*Spoiler Alert: Artikel ini mengandung bocoran cerita yang bisa saja mengganggu kalian yang belum nonton.
Di sebuah bar, Danny (Anthony Mackie) mendatangi, merayu, dan mentraktir seorang perempuan minum. Enggak lama, pria lain bernama Karl (Yahya Abdul-Mateen II) datang bersama seorang gadis bernama Daisy. Karl yang merupakan sahabat sekaligus teman sekamar Danny mengenalkannya kepada Theo (Nicole Beharie), gadis yang diajak bicara oleh Danny sedari tadi.
Danny dan Karl berbagi hobi yang sama, yaitu bermain video game. Terbangun pada tengah malam, mereka memainkan game berjudul Striking Vipers dan berbagi keseruan sebelum Theo terbangun karena keributan mereka. Itulah pembuka yang cukup bersahabat dari episode pertama Black Mirror season 5, “Striking Vipers”.
11 tahun kemudian, Danny merayakan ulang tahun ke-38 bersama Theo, anaknya, dan para tamu. Karl datang membawa hadiah ulang tahun yang membangkitkan nostalgia. Video game lama favorit mereka hadir kembali dalam bentuk remastered yang bisa dinikmati menggunakan teknologi realitas virtual atau VR.
Malamnya, Danny mencoba bermain bersama Karl, merasakan teknologi VR yang mirip dengan teknologi yang ada di “USS Callister”. Mereka enggak hanya bisa merasakan berada di dalam video game, tetapi juga merasakan semua kontak fisik yang terjadi.
Pukulan, tendangan, pergulatan yang terjadi, semua terasa nyata. Dalam video game yang agaknya terinspirasi dari Street Fighters ini, Danny memilih karakter Lance (karakter laki-laki yang mirip Ryu), sedangkan Karl memilih karakter perempuan, Roxette (yang mungkin terinspirasi dari Chun-Li).
Merasakan betapa nyatanya sensasi fisik yang bisa dirasakan, keduanya semakin antusias. Mereka bertarung, bergumul, sampai pada akhirnya enggak bisa menahan hasrat untuk mencicipi bibir masing-masing.
Danny segera menyadari ada yang salah dan meminta keluar dari game. Namun, keduanya sama-sama enggak bisa menampik gairah yang dirasakan. Entahlah yang mereka rasakan adalah sensasi role playing atau hanya kepuasan seksual biasa.
Sayangnya, ternyata sensasi yang mereka rasakan itu bikin ketagihan. Entah berapa kali mereka bermain, berkali-kali itu pula mereka selalu melampiaskan hasrat seksual dalam game, dengan Karl menggunakan Roxette dan Danny menggunakan Lance. Terlebih, bagi Karl, dia enggak cuma merasakan kepuasan seksual biasa, melainkan kepuasan seksual dari perspektif perempuan.
Semuanya baik-baik saja sampai Danny merayakan ulang tahun pernikahannya dengan Theo. Mereka memang sudah sejak lama berencana memiliki anak lagi. Namun, karena asyik mengeksplorasi intimasi dalam video game dengan karakter yang dimainkannya, Danny mulai kehilangan selera dengan Theo. Hal ini membuat Theo curiga dan minder.
Drama dimulai. Enggak ingin Theo merasa demikian, Danny membuat keputusan besar. Danny enggak menceritakan soal pengalaman seksualitasnya dalam video game bersama Karl. Dia hanya menyimpan video game itu dan memutuskan enggak memainkannya lagi bersama Karl.
Hubungan Danny dan Theo membaik. Tujuh bulan kemudian, mereka punya anak yang diimpikan. Namun, Karl merasa ada sesuatu yang hilang. Dia terlihat berantakan, enggak terurus. Yang ada di pikirannya mungkin cuma mengulang masa-masa indahnya bersama Danny di video game.
Tanpa mengetahui bahwa ada masalah antara Danny dan Karl, Theo mengundang Karl ke acara ulang tahun Danny. Danny cukup waspada dan memastikan Karl sudah mengakhiri semuanya. Nyatanya, Karl masih mencari kekosongan yang bakal bisa diisi dengan mereka bermain game bersama lagi. Danny merasa harus ada penyelesaian, memastikan semuanya, termasuk apakah mereka “normal”.
Setelah melakukan hubungan yang panas dalam video game, Danny merasa harus memastikan secara langsung, di dunia nyata. Tentu mereka merasa ada yang enggak beres saat berciuman sebagai sesama laki-laki. Karl bersikeras bahwa sensasi dalam game berbeda. Mereka pun terlibat perkelahian yang akhirnya diketahui Theo.
Menyoroti teknologi realitas virtual atau VR dalam video game, “Striking Vipers” coba membuyarkan batasan seksualitas yang enggak bisa diatur hanya dengan gender atau jenis kelamin. Dominasi, kontrol, dan penerimaan yang bisa dirasakan bakal berbeda, bergantung pada perspektif seseorang.
“Striking Vipers” memberikan pengalaman personal yang mungkin hanyalah perkara perspektif. Kegilaan dan ketagihan akan video game—mungkin juga video porno—bisa terlihat dalam episode ini: bagi si A membawa hikmah, bagi si B membawa sengsara. Meski enggak punya akhir yang manis dan membahagiakan kayak “San Junipero”, episode ini menunjukkan bahwa kedewasaan membawa sebuah hubungan menjadi kemenangan bagi semua pihak.
“Striking Vipers” enggak seperti episode Black Mirror lainnya yang biasanya berakhir dengan mimpi buruk. Seakan, kita diberi pesan bahwa teknologi bisa mendukung pengguna bila diiringi dengan pengertian. Enggak ada yang harus terjebak dalam kesadaran digital lalu menemui kematian yang enggak mengenakkan.
Nah, apakah kalian sudah menonton episode pertama Black Mirror season 5? Apa tanggapan kalian? Bahas di kolom komentar, ya!
Oh ya, biar lengkap, baca recap episode 2 Black Mirror season 5 di sini, ya.