*Spoiler Alert: Artikel ini mengandung bocoran film Greenland yang bisa aja mengganggu buat kalian yang belum nonton.
Greenland menjadi film disaster pembuka di Indonesia pada 2021. Sebenarnya, film Hollywood ini sudah tayang di Amerika sejak 18 Desember, karena pandemi yang menghalangi distribusi, baru hadir di bioskop Indonesia pada 10 Maret 2021.
Sinopsis film Greenland menyoroti usaha keluarga Garrity, yang terdiri dari John (Gerard Butler), Allison (Morena Baccarin), dan Nathan (Roger Dale Floyd). Mereka berusaha bertahan hidup dari gempuran Komet Clarke yang menghancurkan Bumi. Mereka awalnya terpilih sebagai warga untuk dilindungi di bunker pemerintah di Greenland. Namun, semuanya tidak berjalan mulus. Berbagai kesulitan bahkan kehilangan mewarnai sepanjang film.
Bagaimana keseruannya? Simak review film Greenland khas KINCIR di bawah ini.
Komet yang Sekadar Lewat
Premis film Greenland sebenarnya sudah usang jika mengikuti tren perfilman hari ini. Disaster movie yang dalam beberapa tahun terakhir ini sudah jarang diangkat, Greenland hadir dengan lapisan premis yang baru.
Langkah ini merupakan salah satu hal berani dari Ric Roman Waugh sebagai sutradara. Terlebih, ketika film bencana saat ini sedang trennya karena virus, Roman Waugh hadir dengan Komet Clarke yang menghantam Bumi. Saat mengetahui premis dan trailernya, film ini seakan mengingatkan kita pada film kiamat 2012 (2009) atau San Andreas (2015).
Namun, Komet Clarke hanya numpang lewat saja. Seakan kehadirannya memengaruhi keputusan-keputusan manusia. Tidak seperti 2012 atau San Andreas, yang menunjukkan bahwa villain dalam film adalah bencana alam itu sendiri. Sementara di Greenland, musuh terbesarnya adalah keserakahan manusia.
Film Bencana Berlatar Permasalahan Keluarga
Film bencana ini hanyalah latar, bukan poin utama. Sebaliknya, permasalahan manusia di dalamnya justru ditampilkan berlapis-lapis. John ingin membayar kesalahan masa lalu karena selingkuh dari Allison. Dia ingin rujuk, tapi Allison masih belum sepenuhnya percaya. Bencana alam yang menimpa mereka membuat Allison sadar bahwa dia enggak mampu melindungi anaknya alias dia masih butuh John sebagai keluarga utuh.
Selain soal perceraian, film ini juga menyorot hubungan orangtua-anak dan mertua-menantu. Treatment dari Ric Roman Waugh ini memang terdengar klise, tapi nyatanya bisa menambah rasa emosional penonton terhadap tiap karakternya. Seperti, John yang terpisah dengan istri dan anaknya. Kemudian, Nathan yang diculik orang karena gelang berharga yang dipakai, hingga kepedulian serta kepasrahan Dale, ayah Allison sekaligus mertua John.
Meski komet hanya sekadar lewat, sutradara dan penulis skenario justru menghidupkan film ini dengan konflik manusianya. Selain soal keluarga Garrity, film ini juga menunjukkan bahwa manusia bisa berlaku jahat dan kejam demi keselamatan.
Gerard Butler sebagai John berhasil hadirkan empati penonton. Bahkan, kehadirannya jadi salah satu yang membuat film berhasil. Sebagai sosok ayah dan suami yang tak sempurna, John berusaha memperbaikinya. Perawakan kekar dengan suara kuat layaknya bapak-bapak Amerika pada umumnya, cocok bagi Gerard Butler, yang juga dikenal sebagai ikon film drama era 2000-an.
Sementara untuk Morena Baccarin, menjadi sosok ibu tunggal yang berusaha bertahan hidup demi sang anak yang menderita diabetes terlihat jelas dari ekspresi dan dialognya. Dia harus kuat demi anaknya, meski di dalam lubuk hatinya juga butuh dilindungi, terlihat dari rasa kagumnya terhadap sang ayah. Menariknya, baik Gerard Butler dan Morena Baccarin sempat bikin salah fokus karena tubuh tahan bantingnya melawan orang-orang yang serakah.
Sayang, Komet Menghancurkan Babak Ketiga Film
Babak ketiga dari sisa film tampil kurang menarik alias klimaks yang kentang. Hanya sekadar formalitas bagi keluarga Garrity untuk mencapai bunker. Memang, premis film bencana yang diisi dengan konflik manusia, penyelesaiannya tak perlu diharapkan bombastis.
CGI di bagian ini kurang terintegrasi dengan baik meski kengerian warna oranye dan merah di langit cukup hadirkan kengerian. Kerusakan Bumi hanya ditampilkan dari potongan video berita. Sementara ending film pun mirip dengan film 2012, di mana hanya sebagian orang di muka Bumi yang selamat. Bedanya, skala kerusakan Bumi tidak sebesar film 2012 yang memengaruhi lempeng Bumi. Dalam Greenland, masih banyak manusia di luar benua Amerika yang selamat.
Meski bisa ditebak, konflik internal dan lekukan emosi keluarga Garrity terselesaikan dengan baik di babak ketiga. Film ini tak sepenuhnya membosankan, tapi juga tak perlu mengharapkan alur yang fantastis dari sebuah disaster movie.
Scoring dari David Buckley dan Jeff Biggers juga layak diapresiasi. Memang, bukan sesuatu yang sangat berkesan, tetapi seperti film bencana lainnya, scoring yang diciptakannya menyatukan urutan adegan konflik dan memberikan suasana dinamis di sepanjang film. Nontonlah di bioskop, rasakan ketegangan dan getaran dari scoring film ini.
***
KINCIR nonton film Greenland di bioskop dalam acara Special Screening yang diadakan oleh XXI Kota Kasablanka (6/3). Menariknya, ada mini talkshow dari komunitas Himpunan Astronomi Amatir Jakarta (HAAJ) yang menjelaskan mengenai komet dan teknologi yang diciptakan manusia untuk memantau benda-benda luar angkasa yang membahayakan Bumi.
Film Greenland sudah bisa kalian tonton di bioskop mulai 10 Maret 2021. Tidak ada yang bisa menggantikan suasana nonton di layar besar dengan sound maksimal. Kalau sudah nonton, bagikan pendapatmu di kolom review yang ada di awal artikel ini, ya.