*Spoiler Alert: Artikel ini mengandung bocoran film Monster (2023) yang bisa saja mengganggu kamu yang belum nonton.
Enggak banyak film yang mengangkat tema LGBTQ yang terlihat indah dan enggak melulu membahas soal seksualitas. Tayang perdana di Cannes Film Festival pada 17 Mei 2023 dan tayang di Jepang pada 2 Juni 2023, Monster mengangkat sisi lain dari relasi antarmanusia yang indah dan “mengerikan” pada saat yang bersamaan.
Monster atau Kaibutsu sudah tayang di bioskop tanah air sejak 3 Januari 2024. Kisahnya yang unik dan alur yang menarik membuat film ini layak menjadi standar film yang rilis tahun ini. Sekeren apa film ini? Simak ulasan dari KINCIR di sini!
Review film Monster (2023)
Keluarga dan persepsi masyarakat
Saori Mugino (Sakura Ando, Shoplifters), seorang single mother, membesarkan anak laki-lakinya, Minato (Soya Kurokawa), yang belakangan bersikap aneh. Minato pernah enggak pulang meski sudah malam, pernah terluka telinganya, sampai minta maaf karena dia punya otak babi! Saori pun mengira Minato dirundung oleh gurunya, Hori Sensei. Namun, kejadian yang sebenarnya jauh dari hal ini. Sayangnya, perspektif setiap orang berbeda dan selalu ada monster yang perlu disalahkan dari setiap masalah.
Monster awalnya terlihat seperti film yang membahas perundungan oleh guru di sekolah. Bahkan, kita melihat bagaimana Michitoshi Hori (Eita Nagayama) alias Hori Sensei benar-benar diposisikan sebagai “penjahat” di mata Saori yang tentu saja panik melihat perubahan sikap pada anaknya. Namun begitu, hal yang biasanya sering kita lupakan adalah, anak-anak memiliki pemikiran yang enggak kalah kompleks dibanding orang dewasa. Mereka juga merasakan apa yang orang dewasa rasakan. Mereka sedih, senang, dan ketakutan.
Monster menunjukkan bagaimana ketakutan Minato menyebabkan begitu banyak kesalahpahaman. Minato adalah korban dari ketakutannya terhadap persepsi masyarakat, ketakutannya untuk merasakan kebahagiaan yang mungkin aneh bagi orang-orang.
Romansa yang malu-malu
Bagaimana pun kamu melihatnya, Monster adalah drama romansa yang malu-malu. Film ini dibuat dengan menempatkan sudut pandang Minato dan Yori (Hinata Hiiragi)sebagai kekuatan utamansetelah memperlihatkan sudur pandang Saori dan Hori Sensei. Film ini baru benar-benar memasuki intinya setelah kita melihat jawaban yang sebenarnya dari sudut pandang Yori dan Minato.
Mungkin banyak yang menolak kisah murid SD yang jatuh cinta, apalagi mereka berdua adalah laki-laki! Kendati demikian, film ini menunjukkan indahnya cinta yang bisa dirasakan oleh siapa saja, bahkan oleh orang yang enggak kita duga.
Seorang ibu mungkin saja melihat perubahan sikap yang dialami anaknya sebagai sebuah alarm bahaya. Enggak heran kalau dia menyalahkan Hori Sensei, seorang guru yang dia anggap seharusnya bertanggung jawab terhadap anaknya di sekolah.
Namun, yang luput dilihat bahkan oleh Saori dan bahkan Hori Sensei yang sehari-hari melihat interaksi Minato dan Yori adalah bahwa mereka berdua memiliki perasaan yang sama. Tidak ada yang mengatakan bahwa perasaan tersebut wajar dan normal.
Film ini pun membawa kita untuk melihat dari sudut pandang Minato yang khawatir akan orang-orang yang mengucilkannya. Dia benar-benar memperhatikan bagaimana teman-temannya menilainya. Sebaliknya, Yori telah lebih dulu menerima dirinya. Meski begitu, dia tetap dihantui oleh monster berwujud ayahnya yang terus menerus menekankan bahwa dia melenceng dari norma.
Penuh kiasan indah
Film ini penuh kiasan indah yang enggak bisa dipahami dari satu lapisan aja. Karakter yang terlibat dalam film ini masing-masing adalah “monster” dalam cerita orang lain. Bukan karena kebencian, namun monster terhadap norma dan kewajaran yang diakui dalam masyarakat.
Seorang guru yang berpacaran dengan gadis bar adalah monster menjijikan. Seorang ibu yang menjanda adalah monster yang akan mati-matian melindungi anaknya. Seorang kepala sekolah adalah monster yang akan berbohong demi melindungi nama sekolahnya. Seorang anak SD biasa adalah monster yang ketakutan akan perubahan mereka menjadi monster.
Monster menunjukkan sisi terdalam manusia, mereka yang berbohong, mereka yang berjuang mati-matian demi orang tercinta, mereka yang ditinggalkan, mereka yang hanya mengikuti arus, dan mereka yang merasakan cinta meski rasanya salah. Rasanya, kita melihat masyarakat ditelanjangi dalam segelintir kisah penemuan cinta dua anak kecil. Enggak ada yang salah dengan cinta yang mereka rasakan, yang salah adalah masyarakat yang enggak menghargai perasaan mereka dan lupa bahwa bahkan anak kecil pun bisa memiliki pemikiran mereka sendiri.
“Big Crunch” dan kiamat yang ada dalam khayalan Minato dan Yori serta kelahiran kembali keduanya adalah wujud penerimaan yang berakhir bahagia. Dengan longsor yang datang dan mereka selamat dari longsor itu, kemudian melalui gorong-gorong dan terlahir kembali, itu adalah perwujudan dari penerimaan mereka dan pengabaian mereka terhadap perspektif masyarakat selanjutnya. Buat KINCIR, penggambaran ini adalah salah satu yang terindah, apalagi setelahnya mereka melihat bahwa gerbang yang tadinya membatasi mereka sudah tidak ada dan mereka bisa berlari bahagia.
Dalam kepercayaan masyarakat Jepang sendiri, jiwa yang sudah pergi dan melewati terowongan gelap yang diibaratkan sebagai rahim ibu dan akan terlahir kembali begitu tiba di ujung terowongan yang terang. Semua ini dikemas dengan sangat rapi dan manis untuk menunjukkan bagaimana mereka “terlahir kembali” sebagai manusia yang sudah menerima perasaan mereka. Kebebasan yang mereka raih setelah melihat gerbang yang akhirnya tiada juga merupakan akhir yang indah bagi keduanya, sekali lagi dengan mengabaikan apa yang terjadi pada orang-orang dewasa di sekitar mereka.
Keduanya hanya merasakan cinta yang mereka rasakan sekarang, kebahagiaan yang melingkupi mereka saat itu juga, kemudian menyambutnya dengan tawa dan senyum semringah. Dentingan piano yang menutup kebersamaan mereka membuat film ini berakhir dengan perasaan hangat, meski penonton mungkin disisakan dengan kebingungan karena plot twist yang tersaji.
Buat KINCIR, film ini adalah alasan kenapa kita enggak boleh lupa memanusiakan manusia, sekecil apa pun perasaan itu, semua berharga.
***
Buat kamu yang belum nonton, Monster masih tayang di bioskop tanah air. Monster telah memenangkan dua penghargaan Cannes Film Festival, yaitu di kategori Queer Palm yang dimenangkan oleh sutradara Hirokazu Kore-eda dan Best Screenplay yang dimenangkan oleh Yuji Sakamoto. Kalau kamu penasaran seindah dan sebagus apa film ini, langsung aja mampir ke bioskop terdekat!