Menguatkan eksistensi seks yang berlimpah dalam serial lokal tanpa menguatkan cerita tak lagi mampu menyuapi hasrat penonton Indonesia, pun tak meluluhkan lumrah dari stigma kolot masyarakat.
Pada mulanya seks dalam sinema Indonesia bisa jadi adalah cara dari sineas untuk berkelit dari represi Orde Baru. Banyak hal-hal yang bergemuruh di dada mereka dan tak bisa dimuntahkan melalui bahasa gambar dan suara. Maka mereka mencari cara untuk tetap berkreasi dan kukuh dengan tujuan untuk menghibur masyarakat.
Maka seks yang pada awalnya hanya sekedar bumbu di film Indonesia periode tahun 1950-1960-an menjadi tema utama dalam banyak film yang dirilis pada tahun 1970-an. Di tahun 1954 film berjudul Harimau Tjampa dirilis dan mempertontonkan aktris utamanya, Nurnaningsih, yang berani tampil nyaris bugil dalam sebuah adegan seks.
Dalam buku A to Z about Indonesian Film yang ditulis Ekky Imanjaya, Nurnaningsih pernah berujar bahwa kala itu ia bermaksud untuk mengubah sudut pandang masyarakat terhadap dunia seni. “Saya tidak akan memerosotkan kesenian, melainkan hendak melenyapkan pandangan-pandangan kolot yang masih terdapat dalam kesenian Indonesia,” ujarnya sebagaimana dikutip dari Liputan 6.
Di tahun 1970, sutradara Turino Djunaidy mengagetkan penggemar sinema dengan film yang mengumbar seks dan dialog kasar, keras dan terindikasi cabul dalam Bernafas Dalam Lumpur. Film berdurasi 117 menit tersebut bercerita tentang Supinah kemudian bernama Yanti (Suzzanna) terpaksa meninggalkan anaknya di kampung untuk mencari suaminya yang sudah lama berusaha di Jakarta.
Harapannya pupus setelah mengetahui bahwa suaminya sudah menikah lagi dan malah mengusirnya. Dalam keadaan terlunta-lunta, ia terperangkap dalam jaringan perdagangan wanita. Pertemuannya dengan Budiman (Rachmat Kartolo), anak orang kaya yang bertaruh dengan kawan-kawannya agar membawa pacar pada suatu pesta, adalah awal dari perubahan perjalanan hidup Supinah. Lewat liku-liku peristiwa yang dialami Supinah dan Budiman, akhirnya mereka menikah di kampung halaman Supinah.
Dalam soal berkelit dari gunting sensor yang tajam, Turino cerdik berkelit dengan mengandalkan adegan-adegan seks yang seringkali sarat simbolisasi. Berbeda dengan dialog-dialognya yang memang seakan dibuat untuk memprovokasi penonton.
Supinah: Ke mana?
Budiman: Ke mana baiknya?
Supinah: Terserah situ, sewa kamar ada yang Rp1.000 ada yang Rp2.000
Budiman: Haha, kau suka yang mana?
Supinah: Terserah situ, buat saya sama saja, pakainya cuma sebentar
Dialog-dialog yang disusun tersebut pun tak kalah cerdik karena masih menyisakan ruang untuk memberi komentar sosial pada apa yang terjadi di masa itu.
“Pernah aku mau berhenti jadi pelacur tapi mereka tetap tertawa. Lalu kapan mereka tidak lagi menertawakan perempuan-perempuan seperti aku? Sungguh munafik, orang-orang yang mencela maksiat tapi sembunyi-sembunyi makan taik di luar rumah.”
Eksistensi unsur seks dalam serial lokal
Teguh karya berkelit dari seks
Tapi meski seks mengharu biru dan menggulung layar film Indonesia di tahun 1970-an masih ada sineas yang mencoba berkelit darinya. Salah satunya adalah sutradara kampiun, Teguh Karya. Melalui Badai Pasti Berlalu, Teguh seakan menegaskan bahwa dirinya adalah anomali. Ia tak ingin larut dalam fenomena seks yang dianggap sebagian orang menjadi bumbu tak terpisahkan dalam film Indonesia.
Teguh mengadaptasi Badai Pasti Berlalu dari novel populer karya Marga T. Di tangannya, film tersebut lahir, sukses dan menjadi penanda jaman. Film tersebut meraih Piala Antemas Festival Film Indonesia tahun 1979 sebagai Film Indonesia Terlaris periode 1977-1978, juga beroleh 4 Piala Citra di Festival Film Indonesia 1977 untuk kategori Sinematografi Terbaik, Penyunting Gambar Terbaik, Tata Suara Terbaik dan Tata Musik Terbaik.
“Mari kita tidak berpikir mengembalikan film nasional tidak dengan seks. Saya membuat Badai Pasti Berlalu tanpa unsur seks dan kekerasan. Tetapi [bisa] diterima masyarakat,” kata Teguh Karya dikutip dari rekaman video wawancaranya di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada 4 November 2015 sebagaimana dikutip dari Fimela.
Untungnya memang karena Teguh tak mendengarkan apa kata sesama sutradara, Nyak Abbas Acup. Sutradara film Inem Pelayan Sexy itu justru bilang bahwa film seks dan sadisme pasti laku. “Umumnya laku. Filmnya Suzzanna tidak ada yang tidak laku, ujarnya sebagaimana dikutip dari Tempo. Untungnya memang setiap periode melahirkan anomalinya sendiri seperti Teguh. Tak terbayangkan jika setiap sutradara hanya mengikuti apa pasar dan membiarkan mekanisme pasar bekerja.
Disrupsi layanan streaming dan kebutuhan konten lokal
Meski film Indonesia masih berjaya di bioskop hingga hari ini, layanan streaming juga melakukan lompatan-lompatan pencapaian mengagumkan sejak pandemi 3 tahun silam. Ketika pandemi memaksa masyarakat untuk membatasi aktifitas dan melakukan banyak kegiatan di rumah, di situlah awal mula meledaknya layanan streaming.
Padahal layanan streaming sesungguhnya sudah menggejala di Indonesia sejak tahun 2016. Netflix membuka persentuhan Indonesia dengan dunia luar via layanan streaming disusul oleh masuknya Hooq dan iFlix. Hampir bersamaan dengan masuknya Netflix, layanan streaming lokal pertama di Indonesia, Genflix, memproklamirkan keberadaannya. Dan 3 tahun setelahnya barulah muncul Vidio yang berada di bawah naungan raksasa media, Emtek.
Layanan streaming telah menunjukkan peningkatan yang sangat tinggi di Indonesia dengan user penetration diproyeksikan mencapai 17.7% pada 2025, meningkat dari 4.7% pada tahun 2021. Hal inijuga diikuti dengan peningkatan pendapatan dari US$ 270 juta pada 2020 menjadi US$ 571 juta pada 2025 dengan proyeksi pertumbuhan pertahun sebesar 15.7% sebagaimana dikutip dari Digital Society.
Seiring dengan pertumbuhan pesat layanan streaming maka kebutuhan konten lokal pun meningkat dengan sendirinya. Sebagaimana dilaporkan Bisnis.com, lembaga riset Inventure-Alvara sempat melakukan survei terhadap 770 responden. Dikemukakan oleh Managing Partner Inventure, Yuswohadi, survei tersebut menemukan data bahwa 81,4% responden tertarik menonton konten lokal dan 80% responden tertarik berlangganan layanan streaming yang lebih banyak menyediakan konten lokal.
Senada dengan Yuswohadi, Executive Director Nielsen Indonesia, Hellen Katherina, mengungkapkan bahwa konten lokal lebih unggul di negara pasarnya. “Karena lokal konten ini lebih unggul daripada konten-konten yang luar dari negara pasarnya. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di negara lain, misalnya Korea hingga India, yang begitu banyak lokal kontennya,” ujar Hellen yang dikutip dari Sellular.id.
Maka menjadi wajar dengan melihat data-data tersebut, layanan streaming pun berlomba-lomba memproduksi konten lokal mulai dari film orisinal hingga serial. Semua genre dan tema pun dilahap yang menurut masing-masing layanan streaming potensial untuk disukai penonton termasuk film/serial orisinal yang berfokus pada tema seks.
Terinspirasi sukses film erotis 365 Days
Dengan belum adanya regulasi yang mengatur secara ketat mengenai konten yang tayang di layanan streaming memberi semacam kebebasan bagi penyedia konten untuk berkreasi. Tema-tema seks yang juga seringkali berkelindan dengan isu LGBT pun mulai merangsek ke layanan streaming.
Bisa jadi tema-tema seks mulai dimasukkan dan menjadi menu utama dalam sejumlah serial lokal terinspirasi dari suksesnya film 365 Days di layanan streaming Netflix. Film erotis berkualitas sangat buruk tersebut berjaya di banyak negara, yaitu Amerika Serikat, Jerman, Arab Saudi, Lithuania, Swiss, Belanda, Belgia, Turki, Swedia, Austria, Republik Ceko, Yunani, Romania, Afrika Selatan, Portugal, Pakistan, Bangladesh, India, Uni Emirat Arab, Inggris Raya, Kanada, Israel, Selandia Baru dan Malaysia.
Meski didera rating nol persen di agregator Rotten Tomatoes tak menghalangi penonton Netflix di seluruh dunia mengonsumsi adegan-adegan seks berlimpah dari dua karakter utamanya, Michele Morone (sebagai Massimo Toricelli) dan Anna-Maria Sieklucka (sebagai Laura Biel).
Jika sebelumnya sejumlah film terkesan malu-malu menampilkan adegan seks yang berjejalan di sepanjang durasinya, film 365 Days boleh dibilang melabrak semua pakem itu. Bahkan sedari awal tak tampak keinginan dari pembuatnya untuk menegaskan bahwa seks hanya bumbu dalam film tersebut.
Pembuat filmnya bahkan bangga menyebut 365 Days sebagai “film erotis”. Situs Magdalene bahkan memberi pernyataan kocak sekaligus menarik terkait film tersebut. “365 Days membuat adaptasi 50 Shades of Grey terlihat seperti salah satu episode Si Doel Anak Sekolahan. Kalau 50 Shades terasa malu-malu, 365 Days sama sekali tidak berminat untuk memberikan pencitraan bahwa dia adalah film serius.”
Dan setelahnya adegan-adegan seks berlimpah pun mulai bertaburan di sejumlah serial lokal yang tayang di hampir semua layanan streaming.
Sianida menjadi pembuka jalan bagi tema seks
Jika sebelumnya adegan seks dipertontonkan dan diawasi secara ketat penayangannya di bioskop, maka kini adegan-adegan seks dipertontonkan secara terbuka di sejumlah serial lokal. Tercatat cukup banyak serial yang tak lagi malu-malu menampilkan adegan ciuman panas, adegan berbuka busana nyaris telanjang hingga adegan percintaan di ranjang.
Serial Sianida menjadi semacam pendobrak tak lagi malu-malunya sineas lokal menampilkan adegan seks yang frontal di layanan streaming. Ceritanya sendiri sebenarnya semacam saduran tak resmi dari kasus menghebohkan yang terjadi tujuh tahun lalu. Pada 6 Januari 2016, nyawa Wayan Mirna Salihin tak tertolong setelah menyeruput es kopi vietnam di Kafe Olivier, Grand Indonesia, Jakarta. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Mirna sempat mengalami kejang-kejang, lalu tak sadarkan diri.
Mulutnya juga mengeluarkan buih. Sahabatnya, Jessica Kumala Wongso, ikut mengantar Mirna ke Rumah Sakit Abdi Waluyo. Dari hasil penyelidikan sebagaimana dikutip dari Kompas, polisi mengungkap, ada zat sianida dalam kopi Mirna. Racun mematikan tersebut juga ditemukan di lambung Mirna. Setelah diperiksa, ternyata ada sekitar 3,75 miligram sianida dalam tubuh Mirna.
Oleh MVP Pictures yang memproduksi Sianida, ceritanya dibengkokkan sedikit saja menjadi kisah Amelia (Jihane Almira) dan Jenny (Aghniny Haque), sepasang kekasih lesbian yang saling mencintai dari awal. Amelia dipaksa menikah oleh keluarganya dengan David (Rio Dewanto) karena ingin memisahkan Amelia dari Jenny.
Amelia lalu meminum secangkir kopi berisi racun sianida sampai meninggal dan Jenny dituduh sebagai pembunuhnya. Jenny berbalik mencurigai David sebagai pembunuhnya, namun hal ini sama sekali tidak mudah karena David juga menuduh Jenny mati-matian melalui media, TV, wawancara dan berbagai cara lain.
Sewaktu dirilis di layanan streaming WeTV pada Agustus 2021, Sianida menghebohkan masyarakat karena berani menampilkan adegan ciuman panas sesama perempuan dan dianggap sebagai serial lokal pertama yang melakukannya. Seperti 365 Days, Sianida pun sejak awal terang-terangan memperlihatkan bahwa serial lokal ini berfokus pada pasangan lesbian. Tak hanya melakukan adegan ciuman panas, Jihane dan Aghniny pun bahkan diperlihatkan melakukan adegan seks di ranjang di salah satu episodenya.
Tema seks menjamur dalam beberapa judul serial lokal
Setelah Sianida setidaknya ada lima judul serial lokal yang berani mempertontonkan adegan seks yang terbilang berani. Dari layanan streaming Vidio, sutradara Pritagita Arianegara menyajikan serial Bestie yang mengisahkan persahabatan empat orang perempuan dengan masalah mereka masing-masing. Meski cerita berkutat pada tokoh utama, Vina (Della Dartyan), janda dengan anak yang masih sekolah namun Bestie juga memberi porsi cukup besar pada karakter lainnya, Kiara (Aurra Kharisma).
Kiara sendiri digambarkan sebagai seorang artis pendatang baru yang tengah mencari jalan menuju sukses. Karirnya digambarkan melesat dengan cepat dan mengecap sukses dalam sekejap. Sayangnya memang jalan itu ditempuhnya dengan cara berhubungan khusus dengan produsernya (diperankan Didi Riyadi).
Sub-plot hubungan Kiara dan produsernya menjadi menarik bagi sebagian penonton karena Pritagita tak segan-segan menampilkan adegan ciuman panas di hampir setiap episodenya antara Kiara dan produsernya.
Berbeda dengan Bestie yang masih fokus menampilkan persahabatan sesama perempuan, Bisik Hati Lara yang tayang di layanan streaming Maxstream menampilkan cerita yang seperti mundur ke cerita yang disajikan film-film di tahun 1970-1980-an. Besutan Rendy Herpy tersebut berkisah tentang Lara (Valerie Thomas) harus terjun ke dunia hiburan malam untuk menghidupi ibunya (Dominique Sanda) dan adiknya, Lena (Annette Edoarda), agar permasalahan ekonomi di keluarga mereka dapat diselesaikan.
Ia terpaksa menjalani profesi sebagai kupu-kupu malam karena ajakan sahabatnya, Erica (Naura Hakim). Profesi yang Lara jalani itu membuatnya bertemu dengan sosok Dewa (Dimas Anggara). Dewa berprofesi sebagai kepala keamanan di klub malam tempat Lara bekerja. Pertemuan itu membuat asmara di antara keduanya mulai tumbuh. Namun, kotornya dunia malam, yang dipimpin oleh Mami Jill (Jennifer Jill) bersama asistennya, Anjay (Mr. Aloy), membuat Lara terhimpit segudang masalah.
Dengan cerita sedemikian maka tak heran jika sebagian penonton menunggu momen-momen dimana Valerie Thomas akan tampil menari striptis dengan pakaian minim dan gestur sensual dalam sejumlah adegan.
Tema seks dalam cerita yang mirip film tahun 1970-1980-an
Tahun ini layanan streaming WeTV dan Vidio menyajikan dua serial lokal dengan seks sebagai isu tema. Sayangnya keduanya juga datang dengan cerita basi yang sudah banyak sekali dibahas 30-40 tahunan lalu oleh para sineas.
WeTV merilis serial lokal berjudul Kupu-Kupu Malam sebanyak 7 episode dengan fokus kisah pada Laura (Michelle Ziudith), gadis yang harus berjuang membiayai kuliah serta menghidupi sang adik dengan menjadi kupu-kupu malam (pelacur) karena kedua orangtuanya telah meninggal dunia.
Meski dianggap potensial mengikuti sukses viral serial lokal Layangan Putus, Kupu-Kupu Malam justru banyak dicerca oleh penonton karena mengakhiri cerita dengan buruk. Dalam review yang diturunkan Kincir pada 9 Januari 2023 bahkan ditulis “jika serial ini hanya dibuat satu musim tayang, sungguh ini adalah salah satu akhir terburuk dan paling enggak jelas dalam sejarah sinema Indonesia.”
Begitupun meski masih menyajikan karakter utama seorang pelacur, Open BO dari layanan streaming Vidio mencoba berkelit dari stagnansi cerita dengan tema-tema seks. Premisnya sesungguhnya menarik tentang Jaka—perjaka culun penulis skenario sinetron Azab—bertemu dengan Ambar—wanita panggilan yang biasa menjadi simpanan penjabat.
Teror yang dilakukan para istri penjabat membuat mereka dekat. Sayangnya memang Open BO lebih banyak mencoba memberi panggung pada sensualitas dan keberanian Wulan Guritno sebagai pelacur ketimbang fokus pada isu utamanya yang sebenarnya bisa dibongkar lebih menarik dan mengarah pada konstruksi sosial yang kita lihat dalam beberapa tahun di negeri ini.
Seberapa penting seks dalam serial lokal?
Sebagai sineas, saya tak anti dengan tema-tema seks. Saya cuma anti dengan tema-tema membosankan yang sudah diulang ratusan bahkan ribuan kali dalam judul film,sinetron, sampai FTV.
Dalam salah satu miniseri yang saya sutradarai berjudul Asya Story (diadaptasi dari cerita bersambung super populer di Wattpad), saya memberanikan diri mengangkat tema soal kekerasan seksual yang hanya digambarkan samar dalam materi aslinya. Keputusan ini membuat saya meyakinkan diri untuk mengambil salah satu adegan terberat yang pernah saya jalani: adegan perkosaan di sebuah sekolah.
Dalam episode awal Asya Story (hanya terdiri dari 6 episode dengan durasi 7-12 menit), saya langsung menampilkan adegan perkosaan yang dilakukan Alex (dilakoni pendatang baru, Sani Fahreza kepada Asya (Brigitta Cynthia).
Adegan perkosaan yang cukup intens dan potensial mengganggu tersebut perlu saya hadirkan karena menjadi ruh dari keseluruhan cerita. Tanpa adegan itu, saya kira saya tak akan bisa menampilan bagaimana pergulatan Asya melawan traumanya sepanjang episode-episode setelahnya.
Dengan regulasi yang belum ketat dan belum menjangkau layanan streaming, saya kira sineas bisa lebih kreatif mengolah tema-tema yang bersinggungan dengan soal seks. Kita bisa memberi ruang pada isu-isu yang lebih penting untuk disuarakan seperti kekerasan seksual. Dan jadinya seks dalam konteks ini menjadi sangat penting buat keutuhan cerita, tak sekedar dirakit untuk memuaskan sebagian penonton.
Seks juga bisa dieksplorasi dalam cerita soal edukasi seks misalnya. Tentu saja dengan penyajian yang tak vulgar. Meski terbilang berani dan kadang vulgar, serial Sex Education yang tayang di Netflix sesungguhnya menjadi tontonan menarik bagi para remaja yang ingin tahu lebih banyak soal preferensi seks.
Sejak tahun lalu saya bersama tim penulis sudah mengembangkan cerita bertema edukasi seks berjudul Perjaka. Ceritanya berfokus pada tiga remaja berusia 17 tahun yang ingin tahu lebih banyak soal seks dan mencoba mencari tahu ke banyak sumber yang bisa mereka percayai. Niat kami untuk memberi gambaran pada remaja dan orangtua bahwa dialog soal seks menjadi penting dilakukan di hari-hari ini agar remaja bisa mendapatkan informasi dari sumber yang valid.
Jadi mungkin pertanyaannya bukan seberapa berlimpah adegan seks dalam serial lokal tapi soal seberapa kreatif kita mengolah tema-tema seks dalam serial.