*Spoiler Alert: Review serial Avatar: The Last Airbender episode 1—8 mengandung bocoran yang bisa saja mengganggu kamu yang belum menonton.
Kamu yang menghabiskan masa kecil dan remaja di era 2000-an pastinya pernah, ‘kan, ngikutin serial animasi Avatar: The Last Airbender atau Avatar: The Legend of Aang yang dulu selalu tayang di Global TV. 16 tahun setelah episode terakhir The Last Airbender dirilis, Netflix akhirnya merilis serial live action-nya yang juga diberi judul Avatar: The Last Airbender.
Jika kita kilas balik ke 2010, Paramount Pictures merilis film live action The Last Airbender (2010), yang dihujat habis-habisan karena tidak sesuai dengan animasinya. Jelas saja banyak penggemar punya harapan bahwa The Last Airbender versi Netflix bisa lebih baik. Untuk serial live action ini, karakter Aang diperankan oleh Gordon Cormier, Katara diperankan oleh Kiawentiio, Sokka diperankan oleh Ian Ousley, Zuko diperankan oleh Dallas Liu, dan yang lainnya.
Avatar: The Last Airbender berkisah tentang Aang yang dibebankan tugas sebagai Avatar ketika dia berusia 12 tahun. Tidak siap dengan tanggung jawab sebesar itu, Aang memutuskan kabur hingga akhirnya terjebak dalam badai dan tubuhnya membeku selama 100 tahun. Ketika dia dibebaskan dari es setelah 100 tahun, ternyata keadaan dunia menjadi sangat kacau dan berbeda dari yang Aang ketahui dulu.
Review serial Avatar: The Last Airbender
Ada sedikit modifikasi pada cerita, namun tetap teguh pada sumber aslinya
Apa yang membuat film live action The Last Airbender, yang dirilis pada 2010, dikritik habis-habisan oleh kritikus dan penggemar? Film tersebut merombak habis-habisan konsep dan cerita yang sudah begitu bagus dari versi animasinya. Sayangnya, film live action-nya malah seperti downgrade dari versi animasinya. Nah, kabar baiknya, permasalahan film live action The Last Airbender terdahulu tidak bakal kamu temukan di serial live action yang digarap oleh Netflix ini.
The Last Airbender versi Netflix terdiri dari 8 episode, sedangkan Book Water dari versi animasinya memiliki 20 episode. Jelas saja showrunner Albert Kim, tim penulis, dan tim sutradaranya harus melakukan modifikasi cerita untuk bisa merangkum 20 episode Book Water menjadi 8 episode versi live action. Setelah menonton semua episode serial live action versi Netflix, begitu terasa bahwa showrunner Kim dan timnya benar-benar berhasil!
The Last Airbender versi Netflix menjadi bukti bahwa film atau serial adaptasi bisa tetap setia dengan sumber aslinya, walau ceritanya mengalami modifikasi. Modifikasi yang ditambahkan pada live action justru meningkatkan cerita yang sudah bagus dari animasinya. Soalnya, modifikasi justru membuat kisah Aang CS di versi live action terasa lebih dalam. Padahal, kita tahu bahwa versi animasinya punga cerita yang cenderung kocak.
Berkat modifikasi ini, The Last Airbender versi Netflix terasa lebih kompleks, emosional, dan membuat kita bisa semakin kenal dan berempati dengan hampir setiap karakternya. Jujur saja, saya tidak menyangka kisahnya Zuko dan Iroh dibuat lebih emosional di serial live action ini. Spesialnya lagi, The Last Airbender versi Netflix ditutup dengan episode yang peperangannya digambarkan lebih epic dari animasinya. Ditambah dengan ending yang bisa bikin kamu penasaran dengan season selanjutnya.
Pemeran Paman Iroh adalah casting terbaik di serial live action ini
Tim Avatar, yang terdiri dari Aang, Katara, dan Sokka, diperankan oleh aktor-aktor muda yang terhitung sebagai pendatang baru di Hollywood. Ada Gordon Cormier sebagai Aang, Kiawentiio sebagai Katara, dan Ian Ousley sebagai Sokka. Sebagai aktor pendatang baru, aktingnya Cormier, Kiawentiio, dan Ousley perlu dimaklumi. Walau begitu, pembawaan mereka dalam memerankan masing-masing karakter cukup berhasil dalam menghidupkan Aang, Katara, dan Sokka dalam bentuk live action.
Aang di serial live action ini memang lebih serius, tetapi Cormier tetap berhasil menampilkan sisi polos dan cerianya Aang. Ousley juga terlihat effortless menampilkan sisi konyolnya Sokka, tanpa terlihat cringe. Namun di antara semua aktor yang tampil di The Last Airbender versi Netflix, perhatian saya benar-benar tertuju kepada Paul Sun-hyung Lee yang berperan sebagai Paman Iroh.
Lee seperti benar-benar terlahir untuk memerankan Iroh. Dari segi penampilan saja, Lee sebagai Iroh bisa dibilang yang paling akurat. Selain itu, Lee juga berhasil menampilkan sisi bijak, kebapakan, dan penyayang dari seorang Iroh; yang pasti bikin kamu makin jatuh hati kepadanya. Lee juga berhasil membangun chemistry yang baik dengan Dallas Liu (pemeran Zuko). Terlihat sekali bagaimana besarnnya rasa sayang Paman Iroh kepada keponakannya, lewat penampilan kedua aktor tersebut.
Desain karakter, tempat, dan soundtrack yang dijamin bikin bernostalgia dengan animasinya
Kamu yang baru melihat trailer The Last Airbender versi Netflix pasti sudah bisa menilai bahwa sebagian besar karakter yang ditampilkan di serial live action ini terlihat akurat dengan animasinya. Setelah saya menonton semua episodenya, saya bisa bilang bahwa showrunner Albert Kim dan timnya begitu konsisten dalam mempertahankan desain karakter versi animasinya. Bahkan, mahkluk nonmanusia, seperti Appa, Momo, dan beberapa roh digambarkan persis seperti animasinya.
Selain karakter, penggambaran berbagai latar tempatnya seperti benar-benar diambil dari animasinya. Lalu bagaimana para pengendali mengendalikan elemennya juga dieksekusi dengan sangat baik, mulai dari koreografinya hingga bagaimana tiap elemen bergerak ketika dikendalikan.
Secara cerita dan mood, live action ini nyaris tanpa celah. Namun, akan lebih sempurna bila CGI yang ditampilkan The Last Airbender versi Netflix dipoles lagi. Bisa jadi, live action ini agak kesulitan mengingat bagaimana rumitnya dunia Avatar dan pergerakan dalam mengendalikan elemen. Kendati demikian, CGI-nya masih terasa nyaman di mata.
Nah, yang paling bikin bernostalgia di antara semua aspek serialnya adalah penggunaan soundtrack dari animasinya. Tidak ada soundtrack dari animasinya yang diubah. Dengan mendengar soundtrack-nya saja, kamu seakan dibawa kembali ke masa kecil di saat sedang menonton Avatar versi kartun di TV. Rasanya seperti diingatkan kembali mengenai betapa megahnya soundtrack Avatar yang dulu pernah kita dengar.
***
Avatar: The Last Airbender versi Netflix menjadi bukti bahwa serial adaptasi masih bisa berpegang teguh pada sumber aslinya, walau ada modifikasi pada ceritanya. Modifikasi yang diterapkan malah menambah kedalaman pada kisahnya Aang dkk, sehingga terasa lebih kompleks dan emosional, tanpa merusak cerita utamanya. Para pemeran utamanya, khususnya pemeran Paman Iroh, berhasil menghidupkan karakter mereka dengan apik untuk versi live action-nya.
Setelah baca review serial Avatar: The Last Airbender, apakah kamu jadi tertarik menonton serial live action adaptasi animasi ini? Buat yang sudah menonton, jangan lupa bagikan pendapat kamu tentang serial ini, ya!