Buat penggemar komik, nama The Sandman tentunya sudah tak asing lagi di telinga. Komik milik DC yang pertama kali rilis pada 1989 ini memang menjadi salah satu komik terpopuler yang begitu digemari. Berkisah tentang Morpheus, sang Raja Mimpi, komik karya Neil Gaiman ini sukses meraih berbagai kritik positif dan bahkan masuk ke dalam daftar “Top 100 Bacaan Terbaik” versi Entertainment Weekly.
Enggak heran kalau serial The Sandman produksi Netflix ini jadi salah satu serial yang paling dinantikan tahun ini. Kental dengan nuansa gelap, karakter gotik, dan dunia fantasi yang diangkat dari mitologi, serial orisinal Netflix ini pun langsung memukau para penonton dan penggemarnya melalui 11 epiosde di musim pertamanya. The Sandman pun sukses menduduki top 10 serial terpopuler Netflix sejak rilis pada 5 Agustus 2022.
Nah, buat kamu yang tertarik dengan serial yang dibintangi Tom Sturridge ini, langsung saja simak fakta menarik di balik serial The Sandman berikut ini!
Fakta menarik The Sandman, serial DC terpopuler Netflix
1. Digarap dari kombinasi 16 komik pertama dari seri The Sandman karya Neil Gaiman
Serial adaptasi The Sandman didominasi oleh ulasan positif dari para kritikus. Dengan skor 86% versi Rotten Tomatoes dan 7.8 versi IMDb, The Sandman dinilai sukses membawakan fantasi Gaiman dari komik ke layar. Dengan visual estetik, nuansa gelap yang khas, serta penulisan yang baik, The Sandman pun menjadi salah satu serial adaptasi komik terbaik saat ini. Enggak mengherankan, soalnya sang penulis komik pun mengambil bagian yang cukup besar dalam proses pembuatan serial orisinal Netflix tersebut.
The Sandman menggabungkan elemen-elemen dari 16 buku pertama dalam seri komik karya Gaiman. Memang ada beberapa perubahan dari komik aslinya, seperti perubahan gender Lucifer yang menjadi perempuan meski di komiknya merupakan laki-laki. Namun, hampir seluruh jalan cerita benar-benar membawakan dua volume pertama komik tersebut ke dalam bentuk serial dengan baik.
2. Selama 32 tahun, Neil Gaiman berusaha mencegah dibuatnya adaptasi The Sandman yang buruk
Sebagai kreator, Neil Gaiman sangat protektif dengan The Sandman. Dia enggak ingin ada adaptasi yang buruk dari karyanya yang telah menjadi favorit banyak orang tersebut. Sejak rilis pada 1989, Hollywood sudah berkali-kali mencoba untuk mengadaptasinya, baik ke dalam serial maupun film.
Namun, setelah membaca naskahnya, Gaiman selalu menolaknya. Salah satu naskah terburuk yang pernah Gaiman baca adalah naskah garapan William Farmer yang menampilkan Morpheus sebagai villain yang juga menjadi saudara dari Lucifer.
Selama 32 tahun, Gaiman merasa enggak ada versi yang tepat untuk membawakan karyanya ini ke dalam bentuk live action. Selain karena teknologi yang dulu masih kurang memadai, ada banyak juga tantangan yang dihadapi terkait proses kreatif dan konflik jadwal.
Hingga terakhir, pada 2020 The Sandman akhirnya diangkat ke dalam bentuk audio book dengan James McAvoy sebagai pengisi suara Morpheus. Mendapat berbagai ulasan positif, The Sandman pun kini digarap menjadi serial.
Dengan format yang lebih panjang dan bujet yang cukup besar untuk memanfaatkan efek spesial, Gaiman merasa adaptasi Netflix ini telah memenuhi standar dalam benaknya.
“Secara teknologi, saya merasa kita berada di masa-masa di mana Sandman bisa dibuat dengan efek luar biasa yang bahkan enggak bisa terpikirkan pada 15 atau 10 tahun lalu,” ujar sang kreator.
Kini, Gaiman pun merasa sangat senang melihat karyanya dapat diadaptasi menjadi serial yang memuaskan.
3. Lebih dari 1500 audisi, proses casting Morpheus begitu panjang, serius, dan melelahkan
Sebagai karakter utama dan terfavorit, proses casting untuk mencari aktor yang tepat dalam memerankan Morpheus alias Dream of The Endless ini memang begitu sulit. Dalam wawancaranya bersama Entertainment Weekly, Gaiman mengatakan bahwa dirinya sudah melihat lebih dari 1500 audisi untuk karakter Morpheus sendiri.
Enggak ada proses casting yang dipersingkat karena para kreator ingin benar-benar mendapatkan aktor yang tepat untuk karakter tersebut. Selain begitu serius dan melelahkan, proses ini semakin diperlambat karena dihadang oleh pandemi COVID-19.
Namun, setelah melihat banyaknya audisi untuk Morpheus, Gaiman merasa sangat percaya diri ketika melihat Tom Sturridge. Aktor peraih nominasi Tony Awards ini pun pada akhirnya sukses memerankan karakter Morpheus dalam serial adaptasi Netflix tersebut.
4. Tom Sturridge sendiri merupakan penggemar karakter Sandman
Meski harus menjalani proses casting yang panjang dan memakan waktu hingga delapan bulan, Tom Sturridge enggak pernah mengeluh. Menurutnya, seluruh proses tersebut penting dan memang enggak bisa dihindari. “Karena karakter ini benar-benar dicintai oleh semua orang. Hal ini membuatku harus meluangkan waktu untuk mendalami karakter tersebut,” ujar aktor asal Inggris ini.
Selain mengubah fisik wujud tubuhnya agar lebih kurus, tetapi tetap berotot agar menyerupai Sandman versi komik, Sturridge juga mempersiapkan mental dan emosionalnya. Dia enggak ingin membuat para penggemar kecewa dan berusaha untuk melewati ekspektasi mereka. “Ini merupakan sebuah keuntungan, menyalurkan rasa takut tersebut menjadi fokus untuk berusaha semaksimal mungkin,” cerita Sturridge.
Sejak muda, karakter Sandman memang menjadi salah satu favoritnya. “Bahkan nama Morpheus, sang Raja Mimpi ini seperti menghantuiku di masa mudaku,” tambahnya. Dalam proses casting dan produksi, Sturridge pun semakin jatuh cinta dengan karakter yang diperankannya tersebut.
Salah satu hal yang menjadi favoritnya adalah bagaimana Morpheus selalu memiliki dialog yang detail dengan pilihan kata-kata yang spesifik. Sturridge pun mengaku hal inilah yang membuatnya begitu terobsesi dengan sang Raja Mimpi.
5. Enggak sepenuhnya CGI, dunia dalam The Sandman banyak melibatkan set dan properti asli
Menggabungkan unsur fantasi dengan mitologi, produksi serial The Sandman tentunya enggak bisa lepas dari teknologi CGI. Namun, enggak sepenuhnya elemen tersebut merupakan efek CGI.
Desainer produksi Jon Gary Steele mengungkapkan bahwa dia dan timnya membuat set properti asli.. Misalnya, ruang takhta Desire (Mason Alexander Park) dan ruang takhta Lucifer (Gwendoline Christie) yang dibuat asli dari awal, bukan hanya sekadar efek spesial tambahan.
6. Istilah “sleeping sickness” dalam The Sandman diangkat dari peristiwa epidemik nyata pada 1916
Dalam The Sandman, terjadi tragedi “sleeping sickness” ketika Morpheus terperangkap oleh mantra Roderick Burgess pada 1916. Absennya sang Raja Mimpi dari kerajaannya ini membuat sejumlah orang yang sedang tidur dan bermimpi jadi enggak bisa bangun lagi. Fenomena ini pun dalam serialnya disebut oleh para dokter sebagai penyakit Encephalitis Lethargica.
Namun, kejadian ini bukan hanya fiksi semata. Pada 1916, “sleeping sickness” ini memang benar-benar terjadi secara misterius. Bernama Encephalitis Lethargica, penyakit ini menyerang jutaan penduduk dan membuat korbannya seperti patung hidup: enggak bisa bicara dan bergerak. Setelah diteliti, penyakit ini enggak disebabkan oleh virus ataupun bakteri. Hingga kini, penyebab penyakit yang telah “terlupakan” tersebut masih menjadi misteri.
7. Mark Hamill setuju menjadi cameo karena dirinya adalah penggemar komik The Sandman
Masih ingat dengan karakter Mervyn Pumpkinhead? Meski hanya tampil sekilas, kru dari Kerajaan Mimpi milik Morpheus yang berkepala labu ini cukup ikonis. Ketika sang produser, Gaiman dan Allan Heinberg berdiskusi mengenai siapa aktor yang tepat untuk memerankan Merv, nama Mark Hamill sempat diusulkan.
Namun, mereka enggak yakin aktor legendaris pemeran Luke Skywalker dan pengisi suara Joker ini mau menjadi cameo untuk Merv. Namun, mereka salah. Ternyata, Mark Hamill adalah penggemar The Sandman sehingga dia dengan senang hati menjadi pengisi suara Mervyn Pumpkinhead.
***
Nah, itulah sejumlah fakta menarik terkait serial adaptasi komik DC berjudul sama karya Neil Gaiman ini. Di antara daftar tersebut, fakta manakah yang paling menarik menurutmu? Bagikan pendapatmu di bawah, ya! Jangan lupa ikuti terus KINCIR untuk informasi menarik seputar film atau serial lainnya.