Review Film Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso

Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso
Genre
  • Documentary
Actors
  • Edi Darmawan Salihin
  • Erasmus Napitupulu
  • Marcella Zalianty
  • Otto Hasibuan
Director
  • Herwin Novianto
Release Date
  • 28 September 2023
Rating
2 / 5

Kasus pembunuhan dengan kopi sianida yang terjadi di Olivier, Grand Indonesia, dengan korban Wayan Mirna Salihin memang sudah agak lama dilupakan orang. Namun, dokumenter Ice Cold : Murder, Coffee, and Jessica Wongso kembali mengingatkan orang-orang pada kasus tahun 2016 tersebut.

Mirna sendiri tercatat tewas karena adanya sianida pada kopinya dan Jessica Wongso, teman yang bertemu dengannya pada saat itu, menjadi terdakwa pembunuhnya. Namun, pandangan masyarakat terbelah antara apakah betul Jessica memang membunuh atau ada kesalahan penyelidikan? Terlebih, Jessica Wongso hanya didakwa selama dua puluh tahun penjara.

Dokumenter ini diharapkan dapat memberikan jawaban dan kelegaan kepada masyarakat. Namun, benarkah hal itu terjadi? Apakah dokumenter ini bakal membuka tabir, menampilkan hal-hal yang masyarakat enggak ketahui, atau sekadar rekapitulasi dari apa yang memang sudah dilihat oleh penonton di media? Mari simak review-nya di sini.

Review Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso

Mirna dan Jessica via Istimewa

Dokumentasi yang Cukup Lengkap

Fungsi dasar dari film dokumenter adalah dokumentasi dan apa yang akan kamu lihat di dalamnya memang merupakan dokumentasi dari berbagai tayangan terkait dugaan pembunuhan Wayan Mirna Salihin. Dokumentasi-dokumentasi ini dikumpulkan dari berbagai sumber, mulai dari tayangan berita, talkshow politik, hingga talkshow hiburan. Pada masanya, pembunuhan Mirna memang sangat viral dan diperbincangkan berbulan-bulan layaknya kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Ferdy Sambo.

Untuk urusan rekapitulasi, dokumenter ini cukup baik dalam melakukannya. Ia mengumpulkan sumber dari banyak media, mengurutkannya dengan baik, sehingga mereka yang dulu enggak terlalu mengikuti atau malah sudah lupa dengan uraian kasus ini, bisa kembali mengingat setiap rinciannya. Kapan Mirna menemui ajalnya, siapa yang ditinggalkan, hingga background Jessica Wongso sendiri lengkap disampaikan di sana.

Saat kamu menonton dokumenter Netflix ini, kamu enggak perlu mengubek-ubek berita atau menonton tayangan lama buat memahami kejadiannya. Ditambah lagi, dokumenter tersebut juga menayangkan wawancara baru dari Edi Darmawan Salihin(ayah Mirna), Otto Hasibuan (pengacara Jessica Wongso), Erasmus Napitupulu (Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)), Budi Budiawan (toxicologist), hingga presenter yang meliput peradilan itu.

Dokumenter ini mencoba buat menjadi agak netral dengan menyajikan pendapat berimbang tentang apa yang terjadi. Kita pun dibuat agak bimbang mengenai apakah benar Jessica Wongso adalah pembunuh Mirna? Ataukah peradilan sengaja membuat “jalan pintas” supaya ada terdakwa? Atau ada konspirasi di balik itu semua? Dari dokumenter ini, sebetulnya kita bisa mengambil kesimpulan tentang apa yang mau disampaikan.

Ya, kecenderungan dokumenter ini ada dua. Yang pertama, mempertanyakan bukti-bukti yang dianggap lemah atas tuduhan pembunuhan terhadap Jessica Wongso. Yang kedua, mengkritik sistem kepolisian dan peradilan Indonesia. Seperti yang kita tahu, banyak sekali berita tentang bagaimana peradilan dan kepolisian Indonesia kadang enggak berimbang, mengambil jalan pintas, bahkan menuduh orang yang salah karena “enggak mau repot” dan karena adanya relasi kuasa berupa uang dan jabatan. Jika dokumenter itu berniat demikian, maka dokumenter ini sukses untuk menyajikannya.

Namun, memang dokumenter ini terasa jadi enggak berimbang karena dalam berbagai wawancara, dukungan terhadap Jessica Wongso terasa lebih berat. Hal itu bisa saja terjadi karena memang bukti-bukti yang dulu ditampilkan lemah, tetapi bisa saja terjadi karena penonton mau digiring ke arah sana. Meski begitu, sisi positifnya, kita menjadi lebih paham mengenai bagaimana seharusnya penyelidikan pembunuhan berjalan. Penyelidikan pembunuhan seharusnya memang enggak instan dan harus melibatkan banyak ahli, bukannya hanya didasarkan pada subjektivitas media atau menjual kesedihan semata.

Sinematografi yang “Jomplang”

Mengambil footage, baik dari film, sinetron, atau rekaman media di Indonesia memang bukan hal yang mudah. Maksudnya, kebanyakan kualitas yang ditampilkan memang kurang baik dan itulah yang bisa kita rasakan saat menonton footage-footage lama. Rekaman video dari berbagai media terasa jomplang kualitasnya jika dibandingkan dengan standar yang dihadirkan oleh Netflix dan juga rekaman wawancara-wawancara terkini. Saat melihat opening, kita melihat Bundaran HI dan Grand Indonesia (tempat kejadian perkara) ditampilkan dengan baik. Wawancara-wawancara pun memiliki shoot yang cantik. Namun, saat beralih ke footage, rasanya mata akan terganggu karena kualitasnya memburuk. Jadi, saat melihat rangkaian footage dari berbagai media atau dari rekaman internal pengadilan, kita harus mengandalkan narasi dan suara buat memahami apa yang terjadi. 

Otto Hasibuan via Netflix

Dalam kasus ini, memang kita enggak bisa sepenuhnya menyalahkan kreator. Pasalnya, stok footages yang bisa mereka andalkan cukup terbatas. Meski begitu, hal tersebut memperkuat kesan “terburu-buru” dalam film dokumenter ini.

Kesan Terburu-Buru dan Kurang Bercerita

Sebagai dokumentasi, memang penulis merasa kalau film dokumenter ini cukup lengkap dan niat. Namun, rasanya jadi ada kesan terburu-buru. Film ini seperti hanya mengandalkan berbagai footages lama dan wawancara buat membangun cerita yang dikemas dengan alur agak membosankan. Ini sedikit berbeda dengan dokumenter lain seperti The Jeffrey Dahmer Tapes di Netflix yang benar-benar dikemas dengan lengkap, di mana footages lama, bahkan kisah masa kecil hingga berbagai hal yang memperkuat kasus Dahmer dikemas hingga seperti story. Jadi, saat melihatnya, kita enggak kayak melihat kumpulan fakta, tetapi melihat cerita. Itulah yang hilang dari dokumenter ini. 

Dokumenter ini terasa hanya tell, tetapi tidak terlalu show. Kita tahu bahwa ada yang salah dalam sistem peradilan Indonesia, tetapi dokumenter ini terlalu instan menyajikannya dengan membuat narasi, baik dari narasumber (sepupu Jessica Wongso) atau dari wawancara dengan Erasmus Napitupulu, misalnya. Dokumenter ini kurang mengeksplorasi “rasa”, baik mereka yang tertuduh, mereka yang curiga, mau pun mereka yang kehilangan. Jadi, kesannya kita seperti melihat berita demi berita, bukan sebuah film dokumenter yang bernas.

Terkait hal ini, film memang memiliki pembelaan. Jessica Wongso sendiri kabarnya dilarang melakukan wawancara setelah interview dengan Netflix, karena sudah terlalu “dalam”. Jika apa yang disampaikan oleh film itu nyata, penonton memang sedikit kekurangan bahan dari orang yang “penting”, yakni terdakwa kasus, karena adanya pengaruh dari pihak berwenang. Namun tetap saja, jika wawancara yang lengkap dari Jessica Wongso ditampilkan, tetap enggak mengubah kenyataan adanya jalinan cerita yang nuansanya kurang, jika dilihat dari segi tontonan dan bukan rangkaian fakta semata.

Konklusi Film yang Sedikit Bingung Arah

Bagian akhir dari dokumenter ini menampilkan masyarakat kecil, mereka yang rentan mendapatkan ketidakadilan dan dibandingkan dengan Jessica Wongso yang masih memiliki power. Intinya, jika orang seperti Jessica Wongso saja bisa terkena dampak dari penyelidikan yang bias dan enggak lengkap, bagaimana dengan orang lain yang sama sekali enggak punya power? 

Pesan akhir ini, ditambah dengan wawancara ayah Jessica yang sedang sakit, merupakan message kuat yang membuat kita kembali kesal terhadap sistem kepolisian dan hukum di Indonesia yang memang kerap kurang kompeten, dipenuhi intrik dan KKN, serta cenderung tumpul ke atas, tajam ke bawah. Namun, justru hal ini menjadi boomerang bagi film, karena, apa yang mau disampaikan menjadi kurang jelas. Film ini seperti kebingungan antara ingin membedah kasus lebih dalam, menyajikan fakta yang enggak pernah dilihat masyarakat, memahami dari sisi keluarga Mirna dan Jessica, atau mau mengkritik sistem di Indonesia? Semua seolah bertumpuk menjadi satu dan membuat penonton bingung mengenai apa konklusinya.

***

Bagaimana pendapat kamu tentang dokumenter Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso? Apakah kamu mendapatkan sesuatu yang baru dengan menonton film ini atau kah semua yang disajikan sudah pernah kamu ketahui bertahun-tahun lalu? Yuk, bagikan pendapatmu di kolom komentar!

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.