Review Serial Bodies

Review Serial Bodies (2023)

Review Serial Bodies (2023)
Genre
  • fiksi ilmiah
Actors
  • Amaka Okafor
Director
  • Amaka Okafor
  • Kyle Soller
  • Stephen Graham
Release Date
  • 19 October 2023
Rating
4 / 5

Bodies lahir dari tangan dingin kreator, Paul Tomalin. Anda mungkin mengingat namanya dari serial Shameless yang mengudara pada tahun 2009 (kembali ditayangkan di Netflix). Paul mengadaptasi 8 jilid novel grafis karya Si Spencer menjadi 8 episode dari serial terbatas yang mencampurbaurkan fiksi ilmiah dan misteri pembunuhan.

Serial Bodies mengedepankan 4 karakter detektif menarik dari 4 masa berbeda. Masing-masing diperankan oleh Kyle Soller (Andor), Jacob Fortune-Lloyd (See How They Run), Amaka Okafor (Greatest Days) dan Shira Haas (Unorthodox). Juga terselip penampilan khusus dari Greta Scacchi (peraih Primetime Emmy dari miniseri Rasputin) dan Stephen Graham (nominasi 8 BAFTA Awards).

Serial terbatas ini ditayangkan secara perdana di Netflix pada 19 Oktober 2023.

Review serial Bodies (2023)

Perjalanan melintasi waktu, pembunuhan berulang dan penghormatan kepada David Deutsch

Tahun 2019. Film Avengers: Endgame dirilis dan tak disangka memberi penghormatan besar kepada ahli fisika kuantum asal Inggris dari Universitas Oxford, David Deutsch.

Dialog berikut yang meluncur dari mulut Tony Stark bisa jadi tak termasuk salah satu dialog yang memorable bagi penonton. “Quantum fluctuation messes with the Planck scale, which then triggers the Deutsch Proposition. Can we agree on that?”

Ketika dialog ini pun meluncur, kita hanya bisa menyaksikan Steve Rogers, Scott Lang dan Natasha Romanoff terpaku. Tapi penulis buku The Fabric of Reality dan The Beginning of Infinity itu justru merasa dihargai oleh dialog tersebut. “I’m honored to have been mentioned by Tony Stark. Since I now exist in the canonical Marvel universe, I have now officially become a comic book character, “ sebagaimana dikutip dari The Ringer.

Empat tahun setelahnya, masih dalam percakapan tentang perjalanan melintasi waktu (time-travel), nama David Deutsch kembali mendapat penghormatan. Kali ini dalam serial terbatas 8 episode berjudul Bodies yang tayang di Netflix.

Berlatar waktu 30 tahun dari hari ini, tepatnya di tahun 2053, di salah satu adegannya ilmuwan Gabriel Defoe menyebut Deutsch Particle sebagai “partikel dengan singularitas telanjang menciptakan dua partikel yang maju dan mundur dalam waktu secara bersamaan.” Dan partikel ini menjadi semacam bahan baku utama dari mesin waktu yang diberi nama The Throat.

Adaptasi radikal dari novel grafis ke serial 

Bodies diadaptasi dari novel grafis delapan jilid terbitan DC Vertigo yang dipublikasikan pada tahun 2014 – 2015. Novel grafis ini mencengangkan karena membawa premis maha menarik: empat mayat yang sama dengan luka tembak yang sama ditemukan di jalan yang sama namun dalam empat waktu yang berbeda masing-masing tahun 1890, 1941, 2023 dan 2053. Bagaimana mungkin hal ini terjadi?

Meski masih setia pada plot utama dari komik yang ditulis almarhum Si Spencer tersebut namun Bodies juga memberanikan diri melakukan sejumlah perubahan radikal. Hasilnya memang masih mencengangkan, masih membuat penonton super penasaran namun juga sesekali membuat sebagian penonton kebingungan.

Dalam versi novelnya, sesungguhnya mayat ditemukan pada masa yang lebih jauh dari yang digambarkan pada serialnya. Dalam salah satu jilidnya, Shahara Hasan mengidentifikasi mayat yang tersimpan dalam rawa gambut yang usianya diperkirakan tak kurang dari 3000 tahun.

Sementara salah satu sosok detektif, Charles Whiteman, digambarkan jauh lebih manusiawi ketimbang versi novelnya. Meski menjadi satu-satunya detektif paling tak simpatik karena karakternya yang tak takut melanggar hukum untuk mendapatkan apapun yang diinginkannya, Charles lantas digambarkan melunak ketika mencoba terkoneksi dengan Esther yang diselamatkannya. Bahkan dalam versi serialnya, Charles bisa jadi adalah satu-satunya detektif dengan transformasi karakter terbesar.

Yang paling radikal dilakukan oleh serialnya adalah menghadirkan karakter bernama Elias Mannix yang punya peran penting dalam perjalanan pengungkapan kasus pembunuhan berulang terulang. Namun anehnya dalam novelnya sendiri justru karakter tersebut sama sekali tidak ada. 

Perjalanan melintasi waktu versus pembunuhan berulang

Isu time-travel menjadi terasa segar dan menarik ketika digabungkan dengan kisah misteri pembunuhan. Kita melihat bagaimana 4 detektif dari 4 era yang berbeda mencoba membongkar pembunuhan misterius ini dengan metodenya masing-masing. Di tahun 1890, kita akan bertemu dengan Alfred Hillinghead, seorang pria yang penyelidikannya membawanya pada kebenaran yang tidak menyenangkan tentang seksualitasnya sendiri.

Seiring bom Jerman yang berjatuhan mengotori London pada tahun 1941, Charles Whiteman menemukan dirinya terjebak dengan mayat itu dan berhadapan dengan anti semitisme. Di tahun 2023, Shahara Hasan menghadapi tantangan sebagai detektif perempuan Muslim di tengah masyarakat London yang masih banyak yang rasis dan anti Islam.

Dalam bagian paling menarik dari Bodies ini, seiring dengan penyelidikannya justru membuatnya terjerumus ke dalam ancaman serangan teroris besar-besaran dan pada akhirnya menghubungkannya ke dalam lingkaran perjalanan waktu. Di tahun 2053, Iris Maplewood, seorang detektif lumpuh yang bisa berfungsi dan berjalan normal berkat sistem cybertronic, SPYNE, mencoba memecahkan kasus misterius ini yang ternyata ada hubungannya dengan sang komandan yang sangat dihormatinya.

Hal yang menarik dari Bodies adalah meski menggunakan time-travel sebagai perekat dari peristiwa pembunuhan berulang, serial ini justru mencoba menghindar dari klise tentang film/serial/miniseri tentang perjalanan melintasi waktu yang seringkali memusingkan. Bahkan dalam satu adegan, seorang karakter secara eksplisit menyebutkan di mana posisi Bodies berdiri soal time-travel. “There is no science yet to explain what it is.” Maka meski banyak menyebut referensi dalam dialog tentang fisika, gravitasi kuantum, materi gelap hingga singularitas telanjang, Bodies secara tegas membuat pengecualian untuk dirinya sendiri.

Detektif perempuan muslim dan terorisme 

Masih terbilang jarang film/serial/miniseri impor yang menempatkan sosok detektif perempuan Muslim sebagai tokoh utama. Dan bisa jadi visi Si Spencer lah yang membuat karakter Shahara Hasan menjadi karakter paling menarik dalam Bodies. Dengan mengenakan hijab, Shahara bisa tampil penuh kasih di hadapan ayah dan putra semata wayangnya dan tetap bisa tampil garang sekaligus simpatik ketika menjalankan tugasnya sebagai seorang detektif.

Dalam sebuah adegan, ia tampak gamang ketika bertemu seorang Muslim lainnya yang disangka teroris. Dan ia menggunakan identitasnya sebagai Muslim untuk mendekati kakak dari si tersangka. Sialnya justru terjadi peristiwa yang tak pernah dibayangkannya yang kelak justru membuat sang kakak tersangka menyalahkannya.

Dengan latar belakangnya sebagai seorang Muslim, Shahara memperlihatkan bagaimana kepercayaannya sama sekali tak mengganggu performanya bekerja. Ia justru menjadi representasi yang diharapkan dari seorang perempuan Muslim di televisi: penuh kasih sekaligus tangguh dan bisa diandalkan. 

Sosok detektif yang mewakili minoritas

Selain Shahara, tiga karakter detektif lainnya juga digambarkan punya latar belakang menarik dan punya kesamaan: dianggap mewakili minoritas. Alfred yang hidup di tahun 1890 harus hidup dalam kepura-puraan dan menyembunyikan identitas sebenarnya sebagai seorang homoseksual yang bisa membuatnya dipenjara.

Charles Whitmen yang hidup di tahun 1941 digambarkan sebagai seorang Yahudi yang justru berada di tengah gelombang anti semitisme baik di lingkungan kerjanya maupun di kotanya sendiri. Sementara Iris Maplewood yang hidup di tahun 2053 adalah seorang penyandang disabilitas. Dengan kekayaan karakter sedemikian rupa membuat Bodies bisa jadi adalah salah satu serial yang merayakan minoritas dengan berani.

Berbeda dengan serial Dark (juga tayang di Netflix) yang mengusung tema cerita dan pendekatan yang mirip, Bodies cenderung lebih mudah diikuti. Delapan episodenya bercerita cukup lancar, dengan lompatan-lompatan cerita yang masih tersinkronisasi dengan baik.

Tali penghubung antara pembunuhan berulang dalam empat era berbeda pun masih mudah diidentifikasi oleh penonton dan membuat kita tak sekedar nyaman mengikutinya namun juga mencandunya hingga episode akhir. Pendekatan editing yang seringkali berjalan simultan dalam era yang berbeda (melalui split screen) juga mempermudah penonton mencoba memperkirakan kesamaan demi kesamaan yang bisa ditemukan dari pembunuhan berulang itu. 

Meski mengusung isu yang cukup berat, toh Bodies tetap menarik perhatian jutaan penonton Netflix. Bisa menjadi contoh bagi kreator lokal seperti saya untuk selalu percaya pada kekuatan cerita. Tanpa pemain bintang toh Bodies bisa tampil cemerlang dengan sinarnya sendiri. Saya percaya penonton kita sudah siap menyaksikan film/serial/miniseri fiksi ilmiah yang digarap serius, dengan skenario matang, karakter-karakter utama yang menarik dan tentu saja dengan penyajian yang meyakinkan. 

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.