Dalam perhelatan Academy Awards 2022, ada banyak kejutan. Selain insiden pemukulan Chris Rock oleh Will Smith, ada satu kejutan lain yang lebih positif, yakni menangnya film CODA (2021) dalam penghargaan sebagai Best Pictures atau film terbaik.
Film-film yang terdaftar dalam nominasi bukannya kalah baik. Beberapa, seperti Drive My Car, King Richard, dan Licorice Pizza sempat digadang-gadang menjadi pememang. Namun, beberapa aspek membuat CODA lebih unggul.
Nah, apa saja sih alasan yang membuat CODA menjadi pemenang di dalam perhelatan bergengsi Academy Award? Simak di sini, ya!
Alasan CODA layak memenangi Best Pictures Oscar 2022:
1. Berhasil menyajikan Coming of Age yang berbeda
CODA melangkah lebih maju daripada sekadar mengasihani penyandang tunarungu atau anak mereka. Film ini berhasil memanusiakan mereka semua.
Menyamakan persepsi dengan orang tua memang menjadi tantangan berat bagi remaja di masa coming of age. Apalagi, jika orang tua hidup di dalam dunia yang berbeda.
Kisah CODA berpusat pada kehidupan Ruby, seorang remaja dengan orang tua dan saudara tunarungu. Ialah satu-satunya anggota keluarga yang memiliki pendengaran normal. Ayahnya, Frank, ibunya, Jackie, dan saudaranya, Leo, adalah penyandang tunarungu. Setiap hari, sepulang sekolah, ia membantu keluarganya dalam bisnis kecil penangkapan ikan.
Uniknya, Ruby memiliki satu passion yang kontras dengan kondisi orang tuanya. Ya, Ruby suka musik dan jago dalam bernyanyi. Ia bahkan digadang-gadang mendapatkan beasiswa musik di Boston. Hal tersebut terdengar sangat ironis mengingat keluarganya pasti enggak akan bisa mendengarkan nyanyiannya.
Kisah Ruby sebetulnya adalah cermin dari kisah banyak CODA (Child of Deaf Adults) yang terjadi di dunia nyata. Kendati dunia ini penuh suara, adalah sebuah hal menantang dan miris saat kita enggak dapat mengajak orang tua kita untuk mendengarkan suara-suara di dunia tersebut.
2. CODA adalah suara hati anak-anak dengan orang tua berkebutuhan khusus
CODA berhasil memukai para childs of deaf adults di dunia nyata.
Darren Townsend-Handscomb, merupakan seorang interpreter BSL asal Inggris, seorang anak dari perempuan tunarungu pertama yang mendapatkan equity card di negara itu.
Bukan hal yang mudah untuk menjadi CODA dan saat menonton film ini, ia menyadari hal tersebut. Ruby, seperti layaknya dirinya, seolah hidup di dalam dua dunia. Mereka sama kayak manusia pada umumnya, tetapi mereka juga berbeda karena harus berkomunikasi secara unik dengan orang tua.
Salah satu hal yang kadang memicu konflik di rumah adalah kakek-nenek Darren yang enggak bisa berbahasa isyarat. Dilansir BFI, Darren menceritakan kisah yang membuat dirinya sempat enggak kuat menonton CODA.
“Kakek dan nenek enggak bisa berbahasa isyarat, dan ibu saya – putri mereka – hanya dapat berkomunikasi melalui bahasa isyarat–. Setiap hari, percakapan masa kecil saya di rumah saya secara aktif mengecualikan ibu saya, kecuali saat saya menjadi penafsir mereka. Inilah yang barangkali menjadi dasar sikap sensitif saya saat melihat orang-orang dikucilkan,” katanya.
3. CODA juga merangkul para orang tua tuli
Komunikasi memang menjadi maslah terbesar dari CODA. Sebagai anak yang dapat mendengar, ia harus menerima kenyataan bahwa orang tuanya enggak dapat mengajarkannya berbicara seperti layaknya orang tua pada umumnya. Hal ini kadang ditakutkan sebagai salah satu penyebab masalah seperti speech delay atau masalah lain yang timbul dari speech delay alias anak terlambat bicara.
Orang tua tunarungu pun juga bukannya enggak merasakan masalah itu. Mereka kerap risau karena merasa enggak bisa maksimal mengajarkan anak untuk berbicara.
Situs khusus pemerhati tunarungu dan penyedia alat bantu dengar Deaf Websites memiliki tanggapan mengenai ketakutan tersebut. Menurut penelitian, sebenarnya lebih dari 90% dari semua anak-anak penyandang tunarungu enggak terpengaruh oleh ketulian atau masalah pendengaran lainnya.
Secara keseluruhan, anak-anak ini mampu seperti anak-anak biasa yang unggul dalam sebagian besar aspek kehidupan. Meskipun demikian, kebutuhan mereka untuk mengatasi ketulian orang tua mereka dapat membuat mereka menghadapi masalah-masalah tertentu.
Salah satu masalah utama yang dihadapi oleh penyandang tunarungu dengan anak-anak adalah interpretasi. CODA tetap harus berkomunikasi dengan orang tua mereka setiap hari, mereka harus menjalani beberapa bentuk pendidikan tunarungu.
Kebanyakan dari mereka mahir dalam bahasa isyarat, dan mereka memiliki pemahaman yang baik tentang budaya tunarungu. Seringkali, mereka menjadi penerjemah antara orang tua mereka dan orang yang mendengar, tetapi tugas ini terkadang enggak tepat, karena topik diskusinya mungkin enggak child-friendly, bahkan tabu buat anak-anak.
Sementara itu, di dalam penelitian bertajuk Dinamika Pengasuhan Orang Tua Tunarungu yang Memiliki Anak Berpendengaran Normal oleh Ratih Handariyati dari Universitas Airlangga Surabaya, disebutkan bahwa memang ada beberapa kendala yang dialami narasumber (para orang tua tunarungu Indonesia) dalam proses pengasuhan anak yang enggak tunarungu.
Masalah itu antara lain seperti sulitnya untuk mengawasi anak secara utuh karena keterbatasan fisik dan kesulitan untuk membuat anak “hormat” karena enggak bisa melakukan pembicaraan seorang verbal. Oleh karenanya, orang tua harus melakukan beberapa hal. Misalnya, seperti harus memasukkan ke sekolah sedini mungkin, kemudian meminta bantuan keluarga (ibu, ipar, dan sebagainya), bahkan kadang melakukan hukuman fisik untuk membuat anak menjadi hormat.
Hal itu kerap dirasakan oleh Janet dan Daniel Moreno, orang tua tuna rungu dari Maryland. Membesarkan anak-anak datang memang memberikan tantangan menarik, tetapi Janet dan Daniel Moreno memiliki satu tantangan unik: keduanya tuli.
Terlepas dari penilaian dan kekhawatiran dari beberapa orang di sekitar mereka, pasangan itu bersemangat untuk memulai sebuah keluarga dan dua tahun lalu Janet melahirkan putra mereka, Luke. Kisah mereka diabadikan melalui Parents.
Mereka senang, tetapi kehidupan parenting itu tidak selalu mudah. Salah satu masalahnya adalah saat mereka melamar pekerjaan.
“Mereka melihat ketulian saya sebagai penghalang,” kata Janet. “Sebagian besar pewawancara akan terus-menerus mengajukan pertanyaan tentang berapa biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk menyewa juru bahasa isyarat, dan bagaimana saya bisa menelepon?”
Terus-menerus menghadapi rintangan seperti ini, mereka bahkan takut apakah Luke bakal menerimanya. “Jujur, saya takut kalau Luke enggak diterima masyarakat atau malu memiliki orang tua tunarungu,” kata Janet.
Namun, perasaan itu dengan cepat memudar saat mereka melihat Luke tumbuh. Kebahagiaan Luke menjadi penyemangat.
Nah, kisah di film ini juga bermaksud untuk merangkul orang tua tuli dan mengajak mereka semua untuk tetap bersemangat.
4. CODA Memberikan Pilihan yang Manusiawi Sekaligus Menyenangkan
Film CODA mampu menyentuh hati karena ia enggak hanya memberikan ruang untuk penyandang tunarungu, tetapi anggota keluarga terdekat. Masalah dan kebingungan yang kerap menjadi “ujian” bagi anak CODA dirasakan oleh Debbie Lawrence, seorang interpreter di BSL.
Sebagai anak tunarungu dewasa (CODA) dengan dua orang tua yang menggunakan Bahasa Isyarat Inggris Tunarungu (BSL), ia tak sabar untuk menontonnya. Tak hanya itu, ada juga perasaan khawatir tentang bagaimana para penyandang bakal digambarkan.
Film ini memiliki beberapa bagian yang benar-benar terhubung dengannya, salah satunya tentang momen antarkeluarga yang menyentuh dan masalah-masalahnya. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga tunarungu sama seperti yang lainnya.
“CODA mengejutkan saya, karena sejujurnya selama ini saya sering merasa bertanggung jawab atas penyertaan orang tua saya dalam interaksi apa pun (dengan orang lain); walaupun orang tua saya enggak mau saya menanggung beban itu.”. Saat menonton film ini, ia seolah betul-betul memahami apa yang dirasakan oleh Ruby.
Sejalan dengan apa yang dikatakan Ruby, film CODA enggak cuma mendukung para penyandang. Ia memanusiakan para anggota keluarga penyandang dan memberi mereka ruang menjadi individu yang punya pilihan. Ruby, misalnya. Alih-alih stuck di bisnis ikan orang tua, Ruby justru mengejar cita-cita sebagai penyanyi.
Bagaimana dengan orang tua Ruby? Mereka ternyata bisa berdikari dengan pegawa-pegawai non-tunarungu yang bisa berbahasa isyarat. Kuncinya bukan belas kasihan, tetapi empowerment.
5. Rangkaian aktor tunarungu
Alih-alih berpura-pura tunarungu, CODA merangkul para aktor tunarungu sehingga film ini terasa realistis. Marlee Matlin (Jackie), Troy Kotsur (Frank), dan Daniel Durant (Leo) adalah penyandang tunarungu. Bahkan, film ini memberikan kesempatan kepada penyandang untuk memenangkan Oscar. Ya, Troy Kotsur keluar sebagai Aktor Pendukung Terbaik. Ini merupakan kali pertama seorang penyandang tunarungu memenangkan Oscar!
Nama Troy Kotsur sendiri sudah malang melintang di dunia teater dan berbagai serial. Kendati ia tunarungu, tetapi bakat aktingnya enggak tenggelam oleh hal itu.
***
Film CODA, dengan aktor penyandang tunarungu asli sebagai pemerannya, mampu membawakan isu-isu yang dihadapi orang tua tuli dan anak-anak dengan pendengaran normal yang memiliki orang tua tunarungu.
Hal ini layak menjadikan film remake dari La Famille Bélier (2014) itu sebagai pemenang dari film terbaik Oscar. CODA enggak cuma menggambarkan konflik tentang memiliki orang tua tunarungu, tetapi juga memberikan pelajaran bagaimana komunikasi yang tepat dapat menjadi jembatan untuk menyatukan semua orang.