, simak obrolan kami berikut ini:
KINCIR: Bisa dideskripsikan karakter masing-masing di film Yuni?
Arawinda: Karakter yang saya mainkan adalah Yuni, remaja umur 16 tahun, tinggal di desa terpencil di Serang. Karakter yang berani bertanya dibandingkan teman-temannya. Menjalani hidup saja, tapi Yuni agak membangkang terhadap berbagai stereotip. Film ini seputar bagaimana Yuni menggunakan suaranya untuk mencari tahu apa yang dia inginkan.
Asmara: Suci sebenarnya karakter yang memiliki banyak trauma di hidupnya. Umurnya lebih tua lima tahun dari gengnya Yuni. Suci orang yang blak-blakan dan agak comical juga. Namun, karakter ekstrem seperti Suci ini sebenarnya sering banget kita lihat di kehidupan nyata. Dia hidup susah tapi tegar dan membawanya jadi ironi. Kehidupannya malah dibawa guyon dan agak ngebadut di mata Yuni. Lewat Suci, Yuni bisa merefleksikan apa yang sedang terjadi di kehidupannya karena sudah dialami duluan sama Suci.
Aurell: Saya berperan sebagai Nisa. Nisa itu bagian dari gengnya Yuni. Nisa ini agak centil, anaknya ceria, dan agak nyablak.
KINCIR: Bisa diceritakan bagaimana proses kamu bergabung di Yuni? Apalagi Aurell sebelumnya adalah penyanyi. Apakah ada proses casting?
Aurell: Sebenarnya, saya awalnya malah dari dunia akting dulu. Dari film Sang Penari (2011) berlanjut ke dunia tarik suara karena hobi. Saya masuk ke idol group JKT48 selama tujuh tahun. Saya mendapatkan kesempatan di Yuni itu melalui casting. Saat lagi chat sama Mas Ifa (sutradara Sang Penari dan produser Yuni) di IG, saya diajak buat ikutan casting Yuni.
KINCIR: Film pertama Arawinda sebenarnya adalah Yuni, tetapi Quarantine Tales (2020) malah dirilis duluan. Karakter kamu di Quarantine Tales dan Yuni memiliki kesamaan, yaitu seorang anak perempuan yang punya pendirian teguh. Apakah membintangi dua film ini jadi membantu pengembangan karakter satu sama lain?
Arawinda: Syuting Yuni, ‘kan, duluan, jadi saya belum ada referensi dari Quarantine Tales. Untuk syuting Yuni, saya sepenuhnya riset sendiri langsung ke Serang langsung. Yuni dan Quarantine Tales sama-sama berlatar di daerah pedesaan. Itu yang bisa saya ambil dari Yuni ke Quarantine Tales, dari perilakunya hingga cara duduknya.
Pada dasarnya, Yuni dan Adin (karakter di Quarantine Tales) sangat berbeda. Adin itu egois karena dia merasa tertekan hidupnya. Ketika Adin berhasil mencapai sesuatu, dia merasa itu adalah pencapaian terbaiknya. Makanya dia enggak mikirin orang lain, khususnya orang tuanya, karena terlalu mengasihani dirinya.
Yuni itu melakukan sesuatu secara sadar akan dampaknya kepada orang lain. Jadi dia enggak mungkin impulsif melakukan sesuatu yang menyakiti keluarganya. Jadi, aku memainkan kedua karakter tersebut secara berbeda.
KINCIR: Apa tantangannya saat Arawinda menyeberang dari film panjang (Yuni) ke film pendek (Quarantine Tales)? Mana yang lebih menyenangkan menurut kamu?
Arawinda: Keduanya menyenangkan karena prosesnya beda. Keuntungan syuting film panjang adalah saya punya masa reading yang lebih lama, jadi saya bisa lebih klop sama karakternya dan bisa mendalami lebih lama. Kekurangan di film pendek adalah masa reading-nya enggak lama. Yuni, ‘kan, sebulan lebih bahkan hampir dua bulan. Quarantine Tales itu saya cuma punya waktu seminggu untuk pendalaman karakter. Menurut saya, lebih baik yang reading-nya lebih lama.
Buat saya pribadi, saya lebih enjoy syuting film pendek karena syutingnya cuma tiga hari, jadi enggak seberat syuting film panjang. Bukan kekurangan, sih, tetapi lama-lama berat juga karena harus tetap pada karakter cukup lama.
KINCIR: Di tahun ini Asmara tampil juga di A World Without (2021). Suci bisa dibilang punya vibes yang mirip dengan Tara, suka make up dan centil. Apakah kedua film ini syutingnya berdekatan? Apakah karakter yang satu membantu pembangunan karakter lainnya karena punya kemiripan?
Asmara: Yuni duluan syuting, sekitar Januari-Februari 2020, sedangkan A World Without syutingnya akhir Januari sampai awal Maret 2021. Sebenarnya, Suci dan Tara cuma punya dua kemiripan, yaitu suka make up dan centil. Namun, latar belakang sosial budaya mereka berbeda. Tara itu anak Jaksel banget dan umurnya masih 16 tahun, sedangkan Suci umurnya sekitar 22—23 tahun, cewek Serang banget, dan mbak-mbak salon. Secara ekonominya beda dan latar belakang keluarga juga beda.
Walau sama-sama suka dandan dan centil, cara dandan keduanya juga berbeda dan keduanya punya cara genit yang berbeda. Pendekatan kedua karakter ini memang berbeda, sih.
KINCIR: Apakah Arawinda dan Asmara melakukan proses casting sebelum mendapatkan peran Yuni?
Arawinda: Pastinya saya ikut casting karena ini film pertama dan saya belum punya riwayat kerja dalam dunia film. Mungkin saya dipercaya untuk mendapatkan casting karena saya udah ada latar belakang teater. Casting-nya dapat dari manajemen, dan saya sudah bergabung dengan mereka setelah lulus SMA. Saya casting Yuni saat saya berumur 17 tahun. Lalu, syutingnya enggak lama setelah saya berumur 18 tahun.
Asmara: Sebenarnya aku terlibat dengan proyek Yuni sudah lama. Tahun 2018, saya dihubungi Fourcolours Films karena mereka mau bikin demonya untuk keperluan pitching, funding, dan lainnya. Untuk keperluan Mas Ifa, Mbak Dini (Kamila Andini), dan Mbak Prima Rusdi presentasi demi mendapatkan funding dan partnership internasional, mereka perlu bawa bahan.
Tahun 2018, syuting demonya, saya sebagai Yuni. Sudah biasa begini. Bikin demo dengan aktor lain, lalu bikin casting lagi mencari aktor yang akan digunakan di filmnya. Setelah dinyatakan siap syuting film sesungguhnya dan diadakan casting, akhirnya saya dapat karakter Suci.
Senang banget bisa mendapatkan karakter Suci karena sebelumnya saya dicap sebagai aktris film horor. Jadi saya senang banget karena dua film saya yang rilis di tahun ini bukan film horor dan keduanya drama.
Kalau Mbak Dini enggak kasih peran Suci kepada saya, kayaknya enggak tahu apakah saya bisa dapat kesempatan lagi untuk memerankan perempuan se-absurd ini. Saya yakin tiap karakter punya jodohnya masing-masing dengan aktornya.
KINCIR: Bagaimana pengalaman kamu disutradarai oleh Kamila Andini?
Aurell: Saya baru pertama kali berkerja sama dengan Mbak Kamila, ‘kan. Saya merasa lebih enjoy, sih, karena kami enggak bekerja di bawah tekanan. Sama Mbak Kamila, dari awal ketemu pun kami komunikasinya seperti teman. Lebih banyak merangkul kami. Jika kita merasa enggak nyaman saat akting, pasti Mbak Kamila bilang, “Enggak apa-apa, besok kita main lebih bagus lagi.” Jadi lebih membangun kami, sih.
Asmara: Menyenangkan banget sama Mbak Dini. Apalagi, Yuni, ‘kan, mengangkat isu perempuan, sutradara hingga penulis naskahnya perempuan. Lalu, inspirasi Mbak Dini, ‘kan, dari asisten rumah tangga dia, jadi ceritanya dekat sama dia. Kami punya kesempatan lebih banyak diskusi dan lain-lain. Mbak Dini juga orangnya menenangkan juga.
Saya sempat grogi di hari pertama syuting saat melakukan adegan bersama Yuni karena properti syutingnya lumayan banyak, ada rokok, handphone, tas, terus jaga warung sambil nyuci. Jadi sering stres sendiri.
Di sisi lain, hal ini pastinya sudah biasa untuk Suci. Jadi, saya harus terlihat natural. Kalau orang sudah grogi di lokasi syuting, jadi enggak enak, ‘kan, mainnya. Namun, Mbak Dini bisa bikin saya tenang jadi kami juga berusaha lebih santai dan mainnya enggak kepikiran.
Arawinda: Mbak Dini itu tipe sutradara yang memberikan ruang kepada aktrisnya untuk eksplorasi. Walau sudah ada naskah, dia tanya lagi, “Menurut kamu ini oke, enggak? Menurut kamu, apakah karakter kamu bakal bilang sesuatu seperti ini atau apakah dia bakal melakukan hal seperti ini?” Jadi dia nanya opini sebagai karakter, sangat mengagumkan, enggak semua sutradara melakukannya.
Apalagi karena baru syuting pertama kali, jadi ada bayak tekanan dari diri sendiri. Mbak Dini selalu nenangin dan bikin diskusi sehingga saya lebih fokus sama karakternya daripada ketakutan saya.
Bahkan, kami dibebaskan untuk menentukan properti kami sendiri. Beberapa hari sebelum syuting, kita sudah homestay di Serang dan Mbak Dini ajak kita belanja properti selama satu hari khusus. Biar rasanya kami yang benar-benar milih barangnya.
KINCIR: Di film, Yuni menggunakan banyak benda berwarna ungu. Nah, itu karena Yuni suka warna ungu atau ada alasan lain di balik penggunaan ungu?
Arawinda: Kalau dari Mbak Dini, itu terinspirasi dari kehidupan nyata. Dia punya teman yang suka banget sama warna ungu sampai merasa bahwa warna ungu hanya milik dia. Sepertinya Mbak Dini pikir hal itu menarik untuk ditambahkan ke Yuni. Dari saya, sih, enggak ada alasan khusus buat Yuni suka warna ungu.
Kebetulan juga, ungu belakangan digunakan untuk simbol isu perempuan. Lalu, ada stigma bahwa ungu adalah warna janda jadi bisa diaplikasikan sebagai ironi di film ini.
KINCIR: Yuni, ‘kan, mengangkat isu tentang perempuan. Menurut kamu, apa pesan dari film ini yang harus sampai kepada masyarakat Indonesia?
Arawinda: Yuni itu tentang bagaimana kita menentukan arah kita sendiri dalam dunia yang seakan-akan enggak berpihak dengan kita. Film ini, ‘kan, menceritakan banyak isu, mulai dari pernikahan dini, sistem patriarki Indonesia yang membungkam suara perempuan, lalu kebebasan berekspresi bagi perempuan dan laki-laki. Soalnya di dalam film ini, yang terpuruk bukan hanya perempuan tetapi laki-laki juga.
Saya berharap penonton film ini melihat kita bisa bersuara di tengah banyak tekanan dan bisa terus bermimpi karena itu merupakan energi yang besar untuk kita bisa melewati banyak hal. Lewat film ini, semoga orang jadi ingin bekerja untuk membantu negara kita menjadi lebih baik, secara ekonomi dan pemerataan edukasi, terutama edukasi seks, yang juga diangkat di film ini.
Asmara: Saya cukup capek mendengar kata “perempuan baik-baik”. Perempuan selalu dituntut untuk menjadi perempuan baik-baik. Dengan menonton Yuni, penonton bisa terinspirasi bahwa setiap individu dapat menentukan versi baik-baiknya sendiri. Fokusnya bukan pada perempuan baik-baik tapi pada perempuan itu bahagia atau enggak, aman atau enggak.
Kenapa mentingin omongan orang tetapi dalamnya enggak bahagia? Semoga yang menonton Yuni bisa menentukan versi baik-baik mereka dan paling penting, mereka bahagia.
Aurell: Semoga masyarakat bisa membuka pikirannya untuk untuk banyak diskusi, baik anak dengan orang tua, sesama manusia, banyak, sih, pokoknya membuka diskusi antara dua pihak. Lebih ke pesan tentang persetujuan antara dua pihak.
***
Jadi semakin penasaran dengan Yuni? Kalian bisa menonton film ini di bioskop mulai 9 Desember 2021. Sampai jumpa di bioskop!