*(SPOILER ALERT) Artikel ini mengandung sedikit bocoran yang semoga saja enggak mengganggu buat lo, ya.
Meski judulnya bikin bergidik, film ini enggak ada keterkaitan sama sekali dengan zombie atau pun tema-tema horor dan gore lainnya. Sebaliknya, I Want to Eat Your Pancreas menawarkan kisah sedih yang sudah bisa lo tebak dari poster atau pun cuplikan yang beredar. Makna judul film tersebut bisa lo temukan dengan mudah kala menonton filmnya.
I Want to Eat Your Pancreas sudah rilis di Jepang pada 1 September 2018 dan bisa lo tonton di bioskop-bioskop jaringan Platinum Cineplex dan CGV Cinemas mulai 26 Desember ini. Diangkat dari novel berjudul Kimi no Suizō o Tabetai karya Yoru Sumino, versi live action-nya sudah tayang setahun lebih dulu di Jepang dengan judul Let Me Eat Your Pancreas dan jadi salah satu tayangan favorit dalam ajang Pekan Sinema Jepang 2018.
Kalau ngomongin film anime dengan cerita pilu, mungkin kita bisa sepakat bahwa Kimi no Na wa (2016) adalah juaranya dalam beberapa tahun terakhir. Harus diakui, film garapan Makoto Shinkai tersebut jadi standar ekspektasi ketika kita ditawari sebuah tayangan anime yang memadukan drama remaja dan kisah sedih. Lantas, apakah pengalaman kesedihan yang kita dapat dari dua film ini bisa kita bandingkan?
Mari kita telusuri satu per satu apa saja yang disajikan oleh film anime karya Studio VOLN ini!
1. Karakterisasi Tokoh Utama yang Bikin Geregetan
Garis besar cerita dalam film anime ini adalah hubungan antara dua tokoh yang sama-sama masih remaja. Protagonis kita adalah seorang cowok yang namanya baru bisa lo ketahui di akhir film. Dengan sifat pendiam dan enggak tertarik untuk punya teman, dia memilih tenggelam dalam buku-buku bacaan dan menyibukkan diri sebagai penjaga perpustakaan sekolahnya.
Suatu hari, si cowok ini menemukan buku harian teman sekelasnya, Sakura Yamauchi. Sakura punya sifat yang bertolak belakang. Dengan sifatnya yang mudah bergaul, dia disukai oleh teman-teman sekelasnya. Namun, tak disangka Sakura menyimpan sebuah rahasia yang enggak dia ceritakan sama sekali kepada teman dekatnya sekalipun.
Si cowok yang secara enggak sengaja mengetahui rahasia tersebut perlahan masuk ke dunia Sakura. Dia juga tahu bahwa Sakura bakal meninggal tak lama lagi karena penyakit yang dideritanya. Sudah bisa ditebak, kok, kalau ujung-ujungnya tumbuh percikan asmara (setidaknya rasa sayang dan menganggap pihak lain jadi berarti khusus) di antara keduanya.
Makanya, Sakura jadi terkesan jahat karena bikin si cowok jadi sayang sama dia padahal dia bakal meninggal. Si cowok pun enggak kuasa menolak setiap ajakan Sakura, mulai dari menemaninya makan setiap pulang sekolah hingga jalan-jalan ke luar kota. Geregetan? Yah, namanya juga anak muda.
2. Animasi Sederhana yang Bikin Tenang
Kalau menjadikan Kimi no Na wa sebagai standar ideal film anime, lo mungkin kecewa dengan gaya animasi yang ditampilkan dalam I Want to Eat Your Pancreas. Secara visual, film ini enggak menyajikan kemegahan animasi yang bisa membuat lo terkagum-kagum. Sebaliknya, film anime garapan Shinichiro Ushijima ini tampil sederhana saja dengan warna-warna lembut yang mendominasi.
Meski terkesan biasa saja, bukan berarti lo enggak bisa menghayati kesedihan yang ditawarkan, kok. I Want to Eat Your Pancreas seakan-akan sudah menolak untuk disandingkan dengan Kimi no Na wa. Ada unsur lain yang jadi daya tarik dalam film ini dan sudah jelas gaya animasi bukan jawabannya.
3. Aura Sedih di Sepanjang Film
Cerita hubungan antara dua tokoh yang salah satunya menderita penyakit berat mungkin bisa lo temui di banyak tayangan lain, entah itu anime atau pun bukan. Di anime, mungkin lo sudah pernah menonton Your Lie in April (Shigatsu wa Kimi no Uso). Dengan kata lain, sebenarnya masih banyak tontonan yang cocok buat lo yang memang doyan dibikin nangis.
Dengan kisah yang penuh kepiluan, I Want to Eat Your Pancreas juga memberikan sentilan-sentilan komedi di dalamnya. Namun, lo enggak bakal lupa dengan tujuan lo menonton film ini: menangis. Ditambah lagi dengan sifat Sakura yang mencoba kuat dengan nasibnya. Meski dia selalu tersenyum dan mengajak sang protagonis untuk menikmati hari-hari bersamanya, tetap saja kepiluan begitu terpancar. Mungkin itu karena raut wajah si cowok utama yang kerap murung.
4. Tebak-tebakan Kecil yang Lumayan Menyentil
Kalau menganggap film ini akan bikin lo nangis, itu benar. Jika mengira Sakura ujung-ujungnya meninggal dan si cowok akan menelan kesedihan mendalam, itu juga benar. Yap, apa pun yang lo prediksi dari membaca sinopsis atau menonton cuplikan film ini, semua berjalan sesuai dengan apa yang lo bayangkan. Makanya, film ini memang ditujukan buat lo yang mau nangis.
Pertanyaannya, kapankah waktunya lo menangis? Seperti apa tangisan yang akan lo keluarkan? Setiap orang akan dapat jawabannya masing-masing ketika menyaksikan film ini dari awal hingga usai. Bisa jadi kesedihan yang lo rasakan berbeda dengan orang yang duduk di sebelah lo. Soalnya, dengan alur cerita yang tak perlu ditebak, film ini justru punya tebak-tebakan kecil yang bisa memacu derasnya air mata lo.
Tebak-tebakan pertama sudah jelas, yaitu kenapa "aku mau makan pankreas kamu". Tebak-tebakan kedua bisa jadi nama sesungguhnya dari sang protagonis. Mungkin perkara sepele, tapi nama si cowok jadi salah satu hal yang membuat Sakura tertarik dengannya. Sakura menganggap ada hubungan (seperti takdir) yang membuat dirinya bertemu dengan si cowok.
Masih ada sederet pertanyaan yang bakal muncul di kepala lo saat lo menonton film ini. Jawabannya pun akan lo temukan juga sesegera mungkin. Jadi, lo enggak akan termakan rasa penasaran tentang apa pun yang terjadi di setiap adegan.
Oh, iya. Film ini juga punya kejutan yang mungkin saja enggak lo sangka-sangka meski di sepanjang tayangan lo dikasih petunjuk-petunjuk ke arah situ. Lo mesti cukup peka dengan penggambaran situasi latar yang ditunjukkan baik lewat dialog para tokoh maupun hal lain. Yang jelas, saat semua terkuak, air mata lo akan meluncur di luar prediksi.
5. Rasa Simpati yang Dilematis
Seperti yang sudah disinggung di poin pertama, lo akan menganggap Sakura adalah cewek jahat atau si protagonis adalah cowok bodoh yang mau saja dibikin sakit hati dengan kenyataan pahit yang sudah jelas. Iya, Sakura, mah, enak, dia tinggal menerima ajalnya tanpa terbebani dengan pedihnya rasa kehilangan, lain hal dengan si cowok. Demi punya keberadaan penting di hidup si cowok, dia rela membuat si cowok tersebut tenggelam dalam kesedihan.
Sah-sah saja kalau berpikir demikian. Yang jelas, semua yang dilakukan oleh Sakura dan si protagonis bisa jadi juga kita lakukan kalau kita berada dalam posisi mereka. Justru, ada baiknya juga si cowok mengalami hal pahit tersebut di masa mudanya, bukan pas sudah dewasa dengan beban hidup yang lebih kompleks. Kalau keduanya sudah dewasa dan berpikir matang, tentu jalan ceritanya akan berbeda jauh.
Jadi, salah besar kalau menyalahkan jalan cerita. Soalnya, memang apa yang disampaikan dalam I Want to Eat Your Pancreas bukan sekadar keegoisan masa muda. Bisa dibilang, film ini juga masuk kategori coming-of-age karena benar-benar ngasih lo pembelajaran bagaimana menjalani masa remaja dengan segala ego yang masih meledak-ledak. Salah satunya adalah ketika kita dihadapkan dengan rasa kehilangan. Mau beberapa kali kita menghadapinya, di luar sepengetahuan kita atau enggak, tetap saja kita enggak akan terbiasa.
Di luar kepahitan yang dialami kedua tokoh utama, ada juga kisah manis yang ditampilkan. Misalnya saja ketika si protagonis meminta izin kepada ibunya Sakura untuk menangis di hadapannya. Atau, kehadiran tokoh-tokoh sampingan dengan durasi tampil yang begitu singkat tapi meninggalkan kesan mendalam lewat interaksi-interaksi dengan si protagonis.
***
Pesan buat lo yang mau menangis dengan menonton I Want to Eat Your Pancreas: nikmatin saja apa yang lo tonton. Enggak usah bawa-bawa referensi lain buat lo bandingkan kala masuk ke ruang bioskop. Kalau sudah nonton, kasih tahu, ya, bagaimana pengalaman menangis yang lo alami!