Bagaimana jadinya bila seorang vampir yang notabene membutuhkan darah manusia untuk hidup enggan untuk membunuh manusia? Itulah yang terjadi pada Sasha, seorang vampir remaja berusia 68 tahun di Quebec dalam film Humanist Vampire Seeking Consenting Suicidal Person (Vampire humaniste cherche suicidaire consentant).
Saat kecil, orang tua dan saudara Sasha menghisap darah badut yang memeriahkan ulang tahunnya hingga badut itu mati, membuat Sasha trauma dengan “perburuan manusia”. Taringnya pun enggak kunjung sembuh. Orang tuanya, terutama sang ibu, khawatir karena selama ini Sasha hanya dapat menggantungkan hidup dengan kantong darah hasil perburuan orang tuanya, bukan mencari sendiri. Orang tuanya pun khawatir jika Sasha enggak bisa mandiri saat orang tuanya meninggal dunia.
Untuk membuat Sasha mandiri, orang tuanya pun mengirimkannya buat tinggal di rumah Denise, sepupunya yang jago berburu dan no-nonsense. Awalnya, Sasha enggan, tetapi pada akhirnya ini menjadi momen bagi Sasha untuk ketemu dengan Paul, remaja clumsy yang menawarkan Sasha untuk menjadi korban pertamanya karena ia ingin bunuh diri, dan menemukan cara untuk bisa menjadi humanist vampire.
Review film Humanist Vampire Seeking Consenting Suicidal Person (2023)
Komedi gelap yang ringan untuk diikuti
Humanist Vampire Seeking Consenting Suicidal Person bukan jenis film yang akan menceramahi penonton perihal moral ini-itu atau berusaha keras terlalu gothic. Durasi 1,5 jam diisi dengan komedi-komedi gelap menyenangkan tanpa membuat kita harus mempertanyakan nilai moral para vampir yang bergantung pada manusia untuk makan. Dilema antara masalah perut dan kemanusiaan ini terwakili oleh sosok Sasha yang beranjak dewasa, yang mencoba buat mendobrak tradisi, tetapi di sisi lain dia juga enggak bisa apa-apa lantaran ia memang membutuhkan bantuan keluarganya untuk bertahan hidup.
Tokoh vampir-vampir pemburu dalam film ini enggak digambarkan sebagai karakter-karakter bernuansa abad kegelapan yang punya laku kehidupan mengerikan. Mereka digambarkan sebagai manusia-manusia modern yang harus bertahan hidup, punya masalah keluarga, pergi ke psikolog, dan juga harus menghadapi konflik generasi muda vs generasi tua.
Ada orang tua yang overprotective, anak yang memberontak, bibi-bibi yang selalu jadi sosok cerewet saat kumpul keluarga, dan perbedaan pendapat antara suami-istri. Jadi, sebagai manusia, kita enggak melihat mereka sebagai karakter mengerikan yang harus diberantas, melainkan karakter yang kompleks.
Kekuatan karakterisasi para tokoh ini juga dibalut dengan komedi-komedi gelap yang bikin terhibur. Kapan lagi kita bisa tertawa melihat vampir menjebak pria-pria pemabuk, digoda, lalu pada akhirnya diambil darahnya? Kapan lagi melihat seorang remaja yang saking ingin bunuh dirinya, rela buat dijadikan santapan oleh vampir?
Karakterisasi apik ini tentu enggak dapat dilepaskan dari kualitas akting para pemerannya. Sara Montpetit bermain sangat apik sebagai Sasha, mampu mengeluarkan emosi dan juga raut khas remaja yang kesal dengan tradisi orang tuanya, tetapi enggak bisa berbuat apa-apa karena ia ketergantungan dengan mereka untuk bertahan hidup.
Paul, remaja yang ingin bunuh diri dan dekat dengan Sasha, diperankan dengan baik oleh Félix-Antoine Bénard. Bénard membawakan sosok remaja clumsy dengan sangat meyakinkan sehingga penonton pun ikut dibuat jengkel saat melihatnya. Kudos juga untuk Noémie O’Farrell pemeran Denise yang bisa menjadi big cousin yang cerewet, mandiri, benci omong kosong, sekaligus keras kepala. Kebanyakan dari kita pasti memiliki saudara yang dominan seperti ini.
Backsound yang bukan sekadar pelengkap
Suara dalam film yang baik bukan hanya tentang lagu yang punya kualitas dari segi nada atau pun lirik. Karena sifatnya adalah pengiring dari film, suara enggak boleh terlalu dominan, enggak nyambung dengan skenario dan adegan, atau justru malah enggak punya peran penting. Harus kami akui, film ini did a great job dalam memilih suara yang dipakai.
Ada beberapa scoring yang menegangkan, tetapi scoring itu enggak berlebihan, bahkan memunculkan emosi yang kuat bagi penonton. Penonton akan dibuat sedikit takut, tetapi kemudian tertawa lagi karena selalu ada kejutan komedi di setiap adegannya. Suara terbaik, tentu saja backsound lagu Emotions oleh William Kearney dan Melvin Tillis (yang dibawakan oleh Brenda Lee).
Lagu yang diputar oleh Sasha bersama Paul di kamarnya ini enggak cuma punya nuansa lawas, tetapi juga menggambarkan apa yang dirasakan Sasha. Gerak tubuh Sasha dan Paul saat lagu ini diputar pun merepresentasikan kekikukkan di antara mereka, sekaligus kenyamanan yang pada akhirnya timbul saat mereka berdua bertemu. Enggak perlu adegan romantis berlebihan apalagi erotis buat menggambarkan kalau Sasha dan Paul sebetulnya perhatian satu sama lain. Lagu ini, gerak tubuh mereka, di dalam momen singkat, memperlihatkan ketertarikan antara remaja yang dipenuhi keraguan, kebingungan, berikut tingkah laku naifnya
Bukan hanya asal gelap
Sama seperti mitos vampir dalam literatur lain, vampir dalam Humanist Vampire Seeking Consenting Suicidal Person juga enggak tahan terhadap sinar matahari. Maka dari itu, dominasi latar waktu dalam film ini adalah malam hari. Ditambah dengan pencahayaan redup, film ini memang punya kesan utama yang suram.
Dominasi warna gelap dan soft yang dipakai oleh film ini menggambarkan kehidupan vampir di tengah masyarakat. Mereka, layaknya manusia, juga butuh makan untuk bertahan hidup, tetapi mereka harus melakukannya secara sembunyi-sembunyi di ruang yang “gelap”. Krisis identitas Sasha pun terwakili oleh nuansa redup di dalam film. Nuansa ini seolah mewakili isi hatinya yang dipenuhi kegalauan, antara pilihan hidup sekaligus perbedaan cara pandang dengan generasi tua.
***
Rekomendasi maksimal kami berikan buat Humanist Vampire Seeking Consenting Suicidal Person dari sutradara Ariane Louis-Seize ini. Bukan cuma komedi gelap yang menawarkan hal-hal kocak dengan cara yang aneh, film ini sebetulnya menggambarkan konflik coming-of-age yang banyak dialami oleh manusia biasa.