“Bisa jadi season 11 (MPL) makin sedikit pemain Indonesia. Kok mengapa? Ya maaf ya, ini sudah terjadi. Sebelum ini kan (roster) dari Indonesia semua. Bukan enggak mungkin kita bisa ada di titik itu. Harusnya pemain Indonesia sadar,” kata Bang Fayad dalam sesi makan siang bersama KINCIR.
Tak hanya berfokus ke atlet saja, peran pelatih juga begitu penting untuk mengasah skill serta menjaga sportivitas pemain. Selain dirinya sendiri, toksik tidaknya seorang atlet bisa dijaga oleh coach-nya. Tak hanya untuk jangka pendek, regenerasi pelatih juga benar-benar harus diperhatikan. Soalnya, tidak semua pemain jago bisa melatih.
“Balik lagi semua dari bagaimana kita membimbing merekanya. Pro player itu tidak ada pelajarannya, tidak ada text book-nya. Itu semua ya, tugas coach yang bimbing. Jadi pro player tuh bukan cuma jago saja. Attitude dan disiplin juga penting sebab ini sangat berpengaruh ke in game,” kata lead EVOS.
Pada akhirnya, kita bertanya-tanya apa yang bikin pro player Indonesia bisa bersaing dengan pemain dari Filipina? Jika mengacu pada ucapan EVOS Reno, yang dibutuhkan adalah bimbingan secara kontinual dan konsisten dari para pelatih. Hal ini akan jadi solusi soal mendidik para pro player untuk memiliki mental juara, bukan mental artis.
Dengan jumlah calon pro player yang begitu membludak, pasti ada satu atau dua “berlian” yang bisa diasah. Alih-alih regenerasi, sebaiknya pihak pengurus besar esports di Indonesia harus punya cara membentuk bibit-bibit pro player jadi sosok yang mampu membawa prestasi.
Melihat perkembangan esports di Tanah Air, tak bisa dimungkiri bahwa potensi untuk regenerasi bisa terus dilakukan. Namun, siapkah mereka untuk terjun di skena kompetitif? Siap dalam arti memiliki mental bersaing yang kuat. Soalnya, jiwa muda mereka masih butuh arahan. Takutnya, di tengah hingar-bingar ketenaran, mereka mengabaikan visi misi serta tugas menjadi seorang pro player.
Para bibit-bibit itu juga harus punya role model yang mencerminkan sikap mental juara yang tinggi. Bukan hanya punya skill tinggi dan koar-koar ketika bertanding. Hal ini yang bisa menghambat regenerasi pro player yang apik. Soalnya, dari awal yang dilihat hanya bagaimana sikap para pro player ketika bertanding. Berbeda dengan Filipina. Seperti yang dijelaskan oleh Bang Fayad.
Berbenah diri sejak sebelum jadi pro player
“Menurut saya faktor terbesar yang bikin mereka kuat adalah jenjang menuju sebelum jadi pro player. Ini yang menopang. Makanya akademi jadi penting sekali di Indonesia. Mereka (Filipina) sudah punya regenerasi yang menjanjikan. Begitupun dengan role model mereka yang menunjukkan kualitas. Jadi, calon-calon pro player sana sudah punya mind set kalau mau jadi pro player seenggaknya harus nunjukkin kualitas setara.” jelas Bang Fayad.
Beralih ke Tanah Air, aksi adu taunting yang sebenarnya enggak perlu, jadi tontonan yang dianggap menarik. Jika pakai kacamata seorang pebisnis ranah hiburan, hal ini jadi nilai plus. Soalnya konflik yang dihadirkan bisa mendatangkan cuan. Namun, ketika berbicara soal bersaing di kancah kompetitif, teriak-teriak yang kerap ditampilkan katanya untuk jatuhin mental lawan, tapi pada akhirnya hal itu hanya jadi ketoksikan belaka.
“Sedangkan di Indonesia beda. Bacotnya yang dikencengin, bukan kualitas. Kita lihat di turnamen-turnamen besar, momen teriak-teriak dikencengin. Jadi yang dicontoh sikapnya bukan kualitas. Itu sih yang membedakan dan jadi alasan kuat kenapa Filipina sekarang mendominasi.” tambah Bang Fayad.
Membentuk positive vibes dalam skena kompetitif esports adalah pekerjaan rumah banyak pihak. Sebagai Head of Esports EVOS Esports, Reno memaparkan bahwa dirinya besama EVOS benar-benar fokus mengembangkan komunitas mereka. Tak hanya dari sisi fans, tapi EVOS juga kerap merekrut pemain dari komunitas mereka.
“EVOS sudah menemukan polanya (lewat komunitas), namun pemain yang kita tes untuk direkrut pun benar-benar di-develop dari nol. Fokus terbesar kami juga dari pelatihnya. Ia harus benar-benar membentuk pemain itu agar siap di skena kompetitif,” katanya.
Perbanyak prestasi bukan entertain
Ada satu hal menarik yang mungkin jadi incaran banyak pro player. Sorotan media hingga hidup glamor bak artis papan atas adalah makanan sehari-hari seorang pro player. Karier mereka bisa dikatakan gemilang. Selesai dari jadi pro player, bisa punya kekuatan besar untuk jadi streamer kondang.
Tak heran, ada banyak yang silau akan hal ini. Tujuan utamanya bukan lagi soal prestasi tapi membangun diri jadi seorang tenar.
“Kalau di sini, mind set anak-anak muda lebih ke entertain. Jadi, mereka tahunya esports itu soal jadi terkenal. Sudah. Terus, belum ada yang ngasih tahu kalau esports itu bukan cuma jadi terkenal. Mereka banyak mengabaikan hal penting, kayak ketika nge-rush harus banyak diam karena bisa berpengaruh sama otak dan gerak motorik halusnya,” ungkap Bang Fayad.
Tim esports harus belajar, bukan malah terus merekrut pemain Filipina
Selain soal sikap, kita terlalu mengagung-agungkan pemain Filipina sehingga fenomena ini terkesan sangat seksi. Takutnya, di masa yang akan datang, manajemen tim esports Indonesia lebih melirik pemain luar untuk dijadikan penggawanya karena kehabisan calon kandidat lokal.
Kita masih harus belajar bagaimana mengatur perputaran pemain di Tanah Air. Mungkin bisa mencontoh tim Aura Fire yang tetap tampil mencolok meskipun tak menghadirkan pemain dari Filipina. Mereka tak aji mumpung demi mendulang popularitas namun fokus ke prestasi.
Dalam sesi post match interview MPL Season 10, Aura Tezet sebagai Dari penjelasan AURA Tezet sebagai Head Coach Aura Fire, kita bisa belajar bagaimana memanfaatkan amunisi yang ada secara maksimal tanpa perlu ada intervensi dari atlet luar negeri. Menurutnya, performa tim mereka tetap bisa diapresisasi.
“Kalau ditanya kenapa enggak rekrut pemain Filipina, lima pemain kita masih kuat banget. Kita lihat ke belakang, musim lalu mereka masuk playoffs dan jadi top 3. Ya, terus kenapa kita harus ikut rekrut pemain Filipina?” tegas Tezet.
Harusnya tim-tim profesional Indonesia punya sudut pandang ini. Kalaupun memang bermusim-musim tak berkembang, tak seharusnya bergantung ke pemain Filipina. Harusnya memang bisa memaksimalkan potensi yang ada untuk meraih gelar juara.
Jalur akademi untuk cetak pemain berkualitas secar skill dan akhlak
Jalur akademi dirasa masih yang paling masuk logika untuk menciptakan calon pro player yang mumpuni. Masalahnya hingga saat ini baru ada satu akademi yang didedikasi untuk pembentukan atlet esports, yaitu Garudaku dari PBESI. Belum banyak yang wadah yang bisa menaungi para calon atlet esports tersebut untuk dididik secara kualitas.
“Sebenarnya Garudaku dari PBESI itu juga sudah jadi salah satu solusi sebenarnya kan. Mencari bibit barulah, pelatih dan juga player-player dan talenta lain kan. Nah itu juga sebenarnya bagus, karena regenerasi itu penting lah. Karena setiap player itu pasti ada masanya kan, bisa dibilang kaya gitu,” jelas Fayad
Bang Fayad juga menambahkan kalau format akademi Garudaku dibuat untuk menyediakan bibit-bibit berbakat yang siap tanding. Mereka juga tengah mempersiapkan sebuah silabus soal materi pelatihan di akademi nantinya. Meski tak mudah, tapi Fayad yakin bahwa silabus ini nantinya jadi sebuah solusi.
“Kenapa di silabus itu pembuatannya memang cukup lama kita buat, karena memang tujuannya adalah ketika mereka (murid akademi) ada di scene pro, tim-tim esports tuh bener-bener sudah memiliki pemain-pemain yang benar-benar siap dengan semua kondisi,” tutup Fayad.
Baca selengkapnya: Supermasi Pro Player Filipina