– Membahas secara mendalam fenomena pindahnya pro player MOBA lain ke Mobile Legends
– Apa sebenarnya alasan mereka untuk pindah game?
Di luar kemeriahan MPL Season 5, gelaran esports terakbar Mobile Legends di Indonesia ini menyimpan fenomena yang cukup menarik untuk diselisik. Mungkin kalian telah melihat permainan gemilang offlaner RRQ, R7, atau carry debutan ONIC Esports, CW. Yap, kedua pemain ini memiliki kesamaan. Mereka adalah pemain “pindahan” dari cabang game esports lain, tepatnya Dota 2 dan Arena of Valor (AOV).
Menariknya, ternyata masih ada beberapa pemain lain yang juga mengambil keputusan untuk “hijrah” ke Mobile Legends hingga berlaga di MPL Season 5. Sebut saja Susugajah (AURA) dan Rasy (ONIC) dari AOV, Dreams dan Bravo (Bigetron) dari League of Legends, hingga Rusman (skuad MDL RRQ) dan Acil (pelatih Genflix Aerowolf) yang dulu dikenal sebagai bintang Dota 2 di Indonesia.
Satu demi satu para pemain profesional pindah ke kancah Mobile Legends. Padahal di cabang sebelumnya mereka mampu menunjukkan permainan yang kompetitif. Bahkan sudah berhasil meraih prestasi. Hal ini pun menimbulkan sebuah pertanyaan: mengapa mereka pindah? Apakah Mobile Legends lebih menjanjikan ketimbang cabang game esports lainnya?
Nah, KINCIR pun akan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas untuk mengupas lebih dalam mengenai fenomena tersebut. Yuk simak di bawah ini!
Mobile Legends, Skena Esports Paling Menjanjikan di Indonesia?
Sejak kehadirannya pada 2016 lalu, Mobile Legends telah berhasil menarik perhatian masyarakat Indonesia. Buktinya, hingga kini MOBA garapan Moonton ini telah diunduh lebih dari 100 juta kali Google Play Store.
Sebagai publisher, Moonton kerap memanjakan para penggemar dengan menghadirkan berbagai pembaruan konten in-game. Enggak hanya itu, mereka juga kerap menghadirkan turnamen-turnamen untuk menghidupkan komunitas Mobile Legends di Indonesia.
MPL atau Mobile Legends Professional League menjadi kasta tertinggi dari skena kompetitif game ini. Memulai Season 1 pada 2017, ajang ini pun digelar rutin setiap 6 bulan sekali dan baru saja menyelesaikan Season 5 pada April 2020.
Walaupun semakin sulit untuk berlaga di ajang ini karena adanya sistem franchise league yang telah dimulai sejak MPL Season 4 lalu, Moonton pun menggelar ajang kasta kedua yang bernama Mobile Legends Developmental League (MDL).
Enggak hanya itu, Moonton juga mengadakan Mobile Southeast Asia Cup (MSC) sebagai turnamen kancah Asia Tenggara setiap satu tahun sekali setiap season ganjil di ajang MPL. Di 2019 lalu, game ini juga telah melebarkan sayapnya dengan mengadakan turnamen kelas internasional bertajuk M1 Championship yang diadakan di Malaysia.
Melihat data dari Esports Chart, gelaran Grand Final MPL Season 5 lalu berhasil menyedot perhatian penggemar Mobile Legends sebanyak 1,163 juta penonton. Gelaran ini pun juga hampir menyamakan The International 9 yang menyentuh 1,969 juta.
Keempat turnamen resmi milik Moonton, memiliki hadiah yang beragam. MPL berhadiah 300 ribu dolar Amerika, MSC 2019 lalu 120 ribu dolar Amerika sementara M1 Championship berhadiah 80 ribu dolar Amerika atau setara dengan Rp1,190 miliar.
Kehidupan komunitas Mobile Legends enggak hanya didukung oleh Moonton. Ada juga turnamen third party yang mempertandingkan game ini, contohnya seperti turnamen Piala Presiden Esports 2019 yang berhadiah Rp1,5 miliar.
Di ajang besutan pemerintah tersebut enggak hanya diikuti oleh tim-tim esports professional. Turnamen tersebut juga mengajak pemain di berbagai daerah di Indonesia untuk menunjukkan kemampuannya. Enggak hanya uang, turnamen ini juga menghadiahkan mobil seperti di turnamen PayPlay.
Dibandingkan dengan game-game lain yang bergenre sama, Mobile Legends memang unggul dari sisi komunitas dan denyut skena kompetitifnya di Indonesia. Bahkan jika kita harus bandingkan dengan Dota 2 yang mulai dianggap sebagai dead game karena penyelenggaraan turnamen yang sepi.
Sebenarnya, AOV sebagai kompetitor terdekat juga punya komunitas esports yang terbilang hidup. Garena sebagai publisher juga mengadakan turnamen-turnamen untuk membuat ekosistem di Indonesia berkembang. Untuk ajang regionalnya, Garena pun mengadakan Arena of Valor Star League (ASL). Mereka juga punya turnamen kancah dunia bertajuk AOV International Championship (AIC).
Tampaknya, gelaran kompetitif yang diadakan game ini enggak bisa menyaingi komunitas yang dibentuk Mobile Legends. Hal ini juga bisa dilihat dari jumlah unduhan game tersebut yang sampai sekarang hanya mencapai 10 juta di Google PlayStore. Jumlah penonton di ajang ASL Season 3 juga belum menyentuh angka 10 ribu.
“Hijrah” Demi Mempertahankan Karier
Tak bisa dimungkiri, peran Moonton dalam menghidupkan skena kompetitif Mobile Legends membuat MOBA ini menjadi semakin diminati. Hasilnya, enggak sedikit para pro player yang menekuni game-game MOBA mobile dan bahkan MOBA PC sekalipun memilih hijrah untuk bisa mencoba peruntungan di skena ini.
Jika kalian menyaksikan MPL Season 5 lalu, delapan tim yang bertanding di ajang ini pun berlomba memperkuat skuadnya dengan pemain-pemain Mobile Legends terbaik. Enggak hanya menampilkan pemain-pemain veteran, di ajang ini juga terlihat para pemain “pindahan” dari Dota 2, AOV, hingga League of Legends.
Di antara pemain “pindahan” yang ada di MPL Season 5, R7 berhasil jadi yang paling bersinar. Pasalnya, kehadirannya pada MPL Season 4 di skuad RRQ Hoshi bisa mengembalikan performa tim tersebut, mengingat juara season sebelumnya mesti pulang lebih awal di babak playoff MPL season 3.
Cowok asal Bandung ini pun berhasil membawa RRQ Hoshi sebagai runner up di MPL Season 4 dan M1 World Championship. Bahkan, berkat kemampuannya mengendalikan Hero-hero di Mobile Legends, R7 mampu mengembalikan takhta sang raja dengan memenangkan MPL Season 5.
Enggak hanya R7, Adi “Acil” Sofyan juga memutuskan untuk hijrah dari Dota 2. Bedanya, Acil enggak jadi pemain, melainkan pelatih di RRQ dan Genflix Aerowolf untuk MPL Season 5. Berkat kehadiran keduanya, tim yang dijuluki raja ini pun berhasil mengembalikan performanya dengan menjadi runner up di ajang MPL Season 4 dan M1 World Championship.
Melihat fenomena ini, KINCIR mencoba untuk menanyakan kepada R7 tentang keputusannya pindah game. Sebagai pemain Dota 2 yang sempat bersinar di eranya, pemain offlaner ini mengatakan jika kompetitif Mobile Legends lebih hidup dibandingkan dengan game besutan Valve di Indonesia.
“Skena kompetitif Dota 2 di Indonesia sudah semakin memudar. Maka dari itu, saya pun memutuskan pindah untuk mempertahankan karier saya di esports. Jika tetap di Dota 2 dan ingin berkembang, wajib hukumnya untuk para pemain bisa bergabung ke tim luar negeri,” jelas pemain yang pernah tergabung di tim The Prime (dulu TP.NND) ini kepada KINCIR.
Ingar-bingar skena kompetitif Mobile Legends ternyata tak hanya menggiurkan pemain Dota 2. Pemain dari sesama MOBA mobile, yakni Arena of Valor (AOV), juga ikutan tren “hijrah”. Contohnya Calvin “CW” Winata dan Rasy yang dulunya merupakan mantan pemain dari Saudara Esports (SES) divisi AOV.
Enggak ketinggalan, Susugajah sempat menggegerkan panggung babak Regular Season minggu pertama. Berada di tim AURA, sayangnya sang pemain hanya bisa tampil dua minggu sebelum dipindahkan ke ajang tier dua, MDL.
Senada dengan R7, Hanss yang dikenal sebagai pemain AOV di tim EVOS Esports juga punya dorongan yang sama untuk pindah. Menurutnya, jika ingin bertahan di esports, pemain harus cerdas memilih game yang sedang ramai di Indonesia. Hanss sebenarnya pemain yang telah membanggakan Indonesia di ajang kompetitif tingkat Asia. Dirinya juga atlet SEA Games 2019 yang berhasil membawa pulang medali perak.
“Sebenarnya, bosan juga lama-lama bermain di satu game. Kalau melihat kompetisi yang begitu hidup di Mobile Legends, saya berpikir untuk pindah karena takut di AOV enggak ada turnamen lagi. Sekarang juga ada beberapa pemain AOV yang pindah karena ingin bertahan di esports,” ungkap Hanss kepada KINCIR.
Bisa disimpulkan, Mobile Legends jadi lahan “basah” untuk para pro player di game lain untuk bisa mempertahankan karier esports mereka. Soalnya, hal tersebut enggak hanya didukung dengan turnamen yang diadakan secara rutin. Skena kompetitif yang hampir tak menunjukkan denyutnya di game asal para migran ini mau tak mau membuat mereka mengambil keputusan untuk pindah haluan.
Sejauh Mana Jenjang Karier Pro Player Mobile Legends?
Harus diakui, Moonton berhasil untuk menghidupkan skena kompetitif Mobile Legends dengan rutin menghadirkan turnamen-turnamen yang kelasnya bisa dikatakan jadi yang teratas di Indonesia.
Enggak hanya mengadakan turnamen, Moonton juga mengadakan sebuah ajang amatir bertajuk Mobile Legends Campus Championship. Di ajang tersebut, Moonton enggak hanya mengadakan turnamen, tapi juga pengenalan industri esports pada mahasiswa. Hal ini pun jadi magnet bagi pemain ataupun atlet esports dari cabang “seberang” untuk menguji peruntungan.
Lantas, apakah kondisi ini sudah jadi yang paling ideal bagi para pemain? Memang, untuk saat ini Mobile Legends menjadi salah satu standar esports tertinggi di Indonesia. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan game lain, MOBA yang satu ini belum semendunia para “saudaranya” di cabang PC.
Mobile Legends sebenarnya sudah mengadakan kejuaraan dunia, yakni M1 Championship 2019. Namun, lingkupnya sangat jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan Arena of Valor International Championship (AIC).
Hasilnya, potensi karier atlet esports Mobile Legends tampak terbatas mengingat Indonesia jadi standar tertinggi esports game ini. Makanya, mereka yang berlaga di Mobile Legends jelas dikenal luas di Indonesia, tapi enggak akan setenar bintang esports dari cabang lain yang sudah punya nama di skena global.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan Dota 2. Menjadi yang terbaik di game ini serasa pungguk merindukan bulan tanpa kemampuan serta reputasi agar bisa diterima bermain di tim luar negeri. Buktinya, hingga saat ini, pemain Dota 2 yang bergabung di tim luar negeri bisa dihitung pakai jari. Ini artinya kesempatan berkarier di game ini sangatlah luas, namun butuh perjuangan yang lebih berat.
Tak hanya secara jenjang karier, esports Dota 2 tampak sangat menjanjikan dari segi finansial. Secara prize pool saja, M1 hanya menyediakan total hadiah sebesar 250 ribu dolar atau sekitar Rp3,7 miliar. Di sisi lain, prize pool The International 2019 mencapai 34,3 juta dolar, tepatnya Rp505,86 miliar jika dikonversikan ke rupiah.
Melihat kondisi di atas, pertanyaan besar pun muncul. Sampai kapan Mobile Legends bakal menjadi cabang esports nomor satu di Indonesia? Apakah Moonton masih begitu optimistis dengan gelaran MPL dalam beberapa tahun ke depan?
Kompetisi Saja Belum Cukup, Merambah Jalur Hiburan
Enggak sedikit pro player yang memutuskan untuk banting setir menjadi streamer. Misalnya, Jonathan “Emperor” Liandi yang kini fokus menjadi brand ambassador dan streamer. Mantan pemain EVOS Esports dan REVO ini mengaku jika sudah enggak ada ketertarikan untuk mengikuti turnamen Mobile Legends.
Walaupun begitu, kecintaannya pada game yang dikeluarkan oleh Moonton ini membuatnya susah untuk berhenti. Maka dari itu, Emperor pun memutuskan untuk tetap bermain dan memilih sebagai streamer. Ranah ini juga menjadi sumber pundi-pundi untuknya.
“Keinginan untuk mengikuti turnamen sudah enggak ada lagi. Namun, karena kegemaran bermain Mobile Legends saya bisa mengalihkan menjadi sebuah konten video dan tetap bisa mempunyai penghasilan,” ungkap Emperor.
Pemain veteran Mobile Legends yang saat ini sedang menikmati masa “pensiunnya”, Yurino “Donkey” Putra, pun mengakui bahwa menjadi pro player bukanlah profesi yang ideal. Menurutnya, mereka yang serius berkarier di skena kompetitif bakal terbebani dengan beragam tuntutan dan kewajiban. Ironisnya, apa yang didapat ternyata dirasa tidak maksimal sehingga semua jadi terasa tidak sepadan.
“Kalau hanya mengandalkan hadiah atau gaji, pro player enggak akan bisa mapan. Turnamen di Indonesia masih terbilang kecil untuk urusan hadiah. Misalnya, kita dapat Rp1,5 miliar dan harus dibagi-bagi lagi untuk pemain lain. Belum lagi kena potongan untuk manajemen,” jelas pemain yang dikenal dengan selebrasi buka bajunya ini kepada KINCIR.
Sekadar info, Donkey memutuskan untuk rehat dari ingar-bingar arena kompetisi Mobile Legends setelah MPL Season 5. Tuntutan menjadi pro player dirasanya terlalu berat dan tidak sepadan. Pemain yang terakhir kali memperkuat EVOS ini pun mengakui pekerjaannya sebagai atlet esports membuatnya jauh dari keluarga kecilnya karena jadwal latihan yang amat padat. Kesehatannya pun juga sedikit terganggu sehingga dia makin yakin untuk memilih rehat.
Maka dari itu, bagi Donkey, untuk bisa sukses di esports, pemain enggak bisa cuma mengandalkan skill, lalu memenangkan turnamen-turnamen besar. Mereka juga harus pintar untuk mencari peluang lain untuk bisa sukses secara finansial. Donkey pun menyebutkan profesi streamer atau content creator sebagai solusi terbaik.
Pemain yang mengisi role Tank/Support ini mengaku pendapatan dari seorang streamer dengan pemain yang menang di turnamen terbilang jauh selisihnya. Donkey pun mengaku mendapat minimal lebih dari Rp100 juta per bulan dari hasil melakukan streaming.
Meski telah sukses sebagai streamer, Donkey merasa khawatir bidang tersebut perlahan mengurangi semangat pemain untuk berkompetisi. Dia pun berharap Moonton selaku publisher dan pemegang hak penyelenggaraan turnamen Mobile Legends meningkatkan prize pool. Hal ini dianggapnya dapat mensejahterakan pemain sehingga membuat skena kompetitif jadi lebih hidup.
“Kita bandingkan dengan Dota 2, pemainnya lebih serius jadi pro player ketimbang jadi streamer. Hal ini wajar karena karena hadiahnya gede banget, jadi pemain pada serius mengejar prestasi,” jelasnya sembari menutup diskusi.
***
Dari penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa fenomena perpindahan pemain Dota 2 dan AOV ke Mobile Legends adalah hal yang wajar. Mereka tentu memikirkan pilihan karier mereka sebagai seorang atlet esports. Maka dari itulah mereka memilih game garapan Moonton ini setelah melihat popularitas serta skena kompetitif yang begitu hidup.
Memang ada sedikit pertanyaan mengenai jenjang karier dan potensi sebagai pro player Mobile Legends. Namun, tak ada salahnya jika para pemain “pindahan” tersebut memilih jalan yang lebih aman. Lagipula, hijrahnya para pemain ini tentu telah memikirkan opsi karier sebagai streamer dan content creator. Sama seperti Donkey, jalan ini akan dipilih jika mereka telah merasa jenuh atau sudah cukup berkompetisi.
Bagaimana tanggapan kalian tentang fenomena hijrah para pro player MOBA lain ke Mobile Legends? Tetap ikuti KINCIR agar kalian enggak ketinggalan tulisan menarik lainnya seputar esports.