*(SPOILER ALERT) Review film dokumenter Trust No One: The Hunt for the Crypto King ini sedikit mengandung bocoran yang semoga saja enggak mengganggu buat kamu yang belum nonton.
Dokumenter Trust No One: The Hunt for the Crypto King dibuka dengan kisah yang misterius, berjalan dengan dugaan yang mengerikan, dan berakhir meninggalkan rasa kecewa –setidaknya untuk para korban. Dokumenter ini menampilkan hal yang buruk, bukan pada kualitasnya, tetapi bagaimana skema Ponzi lagi-lagi berganti baju untuk mengikuti zaman agar bisa membodohi orang-orang dengan cara yang lebih pintar lagi.
Masyarakat zaman sekarang, yang lebih digital native, butuh diyakinkan lebih dari sekadar entitas money game koperasi bersama, produk makanan murah yang dijual mahal, atau produk manusia membantu manusia. Maka, datanglah ide ini: bikin platform jual beli cryptocurrency aja!
Sejak tahun 2013 hingga 2017, cryptocurrency memang cukup banyak dibicarakan. Ini adalah cara baru untuk berinvestasi dengan imbal hasil yang cepat. Apalagi, investasi ini terdengar lebih keren daripada investasi konvensional.
Nyatanya, banyak yang memang jadi kaya mendadak setelah sekian lama bermain cryptocurrency seperti Bitcoin. Hanya saja, mereka enggak membelinya di QuadrigaCX, perusahaan yang dikuliti di dokumenter ini.
Review Film Dokumenter Trust No One: The Hunt for the Crypto King (2022)
“Semua tabungan, simpanan, habis dalam sekejap”
Ada pepatah investasi yang bilang: sebar investasimu di berbagai aset untuk mengurangi risiko. Jadi, saat saham turun, kamu masih punya emas. Saat emas stagnan, kamu masih punya deposito. Saat deposito enggak memberikan imbal hasil memuaskan, kamu masih punya cryptocurrency.
Namun, Gerald Cotten, pendiri dari platform jual beli QuadrigaCX, mungkin sudah menduga bahwa banyak manusia yang enggak bisa melepaskan diri dari sifat maruk dan impulsif. Saat tahu bahwa cryptocurrency sangat nge-tren dan kenaikannya cepat, mereka pun pada akhirnya menaruh semua aset di sana.
High risk, high return. Mungkin itu yang ada di pikiran para korban seperti Tong Zou dan Ali Mousavi. Dalam dokumenter Netflix Original ini, mereka bercerita bagaimana pertaruhan besar ini mengubah hidup mereka. Semua rencana buyar, harta benda habis, 250 juta dolar Kanada melayang, dan hidup mereka sempat dihabiskan hanya untuk terobsesi pada Gerald Cotten.
Tong Zou, bahkan kehilangan 5,7 miliar atau 500 ribu dolar Kanada. Itu adalah jumlah yang besar bagi pria berusia 33 tahun tersebut. Awalnya, ia meminjam uang sebanyak 80 ribu dolar Amerika Serikat untuk membeli Bitcoin. Kemudian, ia menjual apartemennya untuk melunasi utang dan mendapatkan 500 ribu dolar Kanada.
Ia lalu berpikir untuk mentransfer uang tanpa terkena biaya yang cukup besar dari bank, dan kemudian berpikir lagi mengenai Bitcoin. Uang itu ia masukkan ke dalam rekening Bitcoin QuadrigaCX. Dan, itulah jumlah yang kabarnya dibekukan.
Trust No One: The Hunt for the Crypto King menampilkan kisah mengenai kejatuhan QuadrigaCX dan kematian Gerald Cotten yang mendadak pada tahun 2018. Banyak korban yang diwawancarai, banyak pula pegiat Bitcoin Kanada yang berbicara tentang hal ini.
Saat Bitcoin menurun dan para pengguna berbondong-bondong menarik Bitcoin dalam bentuk dolar di QuadrigaCX, saat itulah masalah muncul. Uang mereka dibekukan.
Kisah ini semakin kompleks saat Gerald Cotten meninggal dunia di Jaipur saat sedang berbulan madu bersama Jennifer. Kematiannya mendadak, dekat dengan masalah ini, dan juga tidak jauh dari momen saat Cotten membuat surat wasiat. Maka, enggak mengherankan apabila para korban di grup Quadriga di Telegram menyangka bahwa Cotten cuma pura-pura meninggal.
Masalah semakin kompleks, teori konspirasi semakin rumit
Setelah permasalahan QuadrigaCX bergulir di grup Telegram dan Reddit, isu semakin memanas dan simpang siur.Terlebih lagi, ada pihak yang mengaku sebagai ex-orang dalam QuadrigaCX dan berkata bahwa Cotten belum mati.
Para korban, seperti Ali dan Tong, menganggap bahwa hal itu bisa jadi benar. Apalagi, di Jaipur, banyak bisnis surat kematian palsu. Selain itu, surat kematian Cotten pun mengalami kesalahan penulisan pada nama.
Isu semakin panas saat mereka menemukan bahwa mantan co-founder QuadrigaCX alias partner dari Cotten, Michael Patryn, adalah orang yang pernah dipenjara dengan nama Omar Dhanani karena pencucian uang.
Pertanyaan selanjutnya semakin berkembang: apakah Cotten terlibat dalam bisnis mafia mengerikan? Apakah uang mereka dibawa kabur untuk proyek mafia? Apakah Cotten dibunuh? Atau, apakah Jennifer juga berpartisipasi dalam kematiannya?
Kemarahan pun kemudian menyasar kepada Michael dan Jennifer, hingga menurut kakak Jennifer, adiknya harus berada di dalam safe house untuk menghindarkan diri dari ancaman pembunuhan pihak yang dirugikan.
Kemarahan membuat orang menjadi buta
“Kamu mau membongkar kuburan Cotten? Mereka akan berkata bahwa jasad itu palsu. Melakukan tes DNA? Mereka akan bilang bahwa penguji sudah disuap. Apa pun yang dilakukan enggak akan mengubah apa-apa karena mereka hanya memercayai apa yang ingin mereka percayai.”
Itulah yang kira-kira dikatakan oleh Andrew Wagner, pegiat Bitcoin yang tergabung dalam komunitas cryptocyrrency di Kanada. Andrew bukannya enggak berpihak kepada korban. Namun, kemarahan korban karena kerugian besar justru membuat mereka enggak berpikir logis.
Kasus ini menarik minat para jurnalis dan tentu saja penegak hukum. Langkah yang mereka lakukan justru membuahkan has ketimbang sekadar asumsi ngalor-ngidul di grup Telegram atau Reddit.
Jurnalis Nathan Vanderklippe bahkan sampai ditugaskan ke Jaipur untuk mengecek kematian Cotten. Hasilnya, semua dokter mengaku bahwa Cotten memang meninggal dunia. Jadi, sangkaan para korban bahwa kisah mereka seperti film The Prestige, enggaklah tepat. Yang aneh adalah bahwa autopsi enggak dilakukan sama sekali.
Jurnalis-jurnalis lain pun menyelidiki dompet QuadrigaCX dan menemukan fakta mengejutkan. Selama ini, uang para pengguna enggak pernah ditukarkan ke cryptocurrency. Uang kripto yang ditawarkan QuadrigaCX itu palsu. Sementara itu, total 250 juta dolar Kanada pengguna dialihkan ke permainan saham.
Daniel Tourangeau dari Ontario Securities Commission mengatakan bahwa ini adalah scam. Uang mereka dibawa untuk investasi bodong, merugi, dan Cotten setengah mati mencoba mencari cara untuk mengembalikan uang-uang itu, hingga akhirnya enggak ada jalan keluar lagi. Pasalnya, enggak ada uang pengguna baru yang bisa dipakai sebagai back up pengembalian uang sementara. Betul-betul sebuah skema Ponzi bergaya baru.
Rupanya, di masa lalu, Gerald Cotten pernah melakukan penipuan saat remaja kemudian banyak tergabung dalam komunitas dark web, jejaring yang banyak digunakan untuk melakukan tindak kriminalitas. Ia bahkan mencari desainer untuk situs jual beli kripto di dark web. Jadi, barangkali, polanya sama.
Alur yang disajikan oleh dokumenter ini sangat menarik. Kita seperti dibawa menonton serial CSI karena misteri yang berlapis. Ilustrasi chat di Telegram pun menarik, menggambarkan bahwa banyaknya opini via CMC (computer mediated communication) dapat berimbas pada masalah yang semakin runyam dan kesalahpahaman. Satu-satunya jalan keluar adalah penyelidikan dengan kepala dingin dan melepaskan segala asumsi yang ada.
Maka, ini hanya penipuan berskema Ponzi biasa. Uang dibawa kabur untuk investasi, merugi, dan enggak bisa dikembalikan karena enggak ada pengguna baru untuk mengganti uang pengguna lama. Namun, karena “alat” yang digunakan lebih canggih, masyarakat dengan background pekerjaan yang cukup intelek pun dapat tertipu.
Akhir kata, secanggih apa pun teknologi yang ada, pada akhirnya hampir enggak ada yang bisa kita percayai. Tertarik untuk menonton?