*Spoiler Alert: Review film Roman Peony ini mengandung bocoran yang bisa saja mengganggu kamu yang belum menonton
Dingin, tetapi hangat. Itulah yang kami rasakan saat menonton Roman Peony. Kontradiksi ini bukan cuma tentang dinginnya Hokkaido yang menjadi latar tempat bagi karya besutan Connection Film dan Yoshimoto Kreatif saja, tetapi bagaimana relasi antartokoh yang dilanda kebimbangan, baik karena mencari orang yang ingin mereka temui, mau pun mencari apa yang sebetulnya mereka mau.
Roman Peony dibuka dengan cantik sekaligus saling bertentangan. Dari awal, kita disuguhkan oleh gambar-gambar bernuansa hangat di tengah dinginnya Hokkaido. Gambar-gambar itu bukan sekadar tempelan, tetapi elemen-elemen yang memperkuat emosi yang dirasakan oleh para tokoh. Maka dari itu, di tengah cuaca dingin yang jelas ditunjukkan dalam film ini, adegan-adegannya menjadi api unggun yang menghangatkan hati.
Karena film ini merupakan karya yang menjadi “hadiah” bagi peringatan Diplomasi Jepang-Indonesia yang diputar di Okinawa International Film Festival 2024 , awalnya kami mengira kalau film ini bakalan dipenuhi dengan adegan-adegan yang terlalu show, don’t tell soal hubungan baik Indonesia-Jepang. Untungnya, film ini jauh lebih baik dari itu! Hubungan Indonesia-Jepang ini diperlihatkan secara soft lewat pertemuan seorang perempuan asal Indonesia dan seorang pria Jepang yang kebetulan bisa berbahasa Indonesia karena pernah tinggal di Indonesia dan bekerja dalam suatu proyek adaptasi film dari novel Indonesia.
Nah, seperti apa keunikan Roman Peony? Simak review-nya di sini.
Review film Roman Peony
Film yang berdiri secara utuh
Roman Peony mengawali kisah dengan cerita dari Clara, seorang perempuan Indonesia yang mencari Dimas, mantan bosnya di Indonesia, hanya bermodalkan novel yang ditulis oleh Ambar. Dimas sendiri punya hubungan yang complicated sama Ambar. Clara berharap, dengan mendatangi tempat-tempat di Hokkaido yang diceritakan Ambar lewat novel Deja Vu, maka ia bisa menemukan Ambar, lalu menemukan Dimas.
Enggak lama kemudian, cerita beralih ke kisah Kenji-Miyu-Toshiro. Kenji adalah pria Jepang yang pernah tinggal di Indonesia dan sedang berada pada fase jenuh dengan kekasihnya, Miyu. Kenji ingin memutuskan Miyu, tetapi dia terlalu pengecut. Toshiro, kakak Miyu yang protektif, ingin melindungi Miyu dan menjembatani mereka berdua. Sementara itu, Miyu yang peragu menyimpan sebuah rahasia yang ingin dia ceritakan pada Kenji dan Toshiro.
Kenji dan Clara bertemu di sebuah kafe. Kemampuan Bahasa Indonesia Kenji yang baik membuat mereka menjadi dekat. Mereka juga dihubungkan oleh novel Deja Vu yang dibawa-bawa Clara ke mana pun dan ternyata pernah punya hubungan dengan pekerjaan Kenji. Pada akhirnya, Kenji pun menemani Clara buat menyambangi semua latar tempat di Deja Vu untuk mencari Ambar dan kemudian mencari Dimas.
Pembicaraan mereka dan koneksi atas banyak hal membuat Kenji dan Clara mulai tertarik satu sama lain. Namun, pada saat yang sama, Miyu juga pergi untuk mencari Kenji, pindah dari satu tempat ke tempat lain, menginap dari satu hotel ke hotel lain, sembari membawa novel Deja Vu yang diterjemahkan ke Bahasa Jepang, untuk bisa memahami isi hati Kenji.
Sebetulnya, Roman Peony adalah sekuel dari film Dua Ruang. Jadi, kamu bakal bisa langsung lebih merasa terkoneksi sama ceritanya kalau sudah menonton film Dua Ruang yang bercerita tentang Clara dan Kenji saat masih tinggal di apartemen di Indonesia, tetapi enggak saling mengenal satu sama lain. Cuma, karena film ini juga menjelaskan kejadian di Dua Ruang, ia bisa berdiri secara utuh. Hanya saja, buat menyelami karakter Dimas, misalnya, atau buat langsung memahami kenapa Clara bisa se-ceplas-ceplos itu serta agak flirty tanpa harus menunggu penjelasan menjelang akhir film, kamu mungkin harus menonton film Dua Ruang terlebih dulu.
Kombinasi sinematografi dan scoring cantik
Menonton Roman Peony seperti mendapatkan cendera mata yang cantik nan berseni. Rasanya, sepanjang 132 menit, kita dimanjakan banget sama kesan lomography dalam pengambilan gambar dan scoring akustik lagu Lekas Pulang dan Just Quotes yang mengiringinya. Cantik, bak bunga Peony yang mengingatkan Kenji kepada Miyu. Kombinasi ini menciptakan mixed feeling, antara terkagum, sedih, sekaligus kesepian.
Beberapa gambar diambil dengan bidikan statis, seperti peron stasiun, papan tulis di dinding, dan masih banyak lagi. Bidikan-bidikan statis ini alih-alih membosankan, justru bikin kita seperti diajak merasakan kesunyian masing-masing tokoh sekaligus mempertanyakan apakah tujuan mereka worth it buat dikejar?
Terdapat juga momen-momen yang mungkin enggak ada hubungannya langsung sama cerita utama, tetapi seperti menyimbolkan apa yang dirasakan oleh tokoh. Contohnya, saat Clara dan Kenji mau melihat Rusia dari teropong menara, yang jaraknya cuma 45 km aja dari Hokkaido. Kenji bilang, kalau cuaca lagi enggak berkabut, Rusia bisa kelihatan dari sana. Sayangnya, pada saat itu cuacanya berkabut. Rasanya memang kayak obrolan para turis yang enggak penting, tetapi kalau disambungkan sama misi mereka, adegan ini seolah seperti menyimbolkan bahwa sesuatu yang mereka cari itu sangat dekat, tetapi “terhalang” oleh sesuatu hingga mereka sulit buat menemukannya.
Adegan lain yang seolah enggak penting tetapi relate sama para tokoh adalah saat Clara merokok di balkon hotel. Hotel itu terletak di depan pelabuhan dan pada saat itu, sebuah kapal siap untuk pergi. Cukup menenangkan adegan ini, dan sepertinya memberikan pesan sama Clara bahwa semuanya mungkin akan pergi saat waktunya tepat.
Akting yang menarik dari pemeran baru
Film ini merupakan debut bagi Hitomi, selebgram sekaligus YouTuber Jepang, untuk berakting. Sebelumnya, Hitomi sendiri belajar akting agar penampilannya maksimal di film ini. Apa yang ia usahakan nampaknya enggak sia-sia, karena akting Hitomi termasuk yang paling cemerlang di sini. Sebagai Miyu yang menyimpan rahasia tentang penyakitnya dan juga galau karena mencari kepastian dari sang kekasih yang ghosting, dia enggak cuma memberikan kesan menye-menye.
Hitomi bisa menghidupkan Miyu yang enggak enakan, people pleaser, dan peragu dengan cara yang wajar. Nah, melihat sosok Miyu (dan juga Kenji, sebetulnya) mungkin bakal ada banyak orang yang bertanya-tanya kenapa tokoh-tokoh Jepang di sini terlihat bingungan dan enggak to the point.
Namun, justru di situlah letak bagusnya film ini dalam memotret orang-orang Jepang. Kalau kita lihat film-film dan serial drama kontemporer Jepang seperti First Love, Departure, Midnight Dinner, dan masih banyak lagi, kita bisa memahami kalau bahkan dalam kondisi yang modern, masyarakat Jepang cenderung lebih suka memendam perasaan dan enggak suka langsung menyelesaikan suatu masalah dengan cara yang blak-blakan. Hubungan Miyu dan Kenji jadi enggak jelas bukan cuma karena Kenji cukup pengecut, tetapi juga karena mereka seperti lebih suka berbicara dengan “kode”.
Sosok Clara juga berhasil dihidupkan sama Jessica Veranda dengan baik. Awalnya, terutama kalau belum menonton Dua Ruang, mungkin kita dibuat bingung bahkan kesal sama Clara. Clara seperti orang yang terlalu apa adanya, kurang berempati, bahkan terkesan enggak peduli meskipun tahu kalau Kenji sedang punya complicated relationship sama pacarnya. Namun, menjelang akhir cerita, kita tahu kenapa Clara begitu. Background Clara sebagai mantan perempuan simpanan membuat Clara terkesan penggoda dan enggak punya manner. Dia bukan orang jahat, dia hanya orang yang sendirian dan hilang arah.
Bicara soal Clara yang notabene orang Indonesia, ada yang lucu kalau melihat penggambaran tokoh Indonesia di film yang menjadi simbol perayaan hubungan diplomatik Indonesia-Jepang ini. Saat para tokoh Jepang digambarkan peragu dan hobi memendam perasaan, dari awal, kita bisa melihat kalau tokoh-tokoh Indonesia-nya lebih blak-blakan, mulai dari teman Clara yang menelepon dengan bumbu-bumbu swearing words, Clara yang agak nyinyir, Ambar yang bikin perumpamaan pedas tentang cowok, dan juga penjaga kafe berkebangsaan Indonesia yang mengumpat pada saat ia enggak sengaja tersandung.
Rasanya seperti berlawanan banget, tetapi mau enggak mau, harus kita akui kalau memang kebanyakan orang dari negara kita seperti itu. Ada sisi baiknya, yakni semua masalah menjadi cepat selesai tanpa berbelit-belit (seperti yang dialami para tokoh Jepang), tetapi tentu ada sisi buruknya juga.
Film ini mengakhiri kisahnya dengan baik. Semua mendapatkan yang mereka cari, tetapi uniknya, pencarian mereka menemui jalannya setelah mereka ikhlas dan berani buat menghadapi keadaan. Kenji, misalnya, berani buat mengambil keputusan untuk pulang ke Miyu. Miyu, berani untuk menghentikan pencariannya dan menghargai orang terdekatnya. Dan Clara, ia menyadari kalau enggak semua hal adalah tentang dirinya. Bisa saja ia enggak menjadi peran utama, tetapi sebagai penghubung pertemuan-pertemuan yang baik. Dan setelah semua tokoh seolah menjadi ikhlas, mereka mendapatkan apa yang mereka mau.
***
Pace yang cukup lamban enggak bikin film ini menjadi membosankan. Bahkan, seperti kata Clara kepada Kenji, “Waktu itu seperti sungai, ya? Kita berada di dalamnya, mengalir, dan tanpa sadar kita sudah sampai ke ujung.”, menonton film ini awalnya memang membuat kita bingung tentang tujuan para tokoh, tetapi kita malah dibuat menikmati perjalanannya dan enggak terasa, kita sudah sampai ke akhir yang cukup menyenangkan.
Tertarik untuk menonton film cinta segitiga yang artistik dan punya makna mendalam lain selain tentang rebut-rebutan pacar? Kamu harus menonton Roman Peony di bioskop mulai tanggal 19 September 2024!