Baru-baru ini, industri film Indonesia berduka atas meninggalnya Rifqi Novara, lulusan Institut Kesenian Jakarta 2019, yang diduga akibat kecelakaan kerja. Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) turut melayat dan menyampaikan keprihatinan atas insiden ini melalui akun X mereka, @SINDIKASI_. Ketua SINDIKASI, Ikhsan Raharjo, menyoroti isu waktu kerja yang berkepanjangan di industri film sebagai salah satu penyebab masalah keselamatan kerja.
Kesehatan dan waktu istirahat sering terganggu akibat durasi kerja yang panjang di dunia kreatif, termasuk kru film. Jam biologis pekerja kerap terpengaruh, apalagi dengan tekanan untuk menyelesaikan proyek dengan target yang ketat. Kurangnya kesadaran pemberi kerja untuk mematuhi aturan kerja menjadi salah satu penyebabnya.
Peraturan kerja bagi pekerja film Indonesia sebenarnya ada, namun banyak yang tidak mengetahuinya atau mengabaikannya. Proyek sering kali diutamakan atas kesejahteraan pekerja, yang terpaksa mengorbankan kesehatan dan waktu tidur demi memenuhi harapan pasar.
Sebetulnya, bagaimana sih peraturan tentang pekerja film di Indonesia? Yuk cari tahu poin-poinnya di sini.
Regulasi Kerja Insan Film Indonesia
Aturan Jam Kerja yang Enggak Sesuai Undang-Undang
Menurut Kompas, UU Ketenagakerjaan sebenarnya sudah mengatur durasi kerja maksimal 8 jam sehari, dan lebih dari itu dihitung sebagai lembur. Namun, menurut Hukumonline, aturan spesifik untuk pekerjaan shift seperti di industri film Indonesia tidak ada. Pekerja shift diatur maksimal 7 jam per hari untuk 6 hari kerja atau 8 jam untuk 5 hari kerja, dengan total maksimal 40 jam per minggu. Jika lebih dari itu, harus ada persetujuan tertulis dari pekerja dan perusahaan, serta upah lembur harus dibayarkan.
Sayangnya, industri film Indonesia sering mengabaikan aturan ini. Survei Indonesia Cinematographers Society pada 2023 menunjukkan rata-rata pekerja film bekerja 16-20 jam per hari. Kondisi ini memperlihatkan betapa jam kerja yang sangat panjang menjadi masalah serius bagi kru film.
Aktris Nadine Alexandra juga mengkritik standar kerja di dunia film Indonesia yang kurang teratur. Dalam wawancara dengan CNN, sutradara Brian L. Tan membagikan pengalamannya, di mana ia menegaskan waktu kerja hanya 12 jam per hari, dengan syarat semuanya dilakukan secara efisien. Keterlambatan dan inefisiensi sering kali menyebabkan jam kerja menjadi sangat panjang di industri ini.
Kewajiban Pemberian Jaminan Sosial dan Kesehatan
UU No. 33 tahun 2009 mengatur tentang kewajiban yang harus disediakan oleh pemberi kerja terhadap insan perfilman demi keselamatan dan keamanan mereka. Kewajiban-kewajiban itu antara lain adalah perlindungan hukum, perlindungan asuransi pada usaha perfilman yang berisiko, jaminan keselamatan dan kesehatan kerja, dan jaminan sosial.
Untuk insan perfilman di bawah umur (seperti aktor, misalnya) juga harus dilindungi dengan aturan khusus pekerja di bawah umur untuk case tertentu. Sayangnya, banyak kontrak kerja film yang kadang hanya berlandaskan kepercayaan, hingga para insan perfilman terkait enggak mendapatkan jaminan apa pun dan cuma mendapatkan honorarium saja.
Mitra yang sejajar dengan pelaku usaha perfilman
Pasal 47 UU No. 33 Tahun 2009 menyebutkan bahwa insan perfilman berhak menjadi mitra sejajar dengan pelaku usaha film. Wartawan senior Tempo, Kemala Atmojo, dalam opininya di Sindonews menyoroti bahwa insan perfilman seharusnya tidak dikontrak dengan PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu). Ia menilai bahwa kontrak profesi lebih sesuai, seperti kontrak antara perusahaan dengan arsitek atau pengacara, di mana hak dan kewajiban jelas diatur untuk masing-masing pihak.
Kemala juga mengkritik kasus absurd di mana kontrak PKWT untuk satu film bisa berlangsung hingga empat tahun, padahal durasi tersebut terlalu lama. Dalam kontrak profesi, insan perfilman akan diperlakukan sebagai mitra yang memberikan jasa profesionalnya, bukan sebagai pekerja biasa. Namun, masalah jam kerja tetap menjadi perhatian utama yang harus diatur jelas dalam kontrak tersebut.
Aktor Reza Rahadian pernah memprotes Menteri Tenaga Kerja, Ida Fauziyah, mengenai jam kerja ideal bagi insan perfilman. Menurut Reza, durasi 12 hingga 14 jam seharusnya sudah maksimal untuk aktor dan kru film. Ia juga mempertanyakan aturan syuting sinetron yang seringkali berlangsung hingga pagi demi mengejar jadwal tayang.
Kewajiban Asuransi Kesehatan yang Kadang Abai
Kewajiban pemberian asuransi kesehatan kepada insan perfilman juga diatur dengan jelas dalam Pasal 47 UU 33 Tahun 2009. Jadi, setiap insan film berhak menerima asuransi dari pelaku usaha perfilman.
Masih dalam wawancara yang sama, Reza Rahadian menyebutkan kalau seorang insan perfilman sakit, misalnya, pelaku usaha akan memberikan uang dengan jumlah tertentu. Namun, dengan begitu, pelaku usaha perfilman berekspektasi kalau insan perfilman sudah punya asuransi terlebih dahulu, karena ia hanya mengganti sesuai bujet yang sudah diterapkan.
Hal ini bisa jadi sesuatu yang riskan karena, bisa saja insan perfilman, termasuk aktor, mengalami sakit yang biayanya di atas biaya yang akan diberikan pelaku usaha perfilman. Tanpa asuransi, maka insan perfilman bisa saja tekor.
Pemerintah Belum Tegas Mengatur Mengenai Insan Perfilman
Ada banyak sekali undang-undang mengenai perfilman. Namun, banyak insan perfilman yang merasa kalau pemerintah enggak tegas dalam menentukan aturan yang spesifik terkait hal tersebut.
Maka dari itu, SINDIKASI dan Indonesia menerbitkan kertas posisi Sepakat di 14: Advokasi Pembatasan Waktu Kerja dan Perlindungan Hak Pekerja Film Indonesia.
Kertas posisi tersebut meminta waktu kerja para insan perfilman dibatasi sampai maksimal 14 jam dalam sehari.
Enggak cuma itu aja, mereka juga menegaskan kalau UU 33 Tahun 2009 tentang Perfilman juga belum menjamin perlindungan pekerja film. Dilansir dari CNN, mereka juga meminta Kementerian Ketenagakerjaan, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dan Badan Perfilman Indonesia (BPI) buat turut serta dalam memperhatikan nasib insan film.
Walaupun kualitas film Indonesia makin membaik dari waktu ke waktu, tetapi tentunya kita berharap kalau hal tersebut juga diikuti oleh membaiknya kualitas lingkungan kerja bagi para insan film. Karena, film-film berkualitas tentu juga bisa konsisten dihasilkan dari para insan yang kesehatan fisik dan mentalnya diperhatikan dengan serius.