Penutup dari trilogi Venom akhirnya hadir! Buat penggemar dua film sebelumnya, tentu enggak sabar menanti kelanjutan perjalanan Venom dan Eddie Brock yang sedang jadi buronan. Akhir seperti apa yang menanti keduanya? Yang jelas, menurut KINCIR, Venom: The Last Dance adalah hiburan yang menarik.
Namun, apakah film ini berhasil menyajikan kualitas yang dibutuhkan. Dari penjualan pre-sale dan pendataan penonton di AS-Kanada, Venom: The Last Dance diperkirakan berada di bawah angka Black Adam (2022), dengan proyeksi sekitar USD 65 juta. Kemudian sampai hari ini, skor Venom: The Last Dance di Rotten Tomattoes juga cenderung turun; dari 40% ke 37% per hari ini (28/8)
Soal itu, yuk simak beberapa poin penting dari Venom: The Last Dance!
5 Hal yang bikin Venom: The Last Dance mengecewakan
1. Ketergantungan sama Bromance
Yap, meski chemistry Venom dan Eddie Brock yang diperankan oleh Tom Hardy udah klop banget, sayangnya hal ini justru bikin momen mereka berdua terasa dieksploitasi banget. Akhirnya, Venom: The Last Dance melupakan bahwa sebuah film butuh hal lainnya selain karakterisasi pemeran utamanya. Jujur aja, selain Tom Hardy sebagai Eddie Brock dan Venom, karakter lain terasa mudah terlupakan.
Karakter penting seperti dr. Paine dan Jenderal Strickland pun rasanya enggak dimaksimalkan keberadaannya oleh Kelly. Jujur aja, talenta Chiwetel Eijofor terlihat disia-siakan dengan line yang terbatas dan sedikit ruang untuk mengembangkan karakternya.
Kemunculan Knull yang diperankan oleh Andy Serkis juga agak jauh dari ekspektasi. Enggak menakutkan, padahal Knull adalah karakter penting untuk kelanjutan franchise SONY Spider-Man Universe (SSU). Selain Tom Hardy dan Peggy Lu yang kembali memerankan Mrs. Chen, semua pemeran dan karakternya sama sekali enggak terasa menyatu. Ini masalah pertama yang membuat film ini enggak tergarap dengan baik.
2. Narasi yang kering
Kelly Marcel telah berpengalaman menulis naskah dalam dua film sebelumnya dan kembali menulis naskah sekaligus menyutradarai film penutup ini. Sayangnya, Kelly enggak berhasil membuat film ini menarik dan hanya berharap kepada chemistry asyik Eddie dan Venom, yang keduanya tentu saja berhasil berkat kepiawaian Tom Hardy. Ketika kita mulai menjauh dari adegan bromance kocak keduanya, film ini terasa kering.
Setiap adegan terasa seperti potongan halaman demi halaman yang hanya ditempel, kemudian diusahakan agar terlihat rapi, padahal sebenarnya kalian masih bisa melihat bekas potongannya dengan jelas. Patah, enggak mengalir, Kelly terlalu bergantung pada bromance Eddie dan Venom dan melupakan bahwa sebuah film juga perlu narasi yang kuat untuk membuat bromance Eddie dan Venom berhasil.
3. Kemunculan perdana Knull enggak dimaksimalkan
Sepanjang dua film terakhir, kita sudah melihat hal-hal luar biasa yang bisa Venom lakukan dengan kekuatannya. Namun, baru di Venom: The Last Dance kita melihat Venom ketakutan. Siapakah sosok yang membuatnya takut ini? Dia adalah Knull, sang pencipta Venom. Film ketiga ini pun menjadi kemunculan perdana Knull.
Sayangnya, Knull yang muncul dengan efek CGI yang “maksa” membuatnya sama sekali jauh dari kata mengerikan. Keberadaannya yang membuat Venom bahkan takut untuk menyebut namanya malah jadi terasa enggak signifikan.
Xenophage justru terkesan jauh lebih mengerikan! Bukankah seharusnya Knull dipersiapkan untuk menjadi villain terkuat, mengingat dia sudah selevel Dewa! Suara Andy Serkis sama bahkan sekali enggak menyelamatkan karakter ini.
4. Ending yang Cheesy
KINCIR sebenarnya cukup terkesan kepada satu adegan, yaitu ketika Eddie berjalan keluar dari tempat persembunyiannya dan berubah ke wujud penuh Venom, memancing Xenophage mengejarnya. Adegan inilah satu-satunya yang membuat kalian wajib menonton film ini sampai selesai. Sayang sekali Kelly menyimpan satu kunci terakhir, benar-benar hanya satu, di akhir film. Setelah adegan ini, sayangnya Kelly justru membuatnya antiklimaks dan cringe.
Alih-alih mengakhiri film ini dengan aksi yang memukau, Kelly malah hanya memberikan potongan memori Eddie dan Venom diiringi lagu “Memories” yang justru membuat momen terakhir itu terkesan cheesy. Akhirnya, aksi yang bikin merinding sebelumnya jadi terlupakan dan film ini pun berakhir dengan antiklimaks.
5. Aksi yang Keren, Tapi…
Bagi KINCIR, cara paling aman buat menikmati film ini memang hanya dengan menikmati aksinya. Aksi ala Tom Cruise di Mission Impossible, kemunculan banyak symbiote yang bertarung melindungi Venom, hingga aksi badass Venom mengorbankan dirinya demi menyelamatkan Eddie, semua membuat film ini masih layak untuk dinikmati. Namun, aksi-aksi seru ini terasa tercerai berai sehingga membuat film ini jadi kehilangan nyawanya.
Oke, ada banyak symbiote lainnya yang muncul membantu Venom. Oke, Xenophage memiliki kemampuan yang mengerikan. Tapi, semua itu hanya dimunculkan seakan setiap adegan hanya terjadi begitu saja. Hasilnya, enggak ada tegangan yang terbangun.
Pada akhirnya Venom: The Last Dance enggak berhasil memberikan kepuasan untuk menutup trilogi ini; yang membuatnya harus puas dengan skor 37% di Rotten Tomattoes. Venom: The Last Dance sudah tayang di bioskop tanah air sejak 25 Oktober 2024 lalu. Nah, menurut kamu, apakah film terakhir dari trilogi Venom ini sudah cukup memuaskan?