Film adaptasi Death Note besutan Netflix yang udah ditunggu sejak lama akhirnya keluar juga. Sayang beribu sayang, bukannya memuaskan, Netflix malah bikin penggemar manga dan anime Death Note di seluruh dunia kecewa berat.
Ada banyak faktor yang bikin penggemar kecewa. Salah satunya adalah isu whitewashing yang kayaknya enggak bakal pernah selesai. Enggak cuma itu, film arahan sutradara Adam Wingard ini juga jadi antitesis dari semua yang dijabarin di versi manga dan animenya.
Nah, Viki bakal ulas hal-hal ngawur yang bikin Death Note versi Netflix jadi terlihat kacau. Pastinya, bakal ada banyak bocoran di dalam pembahasan ini. Jadi, kalau lo kekeuh nerusin baca, ya, tanggung sendiri risikonya, ya!
1. Tema Drama Remaja
Manga dan anime Death Note benar-benar digemari karena tema misterinya yang dalam. Lo bakal diajak berpikir keras buat memahami seluruh kisah yang ada. Meski kesannya berat banget, Death Note tetap enak dan menarik buat diikuti. Sayangnya, kesuksesan yang udah didapat Death Note versi asli enggak diikutin oleh versi Netflix.
Tema misteri yang jadi andalan justru diganti jadi tema drama remaja yang klise dan terlalu mainstream. Yap, sedikit bocoran buat yang belum nonton, Death Note versi Netflix adalah drama percintaan antara Light dan Mia (Misa). Tema drama remaja ini sukses besar bikin film ini jadi terasa dangkal. Jadi, buat penggemar misteri, siap-siap aja kecewa!
2. Upaya Setengah-setengah
Salah satu kesalahan paling fatal dari film ini adalah upayanya yang setengah hati. Dari awal, Netflix bilang bahwa film ini bakal berbeda dari versi manga atau pun animenya. Oke, hal itu bukan masalah. Asalkan, semua hal, terkecuali premisnya, benar-benar berbeda.
Kesamaan dalam perbedaan ini bisa lo lihat dari nama tokoh yang benar-benar sama. Nama Light, L, dan Ryuk sebenarnya amat mengganggu karena perbedaan karakteristik antara versi manga dan anime dengan versi Netflix. Viki bakal bahas hal ini di poin-poin berikutnya. Yang jelas, film ini berpotensi lebih baik andaikan Netflix benar-benar berani beda atau sekalian aja benar-benar sama dengan versi aslinya.
3. Light Jadi Cupu dan Bodoh
Penggemar Death Note atau pun manga dan anime lain pasti setuju bahwa Light Yagami adalah salah satu karakter villain di manga dan anime paling ikonis sepanjang masa. Dalam versi aslinya, Light digambarin sebagai cowok sempurna. Dia supercerdas, cool, idealis, tampan, jago olahraga pula. Selain itu, Death Note juga berhasil menggambarkan Light dengan sangat baik sehingga dia disukai banyak penggemar manga dan anime, khususnya cewek.
Nah, apa yang lo lihat? Light versi Netflix justru jadi antitesis dari Light Yagami. Light Turner adalah seorang cowok dangkal yang bodoh, cupu, korban risakan (bullying), dan rela ngelakuin hal apa pun demi cewek yang disukainya. Yap, Light versi Netflix bukan manfaatin cewek buat jadi pionnya, melainkan jadi korban manipulasi cewek psikopat.
4. Misa (Mia) yang Enggak Adorable
Ada alasan kenapa karakter Misa Amane tetap digemari meski berperan sebagai Kira kedua. Dia adalah cewek korban PHP seorang cowok yang terzalimi. Ini bikin karakternya dapat banyak simpati. Selain itu, kesetiaannya pada Light bikin cowok-cowok otaku jadi ngidam punya cewek kayak dia. Penampilannya yang kawaii ala idol Jepang juga bikin dia punya tempat tersendiri di hati cowok otaku.
Di versi Netflix, lo bakal mendapatkan karakter bernama Mia Sutton, seorang cewek rebel yang manipulatif dan sering bertindak seenaknya. Jangan berharap lo bakal ngelihat penampilannya yang adorable kayak Misa di versi manga dan anime. Yang tersaji di versi film adalah hal yang benar-benar berbeda.
5. L yang Lebay dan Emosional
Belum cukup dengan Light dan Mia, Netflix juga nekat buat ngubah karakteristik L. Viki enggak permasalahin perbedaan warna kulit karena semuanya bakal tetap relevan jika L versi manga/anime dan versi filmnya punya sifat dan karakteristik yang sama. Faktanya, L sama-sama punya penggemar tersendiri seperti Light lewat sikap absurdnya.
Di versi Netflix, L adalah seorang detektif yang enggak perhitungan, cengeng, panikan, lebay, emosional, dan narsis. Sedangkan, L versi manga/anime adalah kebalikannya. Kesamaannya hanya terdapat pada gaya duduk jongkok khas L yang disebutkan bisa meningkatkan daya analisisnya.
6. Ryuk yang Manipulatif
Banyak penggemar Death Note yang kecewa karena shinigami favorit mereka, Ryuk, hanya tampil singkat di film. Nyatanya, hal ini enggak masalah buat Viki karena Death Note memang kisah pertarungan antara L dan Light/Kira. Ryuk pun berusaha polos dan hanya ingin menikmati pertarungan antara dua orang ini meski beberapa kali sempat direpotin sama Light. Di versi Netflix, Ryuk adalah karakter yang berbeda. Perannya enggak lebih dari sosok iblis penggoda yang menginginkan hal buruk. Entah ini karena Ryuk yang jahat atau Light yang terlalu bodoh.
Penggambaran karakter Ryuk pun terlihat maksa. Harus diakui bahwa Willem Dafoe benar-benar cocok sebagai pengisi suara Ryuk. Sayangnya, secara visual, Viki agak terganggu dengan mata bersinar yang bikin Ryuk terlihat seperti monster dalam serial Power Ranger. Padahal, bakal lebih bagus jika Ryuk diperlihatkan secara penuh tanpa harus ditutupin bayangan.
7. Karakter Watari yang Enggak Logis
Penggemar Death Note pastinya tahu betul kalau Watari adalah salah satu karakter paling badass. Dia udah tua, tapi jago ngapain aja. Watari dalam film, bisa dibilang, lebih mirip pengawal dibanding tangan kanan karena badannya yang besar dan berotot.
Sebenarnya, enggak ada yang masalah dengan Watari versi Netflix. Sayangnya, ada yang enggak logis dan bikin Viki bertanya-tanya: kenapa Watari nama aslinya juga Watari? Kenapa dia enggak memakai nama palsu kayak L?
8. Singkat, Padat, tapi Enggak Jelas
Death Note adalah kisah sepanjang 12 seri manga dan dua season anime. Netflix dengan berani memadatkannya jadi sebuah film berdurasi 1 jam 40 menit. Terkadang, hal yang singkat dan padat bisa jadi baik kalau semuanya jelas. Sayangnya, film ini cuma bisa singkat dan padat. Film ini terlihat banget maksain menyingkat cerita Death Note yang benar-benar panjang dan mendetail.
Pemaksaan ini paling terlihat pada bagian awal. Di manganya aja, buat menceritakan asal-usul Light dan Death Note aja butuh satu buku. Sedangkan, di film cuma diceritain sepanjang 10 menit. Makanya, ada hal yang enggak logis dengan motivasi Light menggunakan Death Note.
Satu hal yang pasti, Death Note versi Netflix ini bisa jauh lebih baik kalau dibuat dalam format serial.
9. Adegan Gore yang Kosong
Everyone (not really) loves gore! Meski enggak termasuk penikmat adegan gore, Viki ngerasa Death Note versi Netflix PHP banget dan terkesan malas dengan adegan gore-nya. Sejak awal film, lo yang termasuk pencinta adegan gore bakal diberi harapan bahwa film ini gory abis kayak Final Destination. Sayangnya, setelah 10 menit lewat, impian lo bakal Death Note yang gory bakal sirna.
Adegan gore ini malah bikin Death Note versi Netflix terkesan malas dan terlalu mengandalkan adegan tersebut. Padahal, Death Note versi manga/anime enggak ngebawa unsur gory dan benar-benar mengandalkan intelegensi serta cerita yang cerdas.
10. Soundtrack yang Enggak Cocok
Seperti yang udah Viki bahas di ulasan Death Note, film ini tertular tren “soundtrack retro" yang jadi andalan beberapa film/serial, seperti Guardians of the Galaxy dan Stranger Things. Soundtrack ala 1980-an yang digunain buat film ini terkesan maksa dan enggak cocok.
***
Maaf, loh, Netflix. Kali ini, kalian gagal total dengan Death Note. Meski gagal, rasanya salah banget kalau kita pesimis sama Netflix. Memang, sih, buat urusan film panjang, Netflix belum begitu terbukti. Beda dengan serial orisinalnya yang udah terbukti keren dan epik. Coba aja Netflix bikin Death Note ini jadi serial. Tentu hasilnya bakal beda banget kayak sekarang.