Film memiliki kekuatan untuk mengubah cara kita berpikir tentang diri kita sendiri dan budaya kita. Pembuat film dokumenter dan pembicara TED, Sharmeen Obaid-Chinoy, menggunakannya untuk melawan kekerasan terhadap perempuan, dan mengarahkan kameranya pada tradisi pembunuhan demi kehormatan di Pakistan.
Dalam ceramahnya yang mengharukan yang ditayangkan di saluran resmi TED Talk pada April 2019, ia berbagi bagaimana ia membawa filmnya yang menang Piala Oscar via bioskop keliling, mengunjungi kota-kota kecil dan desa-desa di seluruh Pakistan dan perlahan mengubah dinamika antara perempuan, laki-laki dan masyarakat; satu per satu melalui pemutaran film.
A Girl in the River: The Price of Forgiveness merupakan film dokumenter pendek pemenang Piala Oscar pada tahun 2015. Film dokumenter ini mengikuti kisah seorang gadis berusia sembilan belas tahun, yang selamat dari upaya pembunuhan demi kehormatan yang dilakukan ayah dan pamannya.
Tokoh protagonis mempunyai pendirian teguh untuk tidak memaafkan penyerangnya namun, publik menekannya untuk memaafkan. Dengan melakukan itu, para penyerang dibebaskan dan bisa kembali ke rumah.
Selama puluhan tahun cukup banyak film yang dibuat dari seluruh dunia yang mencoba menguraikan konflik Palestina – Israel yang terjadi lebih dari 100 tahun lalu. Sejarah konflik Palestina-Israel bermula dari awal abad ke-20 ketika Kesultanan Ottoman dikalahkan Inggris dalam Perang Dunia I yang membuat wilayah Palestina diambil alih oleh Inggris.
Pada tahun 1917, Deklarasi Balfour mendukung pendirian rumah nasional Yahudi di Palestina. Deklarasi itu dinamai demikian karena merupakan kesepakatan antara Menteri Luar Negeri Inggris yang menjabat saat itu, Arthur Balfour, dengan komunitas Yahudi di Inggris. Deklarasi Balfour pula yang mendorong bangsa Yahudi dari berbagai belahan dunia datang ke tanah Palestina.
Selama periode ini, imigrasi Yahudi meningkat, dan ketegangan antara komunitas Yahudi dan Arab Palestina tumbuh. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengambil alih mandat atas Palestina yang sebelumnya dikuasai oleh Inggris. PBB membagi wilayah tersebut menjadi dua negara, satu untuk orang Arab Palestina dan satu
untuk bangsa Yahudi. Pembagian tersebut diadopsi sebagai Resolusi PBB Nomor
181 pada tahun 1947.
Bagi orang-orang Yahudi, Palestina adalah rumah bagi leluhur mereka. Namun, komunitas Arab di Palestina juga mengeklaim wilayah tersebut dan menentang klaim sepihak komunitas Yahudi di sana. Ketegangan ini memicu Perang Arab-Israel pertama pada tahun 1948 yang dimenangi oleh Israel, yang mengakibatkan pembentukan negara Israel dan pengungsian rakyat Palestina.
Konflik Palestina – Israel sudah terjadi lebih dari 100 tahun dan cukup banyak film dengan kualitas memukau. Sebagian di antaranya terjaring festival-festival film paling prestius, yang mencoba memotret apa yang sebenarnya terjadi di Palestina sebagai salah satu upaya kita agar memahami konflik ini dengan lebih manusiawi.
Belajar dari Promises (2001)
Di Palestina, juga di Israel, sejarah itu seperti gen. Ia diturunkan. Tak terhindarkan. Maka ketika sejarah itu ditulis dengan catatan buruk, tak seorang pun bisa menghindar. Pun mereka yang masih bocah dan harus mewarisi kenyataan pahit; ketika sebuah wilayah terbelah dan diperebutkan dua pihak. Keduanya merasa benar dan paling berhak. Dan apa boleh buat, tak ada seorang pun yang bisa memastikannya.
Promises menjadi sebuah dokumentasi yang penting bagi Palestina maupun Israel dan juga dunia. Film yang dibesut Justine Shapiro, B.Z Goldberg dan Carlos Bolado itu justru kuat di tengah ketidakberpihakannya pada kedua bangsa itu.
Pesan ini makin meyakinkan karena dibuat dari sudut pandang bocah. Ada nuansa keluguan, jujur dan lugas didalamnya yang membuat film ini terasa manis dan mengalir. Palestina yang Arab dan Israel yang Yahudi.
Anak-anak itu pun mewarisi kebencian yang membuncah. Faraj yang hidup di kamp pengungsi setelah tempat tinggal keluarganya digusur Israel terlihat jelas begitu membenci mereka yang
Yahudi. Sementara si kembar Yarko dan Daniel juga begitu geramnya dengan kaum Palestina yang dinilainya menyerobot yang bukan haknya.
Di tengah-tengah mereka ada Sanabel, gadis cilik Palestina yang ayahnya dipenjara tanpa
diadili. Sanabel menjadi berbeda karena ia tak membenci. Ia tahu bahwa dirinya, juga Faraj, Yarko dan Daniel, tak menyumbangkan kesalahan apapun.
Faraj begitu fasih membela Palestina dan begitu berapi-api menentang Israel. Di pihak lain, Yarko dan Daniel juga hidup setiap harinya dengan pikiran yang berkecamuk demi mengutuk Palestina. Tapi bagaimana jika mereka dipertemukan? Apakah mereka akan berkelahi habis-habisan?
Di luar dugaan, semuanya tak terjadi. Anak-anak itu justru bersikap manis terhadap satu sama lain. Mereka bermain seperti bocah seusianya. Tak ada sedikitpun diskusi panas seputar batas wilayah, kemerdekaan ataupun Palestina yang Arab dan Israel yang Yahudi. Mereka berbagi rasa tentang apa yang mereka rasakan setelah bertemu satu sama lain.
Anak-anak itu tahu bahwa sejak saat itu mereka akan melihat hal berbeda dari sebelumnya. Faraj akan melihat dari sudut pandang lain akan Israel yang Yahudi. Demikian pula Yarko dan Daniel yang juga cakrawala berpikirnya akan menjadi berbeda demi memandang Palestina yang Arab.
Di akhir pertemuan, sebuah kejutan terjadi. Kejutan yang membuat Promises menjadi dokumenter yang mengiris hati. Ketika Faraj tersedu sedan ketika tahu bahwa Yarko dan Daniel akan kembali ke rumahnya. Anak-anak itu pun bertangis-tangisan.
Siapa yang bisa menduga hal ini akan terjadi? Tangisan Faraj meleleh dari matanya justru lahir dari permenungannya selama ini. Perdamaian yang terjadi antara keduanya akan hilang begitu saja ketika mereka kembali ke kehidupan masing-masing. ”Sebentar lagi Yarko dan Daniel akan
kembali ke rumah mereka. Dan semua ini akan jadi sia-sia, ” tuturnya terisak.
Perang tak berkesudahan telah meluluhlantakkan kehidupan dari antara mereka. Tak tahu berapa ratus amunisi harus terlontar ke udara, berapa banyak peluru yang ditembakkan dan berapa liter air mata yang harus bersimbah. Kita tak pernah tahu akan seperti apa akhirnya. Tapi Faraj, yakin bahwa semuanya tak akan sia-sia pada akhirnya.
Ini sebuah langkah kecil untuk bersuara kepada dunia. Suara dari anak-anak tak bersalah.
Merekam sejarah via 5 Broken Cameras (2011)
Film dokumenter nomine Best Documentary Feature Academy Awards tahun 2013 ini merupakan kisah mendalam tentang perlawanan tanpa kekerasan terhadap tindakan tentara Israel. Selama kurun waktu lima tahun, Emad Burnat merekam adegan kekacauan yang terjadi di luar rumahnya dengan kamera video keluarga.
Pembuat dokumenter amatir ini menawarkan pandangan pribadi tentang kehidupan di Bil’in, sebuah kota kecil di Tepi Barat tempat ia dan keluarganya tinggal dan terancam oleh perambahan pemukiman Israel yang terus berlangsung. Sadar bahwa kameranya adalah alat pemberdayaan, Emad menyadari bahwa kamera juga merupakan sarana untuk mempersatukan
komunitasnya.
Emad Burnat, seorang petani zaitun yang dengan cepat memanfaatkan kekuatan kamera sebagai dokumenter, saksi dan pelindung, mengabadikan tujuh tahun kehidupan kotanya, merekam demonstrasi, penangkapan dan pembunuhan, sambil melestarikan kenangan pribadi melihat pertumbuhan putranya, Jibril, di tengah konflik.
“Anda tahu, ini adalah kisah tentang saya, kisah pribadi dari sudut pandang saya. Tapi tahukah Anda, itu [muncul] setelah bertahun-tahun syuting. Jika Anda melihat rekamannya, Anda akan menyadari ketika saya sedang mendokumentasikan dan mengikuti anak-anak saya, pada saat yang sama saya sedang mengikuti teman-teman saya dan demonstrasi. Saya berencana membuat film semacam ini, tapi saya tidak yakin apakah saya akan membuatnya menjadi
sangat pribadi. Jadi, bagi saya untuk memutuskan menjadikannya sangat pribadi, keputusan itu datang sangat terlambat. Tapi tahukah Anda, ada dalam pikiran saya untuk membuat film saya betul-betul film saya pribadi. Saya seperti kebanyakan orang tua selama tahun-tahun itu ketika saya fokus pada teman-teman dan Jibril, putra saya, melihatnya saat tumbuh dewasa, “ ujar Emad dalam sebuah wawancara.
“Saya membuat film untuk menyembuhkan,” tambah Emad di lain kesempatan. “Saya tahu mereka mungkin mengetuk pintu saya kapan saja, tapi saya akan terus syuting. Ini membantu saya menghadapi kehidupan. Dan bertahan hidup.”
5 Broken Cameras (dinamai berdasarkan nama kamera yang dihancurkan selama periode lima tahun) adalah karya penting aktivisme politik dan sinematik. Lebih dari itu, film ini memberikan kesaksian langsung tentang kehidupan yang teraniaya dan bagaimana seseorang bertahan hidup ketika diusir dari tempat yang Anda sebut rumah.
Suara dari Jepang tentang Palestina via R21 AKA Restoring Solidarity [2022]
Dalam informasi tertulis di website Madani Film Festival 2023 beberapa waktu lalu, film R21 AKA Restoring Solidarity besutan Mohanad Yaqubi itu diperkenalkan sebagai “film tentang pembuatan film”. Ia juga adalah film tentang film-film yang menyentuh bentuk dokumenter, fiksi, dan arsip. “Film ini dibentuk untuk memaparkan narasi dari 20 film yang hendak menyampaikan pesan-pesan solidaritas,” katanya.
Pada suatu masa, Yaqubi menemukan harta karun. Ia menemukan gulungan film 16 milimeter di Tokyo, tempat Palestine Liberation Organization [PLO] mendirikan kantor lokal sekaligus menjadi tempat bagi para aktivis Jepang mengumpulkan dan memutar film-film tersebut kepada warganya sebagai bentuk mobilisasi melawan berbagai wajah imperialisme, bisa jadi Amerika atau Israel.
Bagi Yaqubi, juga bagi pembuat film seperti saya, film adalah medium menyimpan kenangan, kegelisahan, gagasan dan ide-ide terliar yang pernah terpikirkan. Untuk film R21 AKA Restoring Solidarity, film adalah tempat untuk menyimpan memori kolektif yang kelak bisa dibuka kapan saja dan bisa dinikmati oleh generasi mana saja.
Maka memori tersebut perlu dirawat, perlu dipelihara, juga perlu diperbarui kembali. Maka makna judul film R21 AKA Restoring Solidarity bisa melampaui apa yang dimaksudkannya. Ia bisa
bermakna sebagai sebuah cara untuk merestorasi film-film lama yang mungkin terlupakan begitu saja banyak orang. Tapi ia juga bisa bermakna sebagai sebuah cara untuk membangkitkan kembali solidaritas atas perjuangan Palestina atas nama kemanusiaan, terlepas dari ikatan ideologi hingga agama.
Maka kita merinding ketika menyaksikan seorang perempuan tua Kristen yang memilih bertahan di Kuneitra, Suriah, setelah invasi Israel di tahun 1967. Ia diwawancarai untuk menanyakan apa yang akan dilakukannya di kotanya yang sudah morat-marit itu. “Tak ada, “ sahutnya tanpa beban.
“Yang kamu lihat bisa berbicara sendiri kan? Jadi tidak perlu penjelasan (tambahan)e apapun, “ jelasnya.
Ia tak menangis, ia tak bersedih, mungkin airmatanya sudah habis, mungkin kesedihan sudah lama pergi dari dirinya atau mungkin juga karena ia tak lagi melihat kemanusiaan yang muncul di kotanya. Solidaritas tak pernah datang padanya dari Jamie Lee Curtis atau Justin Bieber jika ia masih hidup hari ini.
R21 AKA Restoring Solidarity menjadi terdengar begitu lantang hari-hari ini justru karena ia muncul dari masa yang jauh. Juga dari negeri yang tak pernah terbayangkan akan mendukung Palestina sedemikian rupa. Tapi Jepang juga pernah mengalami bombardir Amerika di Hiroshima dan Nagasaki dan mereka tahu betul bagaimana rasanya menjadi Palestina. Potongan demi potongan film dari tahun 1963-1984 itu dijahit dengan tekun, disunting dengan jernih dan
akhirnya menjelma menjadi sebuah suara protes yang keras dari masa lampau.
Dari potongan film yang direkam hingga 40 tahun lalu itu, suara protes itu masih
relevan kini. Salah satu segmen paling menarik dari R21 AKA Restoring Solidarity bisa jadi
adalah potongan film pendek tentang sekelompok anak-anak yang menemukan sebuah peluncur rudal yang ditinggalkan. Mereka mulai bermain dengan peluncur rudal itu hanya untuk dihadapkan pada realitas konflik saat menemukan mereka menemukan tubuh anak lainnya.
Mereka kemudian muncul dalam seragam militer, diradikalisasi untuk membalas dendam atas nama perjuangan untuk negara. Tanpa dialog sekalipun, kita tahu bahwa segmen ini merekam fragmen paling pedih yang menghiasi hari-hari anak-anak di Palestina sejak puluhan tahun lalu hingga hari ini.
Tapi kita pun perlu sadar bahwa Yaqubi merekonstruksi ulang 20 film tersebut. Ia memilih potongan demi potongan yang senapas dengan hal yang ingin dibicarakannya secara jelas, suatu hal yang lumrah dilakukan oleh pembuat film manapun. Tapi yang bisa kita sepakati atas kerja keras Yaqubi adalah bahwa ia melihat medium film seringkali melampaui apa yang seringkali sekedar dibebankan kepadanya: sebuah hiburan belaka. Bagi Yaqubi, juga bagi saya, film lebih dari tujuan sesederhana itu.
Dan kita pun kembali bisa memaknai film dengan lebih jernih sebagaimana yang didengungkan dalam R21 AKA Restoring Solidarity. “Film was a powerful way to keep our memories alive.”