Enggak kerasa udah 13 tahun sejak film layar lebar yang nyeritain si pengacara buta, Daredevil, ditayangkan. Tentu kita yang nonton film itu, setiap kali dengar lagi nama Daredevil disebut, bakal keingetan sama Ben Affleck. Ben merupakan aktor yang dipercaya memainkan tokoh pengacara buta ini. Sudah 13 tahun, dan masih berlanjut kita percaya kalau Ben adalah Daredevil.
Lalu tahun kemarin, berkat kerja sama Marvel Cinematic Universe dan Netflix, terwujudlah sosok baru yang tampil sebagai Daredevil. Seperti ingin menyegarkan ingatan kita bareng-bareng, Marvel dan Netflix seakan mau berkata kalau Daredevil belum setua Ben yang sudah bisa main jadi pensiunan Batman di rumah produksi sebelah. Dalam serialnya, Daredevil dimainkan oleh Charlie Cox.
Jadi apa yang bikin beda antara yang dulu dan sekarang? Keduanya toh dari buku komik buatan Stan Lee juga. Lo yang senang dengan tokoh Matt Murdock ini pasti akan suka dengan serialnya. Meski enggak bisa dimungkiri, versi filmnya juga sangat berkesan dari dulu sampai kini.
Ada juga yang nganggap kalau Daredevil versi layar lebar itu masuk film gagal Marvel. Sebab toh enggak ada kelanjutan filmnya sampai kini. Marvel kayak enggak mau bikin sekuel atau kisah selanjutnya dari Daredevil. Di luar itu, memang banyak improvisasi yang dilakukan oleh Goddard ketika membuat serial ini.
Kalian tentu enggak mau terus-terusan dibohongi sama Ben kan? Misalnya, ketika dia berakting kesakitan yang terlihat sangat dipaksa. Apa boleh buat, Ben tampaknya salah satu aktor yang malas melakukan adegan-adegan bahaya. Makanya, hampir di seluruh adegan pertarungan dalam film itu dilakukan sama stuntman.
Enggak begitu dengan Daredevil versi serial televisinya. Charlie tampak sangat bersusah payah untuk memainkan adegan-adegan berbahaya. Viki salut dan sangat mengapresiasi tindakan atau keputusan Charlie untuk melakukan sendiri adegan-adegan berbahaya itu.
Itu baru soal tokoh utama saja. Pemeran pembantu dalam serial ini pun punya kelebihan masing-masing. Untuk yang ini, Goddard lagi-lagi sangat serius mencari para pemain itu. D’Onofrio yang memerankan Wilson Fisk terlihat sangat luwes berperan. Sama seperti Charlie yang kayak buta beneran karena saking apiknya memerankan tokoh ini, D’Onofrio begitu juga. Dia menciptakan aura yang benar-benar mencekam saat menjadi Fisk. Sama seperti ketika kita melihat Heath Ledger sebagai Joker dalam trilogi Batman buatan Christopher Nolan.
Soal cerita, lebih menarik lagi ternyata. Serial Daredevil lebih ngelihatin sisi manusiawi dari Matt Murdock. Enggak kayak di filmnya yang kesannya sangat kuat. Di serial tersebut Daredevil bisa kalah dan bisa terluka. Ia harus berkali-kali diobati dan dijahit lukanya. Sisi ini didukung dengan cerita bahwa Matt harus tekun berlatih selama bertahun-tahun di dalam gymnasium milik sang ayah sebelum akhirnya ia mampu menajamkan pendengarannya sehingga seakan-akan bisa melihat dan fisiknya juga menjadi kuat.
Untuk penglihatan sonar layaknya kelelawar, dalam serial dan filmnya memang keduanya memiliki sonar yang terhubung sama kuping. Jadi seakan-akan dia bisa melihat musuhnya. Namun, dalam serialnya terlihat lebih hidup. Perkara teknologi sih kalau ini. Enggak heran kalau sensor sonar yang dimiliki Charlie lebih keren ketimbang milik Ben.
Tapi untungnya, keduanya ngasih lihat latar hidup Matt. Dengan latar hidup dari cerita di film, jika digabung dengan kisah di serial, akan semakin jelas masa lalu Daredevil. Dulu kita cuma tahu Matt sebagai laki-laki biasa saja yang pandai merayu dan punya kemampuan memilih pasangan dengan sangat baik. Matt versi Affleck juga diperlihatkan sangat karismatik dan lembut kepada wanita. Sementara, versi Charlie diperlihatkan lebih periang dan bersahabat. Namun, secara emosional Matt versi Charlie lebih dingin.
Namun, secara umum yang benar-benar membedakan dua film Daredevil ini adalah soal nuansa. Meskipun nuansa gelap sebenarnya sangat mendukung aksi-aksi brutal dalam serial televisinya, tapi ternyata nuansa ini enggak selalu menyenangkan dilihat. Kadang-kadang kita butuh nuansa yang romantis dan hangat seperti dalam film layar lebar buat istirahat dari kepenatan Hell’s Kitchen.
Dari segala hal di dua film itu, yang paling Viki suka adalah persahabatan. Dua-duanya memiliki nuansa persahabatan yang kuat dan mendalam. Namun, versi serialnya akan lebih seru ditonton kayaknya. Kenapa begitu? Gampangnya karena serial ini memiliki cerita yang lebih mendalam daripada versi film layar lebar. Bisa dibilang, kisah superhero versi serial bakal ngelahirin hal-hal baru yang bakal menambah wawasan kita sebagai pecinta komik.