Dengan bujet lebih dari US$ 900 juta secara total, The Rings of Power adalah serial original andalan Amazon. Amazon Prime memang enggak main-main dalam menggarap serial yang satu ini. Sinematografi, casting, hingga promosi semuanya dilakukan secara total.
Di iklan YouTube, banner, bahkan transportasi umum di berbagai negara termasuk Indonesia, terpampang poster yang mengajak kita untuk menonton The Rings of Power.
Namun, sambutan masyarakat secara umum sebetulnya enggak mencapai target yang diinginkan –dilihat dari segi kritik–. Berbeda dengan pendahulunya, trilogi The Hobbit dan The Lord of the Rings, rating The Rings of Power secara keseluruhan (bukan per episode), terutama di IMDb, tidak mencapai 7. Bahkan, kritik betebaran di berbagai platform film dan blog.
Apa saja alasan dari flop-nya nilai serial The Rings of Power? Berikut adalah beberapa alasan yang dikemukakan oleh penonton baik dari platform kritik mau pun situs ulasan sinema.
Alasan mengapa The Rings of Power panen kritik
Penceritaan yang buruk
Forbes.com mengutip sebuah kalimat: not all the glitters are gold untuk menggambarkan The Rings of Power. Harus diakui bahwa set dan sinematografinya sangat megah. Namun, hal itu enggak diimbangi dengan penceritaan yang baik.
Jalinan ceritanya enggak menarik. Penulis dan sutradara seolah enggak bisa memilih mana adegan yang menarik atau membuat hal yang seharusnya menarik menjadi amazing. Penulis di Forbes bahkan menyayangkan adegan saat Galadriel di Númenor yang terlalu klise dengan penokohan lemah.
Setiap bagian cerita yang diwakilkan oleh tokoh-tokoh yang berbeda seolah enggak benar-benar bisa punya korelasi, sehingga membuat penonton bingung mau dibawa ke mana cerita ini.
Enggak setia dengan premis
Ada begitu banyak kritik yang diberikan di forum Reddit terkait serial ini. Salah satu kritik yang mendapatkan banyak jempol adalah kritik dari RaultheGhoul. Raul menyebutkan bahwa ada banyak hal dalam serial besutan J.Y. Bayona ini yang enggak setia sama premis J.R.R. Tolkien.
Yang pertama adalah perang Elf pada pembuka cerita. Dalam perang ini, gerak-gerik Elf terlihat kasar, enggak gemulai, dan hal itu seharusnya enggak terjadi. Sebuah prekuel sebaiknya enggak harus sok mendobrak aturan dari cerita asli. Ia harus menghormati kisah yang sesudahnya.
Hal kontroversial lain terlihat pada Disa yang wajahnya bersih tanpa janggut. Dalam The War of the Jewels – (Part Two) The Later Quenta Silmarillion: XIII Concerning the Dwarves, disebutkan bahwa kurcaci perempuan memiliki janggut. Namun, hal ini masih menjadi perdebatan karena entah para perempuan ini memang lahir dengan janggut atau mereka berpura-pura punya janggut saat pergi ke luar.
Pada film-film sebelumnya, referensi tentang perempuan kurcaci hanya ada di dalam cerita Gimli tentang perempuan kurcaci yang memiliki janggut.
Kostum yang enggak fungsional
Kita harus mengacungkan jempol pada divisi kostum trilogi The Hobbit dan The Lord of the Rings. Penggunaan kostumnya terlihat pas dan bercerita. Tanpa harus dinarasikan, kita bakal tahu karakter dan budaya masing-masing ras dalam dunia Tolkien.
Bagaimana dengan The Rings of Power? Kostum para Hobbit Harfoots sedikit dipertanyakan. Hobbit adalah makhluk-makhluk pertanian dan perkebunan, dekat dengan alam.
Namun, penggambaran Nori, keluarga, dan kawan-kawannya terlalu lusuh. Menurut Screenrant, hal ini terlihat enggak alami dan dibuat-buat. Padahal, bisa saja Nori dan hobbit lain digambarkan sederhana tanpa harus diberi aksen kotoran atau debu bak Radagast The Hobbit.
Kesalahan budaya yang kecil, tetapi fatal
Kualitas sebuah film terlihat dari bagaimana ia setia kepada premisnya. Hal inilah yang beberapa kali enggak dipatuhi serial The Rings of Power. Salah satu kejanggalan ditemukan oleh Redditor Ashamed_Willow_4724 dalam adegan di Khazad-Dum.
Durin menyebut pencipta mereka dengan sebutan Aulë. Ya, Aulë adalah pencipta para kurcaci. Namun, nama Aulë sendiri adalah sebutan Quenya. Dalam bahasa kurcaci, ia disebut Mahal.
Durin menyebut nama penciptanya dengan sebutan Aulë. Ini sesuatu yang janggal karena mengapa kurcaci yang cenderung agak berselisih dengan Elf justru menyebut penciptanya dengan sebutan dari bahasa yang dipakai Elf? Sudah seharusnya mereka menyebut Aulë dengan Mahal, bahasa kurcaci yang selalu mereka pakai dan mereka banggakan.
Kehilangan nyawa Tolkien dan karakternya menyebalkan
Semua adaptasi karya Tolkien sudah seharusnya mengikuti apa yang dituliskan oleh Tolkien. Namun, ini enggak dilakukan (atau enggak disadari) oleh pembuat The Rings of Power. Pengguna bernama samaran Twillbox, dalam IMDb menyebutkan bahwa semua Elf di serial ini enggak menggambarkan Elf yang seharusnya tenang, bijak, dan lebih berpengetahuan karena mereka hidup abadi.
Karakter-karakter di sana juga terlihat kurang mature dan menyebalkan sebagai orang dewasa. Argumentasi mereka mentah, membosankan saat ditonton. Selain itu, pergantian tiap adegan terlalu cepat, seperti memberikan efek hypervisual. Ini adalah penyakit film-film modern yang ingin mencoba membuat penonton terlalu fokus pada film atau serial. Alih-alih berkelas, teknik ini enggak baik buat mata dan fokus.
***
Begitu banyak kritik yang diberikan oleh berbagai pihak terkait The Rings of Power. Mungkin, kritik-kritik ini bisa dijadikan pegangan jika ada rencana pembuatan musim tayang dua, atau jika ada pihak yang mau mengadaptasi karya Tolkien lagi.