Arab Blues, Film Frankofon Representasi Anak Muda

*Spoiler Alert: Artikel ini mengandung bocoran cerita film Arab Blues yang bisa saja mengganggu kalian yang belum nonton.

Ada satu persamaan dari film frankofon dengan tokoh-tokoh berdarah Arab: mereka selalu membicarakan soal benturan budaya, agama, dan juga konflik sama saudara dan kerabat. Film Arab Blues atau Un Divan à Tunis (2019) jelas masuk ke dalam kelompok itu.

Film ini berkisah tentang seorang psikoanalis Tunisia muda, Selma, yang baru saja pulang dari Prancis. Perempuan ini kembali ke kampung halamannya, kota Ezzera, buat membuka praktik di bidang psikoanalisis.

Namun, pada saat itu, Tunisia baru lepas dari kediktatoran. Selain mengalami gegar budaya dengan pikiran Prancisnya yang lebih “terbuka” dan lebih memberontak sama budaya asli, Selma juga mengalami konflik akibat dia kesulitan mendapatkan izin praktik.

Sebagai informasi, kamu bisa nonton film Arab Blues di Klik Film dalam ajang My French Film Festival 2021. Yuk, simak review-nya di bawah ini.

Ringan dan Enggak Bikin Pusing

Sinopsis Arab Blues dan topik yang dia angkat awalnya bakal membuat penonton merasa jiper. Namun, tenang saja, karena meskipun berangkat dari benturan budaya dan dengan tokoh wanita yang berpikiran maju, nuansa Arab Blues lebih playful dan vibe komedinya cukup kuat. Ini tentu berbeda sama Persepolis (2007), sebuah film karya Marjane Satrapi yang berkisah tentang seorang wanita dan pergolakan di kampung halamannya, Iran.

Dialog-dialognya cukup segar dan interaksi antara Selma dengan Naim, seorang polisi yang selalu mengawasi gerak-geriknya adalah salah satu hal yang bikin film ini jadi ceria. Naim sendiri sebetulnya adalah tokoh yang lebih bisa disukai daripada Selma itu sendiri, yang notabene udah banyak ditemukan dalam film-film Prancis dengan tokoh berdarah Arab.

Kisah Selma, Representasi Anak Muda

Berapa banyak dari kalian yang memiliki saudara ngeselin, atau saudara yang penuh semangat sampai pengin mencoba semua hal baru? Tentu hampir semua dari kita memiliki hal itu dan seringkali itulah yang menjadi masalah pada saat lebaran, Natal, dan acara keluarga lainnya. Itulah, fakta yang dihadapi sama Selma sepulangnya dari Prancis.

Dia harus berinteraksi sama bibi dan pamannya yang kaku dan menyebalkan serta kelompok masyarakat lain saat dia menjalankan mimpinya buat membangun komunitas. Selain itu, ia juga harus berhadapan sama birokrasi yang ribet serta menurunkan ego anak mudanya.

Salah satu hal yang bakal bikin anak muda jadi kesel dan berempati adalah ketika Selma pergi ke rumah sakit. Dokter senior di sana, selain sibuk sama banyak pasien, juga terlihat enggak peduli kepada dirinya. Parahnya, cara dia menangani pasien kurang sopan, akibat membludaknya jumlah pasien.

Selain itu, interaksi antara Selma dan polisi juga kocak. Pada saat dia disuruh buat meniup napas sebagai bentuk uji alkohol, polisi itu ingin dia melakukannya secara manual karena "pemotongan anggaran". Tipikal negara dunia ketiga banget, ‘kan?

Selma, layaknya fresh graduate pada umumnya, punya mimpi besar sekaligus sosok yang dikagumi. Lantaran dia adalah psikoanalis, siapa lagi sosok itu kalau bukan Sigmund Freud, ahli psikoanalis Prancis yang terkenal dengan teori gunung esnya. Maka dari itu, film ini bakal bikin anak muda berteriak "gue banget!", terutama mereka yang memang haus ilmu, haus jenjang karier, dan ingin mendobrak aturan yang ada. Mungkin, kalau Selma adalah anak Twitter, dia bakal blended banget sama banyak orang dan utas yang dia bikin bakal viral.

Selain karakter Selma yang kuat, hal-hal lain yang menyenangkan dari film ini adalah sinematografinya. Film Arab Blues memotret negara dunia ketiga di Afrika dengan realistis dan enggak terlalu buruk atau terlalu memukau. Kalian bakal melihat gambaran Tunisia sebagaimana adanya dia lewat berbagai sudut pengambilan gambarnya.

Gambar Cakep, Akting Bagus, tapi Beberapa Elemen Bikin Kacau

Gambar-gambar di dalam Arab Blues memang ceritanya enggak perlu ditanyakan lagi. Entah mengapa film-film dengan latar tempat Afrika selalu memberikan kita kepuasan visual. Soal akting? Farahani sebagai Selma memang sangat believable. Gerak-geriknya dinamis, witty, penuh semangat, menularkan jiwa muda kepada penonton.

Hanya saja, jika kita menonton film ini dengan pengetahuan nol mengenai negara-negara frankofoni (berbahasa Prancis) di Afrika dan bagaimana konflik yang ditimbulkan antara imigran di negara itu dan Prancis sendiri, mungkin Arab Blues bakal jadi film yang asyik-asyik aja dan realistis banget.

Namun, kalau kalian udah tahu banget soal hal tersebut –atau malah kalian adalah orang Tunisia–, beberapa komponen jadi “ganggu”. Walaupun secara umum film ini enggak lebay, tetapi penggambaran kolotnya orang Tunisia kadang agak dibuat-buat. Penggunaan stereotip masih kental dan bakal sedikit mengintimidasi orang Tunisia yang menontonnya.

Hal "ganggu" lainnya adalah dialog Prancis. Memang sih, Tunisia adalah negara frankofoni, tetapi itu bukan bahasa satu-satunya yang dipakai di sana. Dialog antartokoh, termasuk Selma dan sepupunya seolah terasa kayak berada di dalam komunitas Arab di Prancis.

Alih-alih kayak melihat film yang Tunisia banget, Arab Blues berasa kayak film Prancis yang agak "sotoy" soal Tunisia. Mungkin, perasaannya sama kayak waktu kalian nonton Emily in Paris –serial Hollywood di Netflix yang "sotoy" dalam menggambarkan Paris. Berhasil? Sekali lagi, mungkin cuma buat penonton yang enggak mengharapkan apa-apa dan enggak ngeh soal "jeroan" negara-negara itu.

***

Namun, tenang aja. Terlepas dari beberapa stereotip yang mengganggu soal orang Prancis dan Tunisia, film Arab Blues enggak se-cringe serial Emily in Paris, kok.

Ia tetap film yang manis, film yang bikin kalian kangen kampung halaman, dan mempertanyakan apa tujuan kalian dalam meraih pendidikan yang tinggi. Apakah sekadar cuma mau mendapatkan pengakuan orang lain dan diri sendiri, atau mau melakukan sesuatu yang lebih besar? Film ini buat kalian yang penuh dengan mimpi dan mau mewujudkannya.

Film Arab Blues yang hadir di ajang My French Film Festival 2021. Kalian dapat disaksikan melalui kanal platform digital Klik Film, hanya dengan Rp10.000 per minggu, bisa menikmati lebih dari 100 film. Penasaran? Langsung saja nonton filmnya!

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.