*(SPOILER ALERT) Review film Pamali Dusun Pocong ini sedikit mengandung bocoran yang semoga saja enggak mengganggu buat kamu yang belum nonton.
Pada 2022 lalu, kita kedatangan film horor Indonesia berjudul Pamali yang disutradarai oleh Bobby Prasetyo. Film ini pun diadaptasi dari game lokal Pamali: Indonesian Folklore Horror (2018) yang terbilang cukup mendunia. Nah, pada Oktober 2023 ini, kita kedatangan film baru dari franchise game tersebut yang mengangkat cerita dari salah satu story arc di game-nya, yaitu Pamali: Dusun Pocong.
Sinopsis film Pamali: Dusun Pocong berkisah tentang tiga tenaga kesehatan serta dua tukang gali kubur yang ditugaskan untuk pergi ke sebuah desa terpencil. Hal ini karena di desa tersebut terjadi wabah misterius yang telah merenggut nyawa sejumlah warganya. Namun, saat berada di desa tersebut, mereka justru mendapat gangguan dari sejumlah sosok pocong.
Nah, sebelum kamu nonton film horor Pamali: Dusun Pocong di bioskop, simak terlebih dahulu ulasan KINCIR berikut ini!
Review film horor Pamali Dusun Pocong
Premis potensial yang enggak diselesaikan dengan detail
Adanya masalah tentang wabah misterius sebenarnya membuat Dusun Pocong berpotensi menjadi sebuah film horor yang punya cerita berbeda dan menarik. Sayangnya, premis yang potensial tersebut gagal dimanfaatkan oleh film ini. Wabah misterius tersebut bahkan hanya dijadikan sebagai pemicu konflik cerita saja, tapi enggak dibahas secara mendalam lagi sepanjang filmnya.
Bahkan, yang lebih menyebalkannya lagi, penyebab dari wabah misterius tersebut enggak terungkap hingga akhir film. Film ini rasanya benar-benar copy-paste cerita yang ada dalam game-nya tanpa melakukan pengembangan lagi untuk disesuaikan dengan film layar lebar. Makanya, penceritaan dalam film ini terasa sangat kaku dan kurang detail sehingga menyisakan banyak pertanyaan.
Faktor lain yang mungkin menyebabkan plot film ini kurang mendetail adalah pace penceritaannya. Soalnya, film ini terasa lamban dan bahkan terkesan santai dalam bercerita di awal. Namun, menjelang akhir, penceritaannya jadi terburu-buru sehingga gagal menjelaskan secara detail berbagai aspek di plotnya dalam durasi 99 menit.
Produksi yang kurang riset
Keberadaan wabah tampaknya memang hanya dijadikan sebagai pemicu konflik dalam film ini. Sebagai bukti lainnya, para karakter utama dengan latar belakang tenaga kesehatan yang ada di Pamali Dusun Pocong benar-benar dihadirkan untuk kepentingan cerita, tanpa adanya riset mendalam soal dunia medis.
Hal ini bisa dilihat dari cara penanganan mereka terhadap pasien yang terkena wabah ataupun mengalami insiden tertentu yang tidak sesuai dengan prosedur medis sesungguhnya. Padahal, masyarakat awam saja seharusnya tahu prosedur penanganan yang seharusnya dilakukan. Rasanya enggak heran kalau pasien wabah di film ini tidak ada yang sembuh sekalipun tidak ada kutukan apapun, karena penanganan tenaga kesehatannya saja begitu.
Kurangnya riset soal dunia medis ini memang menjadi ‘penyakit’ yang sering ditemui di film atau serial produksi Indonesia. Kurangnya riset di film Pamali: Dusun Pocong pun rasanya agak fatal mengingat karakter utamanya adalah tenaga kesehatan.
Fajar Nugra yang berhasil mencuri perhatian
Fajar Nugra menjadi satu-satunya pemain dari film Pamali pertama yang kembali lagi di Dusun Pocong. Berbeda dengan film pertamanya, kali ini Fajar mendapatkan jatah sebagai salah satu pemeran utamanya. Penampilan Fajar pun selalu berhasil mencuri perhatian dan menghibur tanpa merusak nuansa horor di setiap adegannya.
Sejumlah pemain lain dalam film ini seperti Yasamin Jasem, Dea Panendra, Arla Aliani, Bukie B. Mansyur, dan Anantya Kirana sebenarnya juga enggak kalah memikat. Hanya saja, penampilan pemain dalam film ini agak terganggu karena dialognya yang aneh dan kaku. Hal ini lagi-lagi kemungkinan karena dialognya tidak terlalu dikembangkan lagi dari versi game-nya.
Aspek teknis yang berhasil bikin filmnya terasa seram
Selain akting pemain, faktor lain yang membuat film Pamali Dusun Pocong bisa sedikit dinikmati adalah dari segi teknisnya, termasuk sinematografi dan scoring-nya. Sebab, aspek teknis inilah yang justru berhasil memunculkan nuansa horor dalam filmnya.
Beberapa adegan dalam film ini juga ada yang menggunakan shot dari sudut pandang orang pertama sehingga terasa seperti versi game-nya. Penggunaan POV ini juga membuat beberapa momen jump scare-nya jadi lebih efektif, walau memang terasa repetitif dan satu-satunya cara buat menakuti. Selain itu, penggunaan CGI di film ini juga belum terasa maksimal, meski tidak terlalu mengganggu pengalaman nonton.
Namun, menurut KINCIR, aspek teknis yang benar-benar sukses secara eksekusi adalah scoring-nya. Suara latar yang dihadirkan sepanjang film ini benar-benar berhasil membuat atmosfer tiap adegannya jadi terasa mencekam dan mendebarkan. Suara siulan warga desa yang terkena wabah juga berhasil terngiang-ngiang di telinga penonton.
***
Penceritaan yang kaku dan kurangnya riset membuat Pamali: Dusun Pocong menjadi film horor yang gagal secara cerita dan hanya mengandalkan jump scare buat memikat penonton. Jika kamu tertarik, film ini sudah bisa disaksikan pada sejumlah bioskop Indonesia mulai 12 Oktober 2023.
Nah, bagaimana tanggapan kamu dengan review film Pamali Dusun Pocong tersebut? Share pendapat kamu dan ikuti terus KINCIR untuk ulasan film lainnya, ya!