*Tulisan ini membocorkan beberapa adegan penting dari serial Gadis Kretek
Usia karier penyutradaraan saya baru setahun di tahun 2020. Namun saya mencoba menantang diri saya untuk masuk ke dalam lingkaran proses adaptasi novel ke film. Saya memutuskan mengadaptasi cerita bersambung yang sukses besar dibaca di Wattpad lebih dari 30 juta kali berjudul Asya Story menjadi miniseri 6 episode.
Meskipun baru setahun saya menjajal profesi sutradara namun saya famlier dengan proses penulisan skenario sejak menjadi produser di tahun 2011. Satu hal yang selalu saya ingat terkait proses adaptasi dari novel ke film,serial, atau miniseri adalah bahwa sebagai sineas saya tak punya “utang” apapun ke materi aslinya. Dalam hal ini saya tak punya kewajiban apapun untuk tetap setia pada karakter hingga plot dalam cerbung Asya Story, tugas saya “sesederhana” bagaimana mengubah materi aslinya menjadi miniseri dengan kualitas baik.
Maka proses adaptasi pun dilakukan. Bersama dengan penulis skenario, dari awal saya meminta untuk berfokus pada isu kekerasan seksual yang sesungguhnya cuma muncul di prolog cerbungnya. Dalam cerbung, setelah diperkosa oleh teman sekelasnya di ruang kelas, hidup Asya sepertinya baik-baik saja setelah diselamatkan oleh seorang “pangeran tampan”. Sementara buat saya pribadi, Asya memulai babak baru dalam hidupnya setelah mengalami peristiwa mengenaskan dan traumatik itu.
Ketika akhirnya miniseri Asya Story diluncurkan perdana pada 3 April 2020 di layanan streaming Genflix, penilaian publik terbelah terutama bagi mereka yang membaca cerbungnya terlebih dahulu. Ada yang menyukai pendekatan yang kami lakukan terhadap materi asli namun tak kurang banyak yang mencerca bagaimana kami membuat ceritanya menjadi jauh lebih kelam dan traumatik, tak semenyenangkan yang tertulis di cerbungnya.
Novel Gadis Kretek kembali menjadi perhatian setelah diadaptasi menjadi serial di netflix. Novel yang ditulis Ratih Kumala dan terbit pada tahun 2012 tersebut sesungguhnya bukanlah novel yang terjual hingga ratusan ribu kopi namun isu yang disajikan didalamnya memang terbilang menarik untuk diterjemahkan secara visual.
Sebagaimana proses kreatif adaptasi novel pada umumnya, banyak penyesuaian yang perlu dilakukan oleh tim penulis skenario Gadis Kretek agar serial tersebut juga sama memikatnya, bahkan lebih baik lagi jika lebih menarik dibanding novelnya.
Tapi sebenarnya apa saja yang perlu dilakukan dalam mengadaptasi novel menjadi film/serial/miniseri?
7 Langkah mengadaptasi novel menjadi film menurut Richard Krevolin
Dalam buku How to Adapt Anything into a Screenplay (2003), Richard Krevolin membeberkan setidaknya 7 langkah yang perlu dilakukan dalam proses kreatif adaptasi.
- Identifikasi siapa tokoh utamanya [protagonis]. Seringkali ketika membaca novel, kita dibuat bingung dengan terlalu banyaknya karakter yang ingin bersuara. Dalam film/serial/miniseri, kita hanya boleh memilih 1 tokoh utama yang menggerakkan cerita secara keseluruhan. Seorang tokoh yang akan melalui banyak hambatan dalam mencapai keinginannya dan karenanya akan memperlihatkan transformasi karakter yang menarik.
- Identifikasi keinginan dari tokoh utama. Jika dalam novel, tokoh utama seringkali banyak dan seringkali pula punya banyak keinginan, maka dalam film/serial/novel tokoh utama kita hanya perlu satu keinginan besar yang akan terus dikejarnya dan karenanya ia akan terus mendapatkan masalah demi masalah. Keinginan ini akan berujung pada konflik/plot utama yang menggerakkan cerita.
- Identifikasi siapa tokoh antagonis. Dalam novel, sering sekali terjadi terlalu banyak orang yang menghalangi keinginan si tokoh utama dengan porsi yang sama besar. Sementara dalam film/serial/miniseri, hanya perlu 1 orang tokoh antagonis yang akan menghalangi tokoh utama dalam perjuangannya mendapatkan apa yang diinginkannya. Protagonis tak harus jadi tokoh baik sebagaimana tokoh antagonis tak mesti jahat.
- Bagaimana cara tokoh utama mencapai keinginannya? Sebagaimana sifatnya yang visual, maka dalam film/serial/miniseri diperlukan aksi demi aksi, lebih disukai aksi yang spektakuler dan tak terduga dari si tokoh utama untuk melalui rintangan demi rintangan. Maka kejutan-kejutan yang tak ada dalam novel bisa saja dihadirkan dalam film/serial/miniseri untuk mencapai khittah-nya sebagai tontonan visual.
- Menentukan tema cerita yang akan tergambar di akhir film/serial/miniseri. Penting sekali bagi kreator film/serial/miniseri untuk menentukan tema cerita yang akan tergambar sepanjang durasi dan terutama ditegaskan dengan lebih jelas di akhir film/serial/miniseri. Dalam novel seringkali tema ini tak bisa terbaca dengan jelas karena terlalu banyaknya hal-hal yang terjadi yang seringkali sesungguhnya tak benar-benar berfungsi buat cerita secara keseluruhan.
- Siapa yang akan menuturkan cerita dan sudut pandang mana yang digunakan? Sah-sah saja jika narator maupun perspektif yang diambil film/serial/miniseri berbeda dengan yang dilakukan oleh novelnya. Segala manipulasi sah-sah saja dilakukan kreator yang bertujuan agar karya adaptasinya menjadi lebih menarik [dan tak perlu setia] dengan materi aslinya.
- Penggambaran transformasi tokoh utama. Setelah melalui beragam hambatan dalam rentang waktu yang panjang, tokoh utama kita akan belajar banyak hal. Dalam film/serial/miniseri, semuanya mesti tersampaikan secara visual dan penonton melihat langsung bagaimana tokoh utama kita di awal film/serial/miniseri menjadi seseorang yang berbeda di akhir.
Belajar dari Killers of the Flower Moon
Melakukan proses adaptasi novel menjadi skenario ibarat melakukan renovasi rumah. Untuk mendapatkan bentuk rumah yang diidamkan, bisa jadi yang perlu dilakukan sejak awal adalah meruntuhkan seluruh bangunannya terlebih dahulu. Setelah semuanya runtuh dan kembali ke nol, barulah penulis skenario menyusun bata demi bata, keping menjadi keping hingga kelak menjadi rumah yang bisa jadi lebih indah dari yang dibayangkan.
Tantangan terbesar dalam proses kreatif adaptasi novel menjadi skenario adalah bagaimana penulis dituntut untuk berusaha semaksimal mungkin untuk setia pada materi aslinya sementara di saat yang bersamaan, ia akan terus berusaha membengkokkannya agar muat ke dalam media film/serial/miniseri.
Pada tahun 2017 jurnalis David Grann merilis buku non fiksi berjudul Killers of the Flower Moon. Tak hanya sekedar laris, kelak buku tersebut juga masuk dalam daftar majalah Time sebagai salah satu buku terbaik tahun 2017. Enam tahun setelahnya, sutradara auteur, Martin Scorsese, mengadaptasi buku tersebut menjadi film berdurasi 3,5 jam.
Bukan saja soal durasinya sepanjang itu yang mencengangkan penonton. Sekali lagi yang mengagumkan dari Martin adalah keberaniannya melakukan perombakan besar-besaran terutama terkait dari sisi perspektif bagaimana cerita ini dikisahkan.
Dalam bukunya, David menuturkan dari kacamata agen FBI, Tom White, yang membongkar kejahatan demi kejahatan yang dilakukan dengan sistematis dan berdarah dingin atas suku Osage di Oklahoma pada tahun 1920-an. Sementara filmnya sendiri mendekatkan dirinya pada sumber cerita dan berpusat pada Ernest Burkhart, keponakan sekaligus kaki tangan dari William King Hale yang menjadi otak dari segala kejahatan biadab itu.
Satu hal yang paling menarik dari semua ini adalah bagaimana penulis bukunya, David Grann, sama sekali tak mempermasalahkan cara sutradara mengubah perspektif ceritanya. Buatnya mengubah perspektif tersebut justru membuat ceritanya lebih berpihak pada sejarah alih-alih mencoba berusaha setia pada materi aslinya.
Dalam buku The Art of Adaptation Turning Fact and Fiction into Film, Linda Seger menuliskan bahwa adaptasi merupakan sebuah proses transisi, pengubahan atau konversi dari satu medium ke medium lain. Menurutnya ada tiga proses yang perlu mendapat perhatian dalam proses kreatif adaptasi yaitu rethinking [berpikir ulang], reconceptualizing [mengonsep ulang] dan understanding (memahami) teks dari materi asli. Yang dilakukan Martin betul-betul menjalankan tiga proses ini dan menulis ulang kisah Killers of the Flower Moon bersama Eric Roth dengan kegairahan baru.
Mengadaptasi 288 halaman menjadi 5 episode serial
Tim penulis skenario serial Gadis Kretek melakukan pekerjaan yang sesungguhnya cukup berat untuk memeras 288 halaman novel menjadi 5 episode serial yang berdurasi antara 58 – 74 menit per episode. Di bawah komando Tanya Yuson, tim penulis skenario melakukan pekerjaannya dengan cukup baik. Proses kreatif adaptasi skenario dilakukan dengan benar sembari tetap berusaha untuk setia pada materi aslinya.
Hal yang pertama kali dilakukan tim penulis skenario adalah memusatkan semesta cerita pada Jeng Yah [Dasiyah]. Dengan bisa mengindentifikasi tokoh utama cerita ini maka serial Gadis Kretek akan bisa fokus pada bagaimana Jeng Yah dengan segala keinginannya dan bagaimana ia berkelit dari segala hambatan dan masalah yang akan terus merundungnya.
Dalam versi novelnya, Ratih Kumala membawa kita terlebih dahulu mengikuti bagaimana perjalanan Idrus Moeria, ayah Jeng Yah, untuk bertemu dengan calon istrinya kelak. Persaingannya dengan Soedjagad yang akan menjadi tokoh antagonis dalam serialnya juga diceritakan dengan gamblang. Sementara dalam versi serialnya, hanya sekilas kita diberitahu bahwa ada persaingan masa lalu antara Idrus dan Jagad dalam memperebutkan Roemaisa, ibu Jeng Yah.
Dengan memilih fokus pada Jeng Yah, maka serial akan mempersempit linimasa yang hanya akan fokus pada sekitar tahun 1960-an, pergolakan 1965 dan setelahnya. Sementara cerita dalam novelnya bergerak dalam linimasa yang lebih panjang sejak jaman penjajahan, perjuangan kemerdekaan hingga pendudukan Jepang di Indonesia.
Berfokus pada kisah cinta Jeng Yah dan Soeraja
Sebagaimana novelnya, serial Gadis Kretek juga memilih berfokus pada keinginan Jeng Yah untuk menjadi peracik saus dari rokok kretek yang diproduksi ayahnya. Untuk itu ia perlu menghadapi segala macam masalah, hambatan dan rintangan yang menariknya justru tak dipaparkan dengan gamblang dalam novel.
Kesan yang didapatkan malah nyaris tak ada hambatan bagi Jeng Yah untuk menjadi peracik saus. Jika dalam novel, ruang saus menjadi ruang yang bebas-bebas saja dimasuki oleh Jeng Yah sementara dalam serial, ruang saus menjadi ruang nan sakral dan tak boleh dimasuki perempuan. Pak Didjo yang dipercaya oleh Idrus sebagai peracik saus langsung melakukan ritual ketika tahu Jeng Yah dibantu Soeraja bisa memasuki ruang tersebut tanpa seijinnya.
Serial Gadis Kretek juga secara sadar menempatkan kisah cinta Jeng Yah dan Soeraja sebagai canon event. Semacam peristiwa yang terjadi karena takdir. Dengan penggambaran dramatis, kita memang melihat bagaimana keduanya berjumpa pertama kalinya dalam sebuah peristiwa tak terduga di pasar.
Soeraja yang baru saja berkelahi dengan seseorang tak sengaja beradu pandang dengan Jeng Yah yang sedang melintas. Dalam sebuah wawancara dengan Dian Sastrowardojo [pemeran Jeng Yah] yang dimuat di Tribun News, karakter Soeraja di serial memang ingin dibikin keras dan kasar.
“Jadi si Soeraja dibikin berantakan banget, slengekan, careless, nonchalant sementara Dasiyah-nya yang kaku banget, yang bener-bener, sorry pardon my language, cuma she’s basicly uptight bi**h lah gitu,” jelas Dian.
Dengan kekontrasan karakter seperti ini memang diperlukan untuk kelak memperlihatkan ketertarikan satu sama lain secara perlahan yang akan membuat penonton gemas dan tertarik terus mengikuti bagaimana kelak kisah cinta mereka berakhir.
Jagad yang lebih jahat dan Seno yang tak ada dalam novel
Jagad menjadi tokoh antagonis yang dibenci dalam serial Gadis Kretek. Selain karena porsinya yang dominan, Verdi Solaiman juga berhasil memberi ruh pada karakter yang sesungguhnya sejahat yang ditampilkan dalam serialnya.
Novel Gadis Kretek memberi ruang besar untuk pembaca memahami karakter Jagad. Pada awalnya ia adalah kompetitor cinta bagi Idrus untuk memperebutkan Roemaisa. Keduanya sesama pelinting klobot dan akhirnya dengan cara masing-masing mencoba merebut hati Roemaisa.
Persaingan dalam soal cinta kelak menjalar ke persaingan bisnis ketika keduanya mulai memiliki perusahaan rokok kretek masing-masing. Persaingan ini lantas menjadi bahan bakar bagi tim penulis skenario untuk menaikkan skalanya ke tingkat maksimal. Maka pembaca novel mungkin akan dikagetkan dengan penggambaran dalam serial bahwa Jagad menjadi dalang di balik tertangkapnya Idrus sekeluarga. Idrus dituduh terafiliasi dengan PKI yang menjadi asal mula hancur leburnya mimpi dan harapan Jeng Yah, juga soal kandasnya cinta Jeng Yah dan Soeraja yang terpisahkan bertahun-tahun akibat peristiwa penangkapan itu.
Selain perubahan radikal soal Jagad, tim penulis skenario juga berani menghadirkan seorang karakter yang tak ada dalam novelnya. Dialah Seno yang awalnya dijodohkan dengan Jeng Yah namun tak pernah menghilang dalam hidup perempuan itu meskipun Jeng Yah memilih mencintai Soeraja. Dalam novel yang ada adalah tokoh bernama Sentot dengan peran yang tak signifikan.
Apa yang dilakukan tim penulis skenario Gadis Kretek tentu saja bukan hal baru. Setidaknya ada sejumlah film yang menciptakan karakter baru atau mengganti nama karakter dari novel ke film dan memberinya porsi peran yang lebih besar. Diantaranya adalah Stardust dari adaptasi novel Neil Gaiman yang menghadirkan karakter Captain Shakespeare, The Hobbit dari J.R.R Tolkien juga menampilkan karakter baru bernama Tauriel dalam film adaptasinya dan tokoh Persephone dari film adaptasi Percy Jackson and the Lightning Thief karya Rick Riordan. Sementara dari semesta serial Netflix, tentu saja kita masih mengingat bagaimana kemunculan mengejutkan dari karakter baru bernama Milo the Goat dalam serial Shadow and Bone.
Ketertarikan samar Lebas dan Arum
Tim penulis skenario serial Gadis Kretek mencoba menjalankan cerita secara paralel antara kisah cinta Jeng Yah dan Soeraja dan anak-anak mereka, Arum dan Lebas. Ini menjadi sebuah langkah cerdik karena penonton akan dibuat lebih berempati pada apa yang dialami Jeng Yah yang memberi efek luar biasa besar bagi Arum dalam menjalani kehidupannya kelak.
Dalam novel perjalanan menyusuri masa lalu Jeng Yah dan Soeraja tak dilakukan Lebas seorang diri melainkan bersama kedua kakaknya, Tegar dan Karim. Peran Arum pun hanya diperlihatkan di akhir cerita dan nyaris tak ada interaksi yang cukup penting dengan Lebas. Karena ingin menghadirkan semacam “semesta paralel”, maka pendekatan seperti ini perlu dipuji agar masa lalu dan masa kini terkoneksi dengan lebih menarik.
Dengan berpegang pada pendekatan ini pula membuat kepingan demi kepingan kisah hidup Jeng Yah menjadi bahan bakar utama dari bagaimana Lebas dan Arum saling berinteraksi, saling membuka diri, tahu bagaimana kisah masa lalu dari masing-masing keluarga. Begitupun tim penulis skenario sepertinya memang sengaja memperlihatkan ketertarikan samar Lebas kepada Arum, juga sebaliknya.
Karena porsinya yang minim dalam novel, maka tim penulis skenario Gadis Kretek lebih bebas membangun karakter Arum yang kelak digambarkan sebagai seorang dokter. Sementara Lebas yang digambarkan sebagai sutradara film horor dalam novelnya justru dihilangkan sama sekali.
Meskipun diawali dengan lamban terutama di 20 menit awal di episode perdananya namun Gadis Kretek bisa mengakhiri ceritanya dengan mengawinkan konklusi yang melegakan hati penonton sekaligus memberi ruang bagi terbukanya kelanjutan serial ini terkait dengan ketertarikan samar antara Lebas dan Arum.
Saya pun mengingat apa yang dikemukakan salah satu tokoh dalam film Adaptation [2002] besutan Spike Jonze. “Saya akan memberitahumu sebuah rahasia. Babak terakhir lah yang sesungguhnya membuat sebuah film berkesan. Buat mereka kagum pada akhirnya, dan kamu akan mendapatkan sebuah karya yang meledak. Kamu boleh saja mempunyai kekurangan, masalah, tetapi pada akhirnya akan membuat kamu kagum, dan kamu akan berhasil. Temukan akhir ceritanya, tapi jangan curang, dan jangan berani-berani membawakan deus ex machina. Karakter dalam filmmu harus berubah, dan perubahan itu harus datang dari mereka. Lakukan itu, dan kamu akan baik-baik saja.”