Ada banyak film yang dibuat dengan muatan seks dan ketelanjangan yang vulgar, tetapi alih-alih disebut sebagai film porno, film semacam itu disebut sebagai film semi. Contohnya seperti film Hollywood American Pie, film Jepang Kabuchiko Love Hotel, film Filipina Liberated, atau film Korea The Concubine. Lalu, kalau memang sama-sama menampilkan adegan-adegan yang tabu, mengapa film-film semi enggak dikategorikan sebagai film porno?
Rupanya, ada beberapa poin yang membuat film semi dan film porno menjadi enggak sama. Apa saja karakter yang membedakan kedua genre ini? Cari tahu di sini, ya!
Selisih tipis film semi dan film porno, apa saja batasannya?
Konten Seksual Mencolok vs Halus
Dalam film porno, konten seksual seperti misalnya penetrasi, ejakulasi, bahkan eksperimen pada bagian sensitif betul-betul ditampilkan dengan jelas. Bahkan, bisa dibilang kalau poin utama pembuatannya adalah hal tersebut. Maka dari itu, aktor-aktornya akan melakukan adegan-adegan seksual itu secara betulan, bukan cuma pura-pura atau malah menggunakan manipulasi kamera dalam pembuatan konten seksual. Itulah yang membuat para aktor film porno di beberapa negara maju harus secara rutin melakukan tes kesehatan seksual –soalnya mereka memang melakukan hubungan seksual betulan dalam peran mereka.
Bagaimana dengan film semi? Para aktor yang melakukan adegan seks biasanya enggak betul-betul melakukannya. Ada batas dalam film semi, meskipun mereka betul-betul telanjang, misalnya. Biasanya, manipulasi kamera, penyuntingan, atau kostum/peralatan khusus yang serupa warna kulit akan dipakai untuk menghindari ketelanjangan penuh atau bahkan sentuhan di bagian-bagian sensitif pada saat adegan seks berlangsung.
Enggak jarang juga, koordinator keintiman dihadirkan dalam pembuatan film. Koordinator keintiman bertugas mengarahkan aktor untuk lebih nyaman dalam melakukan adegan panas dan membantu menghadirkan chemistry antaraktor.
Plot vs Adegan Seksual
Film semi memang akan menampilkan ketelanjangan atau adegan seksual yang cukup frontal, bahkan memperlihatkan bagian sensitif atau memberikan durasi yang cukup lama pada adegan seks. Meski begitu, adegan seksual bukanlah fokus utama pada film, melainkan sebagai bumbu/pelengkap saja. Maka dari itu, enggak semua film semi adalah “film kacangan”. Banyak film semi yang bisa mendapatkan pujian dari kritikus, skor tinggi di platform penilaian film, bahkan penghargaan.
Berbeda dengan film semi, film porno berfokus pada konten seksual. Plot dan elemen cerita lainnya merupakan pelengkap, bahkan seringkali enggak setia sama premisnya sendiri. Jalinan plot pada film porno seringkali enggak punya development yang baik, karena yang penting, adegan seksual bisa terlihat sesuai genrenya, baik itu genre softcore, hardcore, dan sebagainya.
Ending film porno, sebaik apa pun kualitas pembuatannya, juga cenderung monoton. Bagian akhir film biasanya hanya menunjukkan kelelahan karakter usai berhubungan seksual, kepuasan, atau penyesalan. Film porno tidak memerlukan resolusi atas permasalahan lain.
Kualitas Sinematografi
Walaupun enggak semua film semi punya kualitas sinematografi tinggi, tetapi aspek sinematografinya selalu mengikuti standar film pada umumnya.
Bagaimana dengan film porno? Keindahan visual bukan fokus utama dalam film porno. Memang, sih, ada film-film porno yang memiliki kualitas sinematografi apik, bahkan sekelas film-film di bioskop atau malah film festival seperti film porno produksi PureTaboo. Namun, kebanyakan film porno tetap berfokus pada elemen-elemen seksual. Close-up shot kerap kali diberikan pada aktivitas seks atau bagian-bagian tubuh yang sensitif.
Kedalaman Karakter
Seburuk-buruknya kualitas cerita film semi, setiap karakternya memiliki reason dan penggambaran karakter yang cukup bisa dipahami. Dalam melakukan aktivitas seksual misalnya, karakter-karakter dalam film punya faktor pendorong yang sudah dijabarkan terlebih dahulu, sehingga penonton paham mengapa mereka berada di dalam situasi itu.
Film porno kerap mengabaikan kedalaman karakter. Seolah-olah, tujuan hidup karakter-karakter di dalamnya memang hanya berhubungan seksual saja. Meskipun sebuah film porno punya kualitas pembuatan yang bagus, kompleksitas karakter enggak akan diperhatikan. Kamu akan sering menemukan situasi di mana seseorang mau-mau saja diajak berhubungan seksual dengan orang asing tanpa penjelasan mengapa tiba-tiba mereka mau melakukannya –dan penonton film porno memang enggak memerlukan penjelasan itu lantaran yang mereka cari bukanlah kisah, melainkan adegan seks itu sendiri.
Film-film porno Johnny Sins, misalnya. Saat ia bermain sebagai dokter, sejak awal karakter dokter itu enggak dibangun dengan meyakinkan. Enggak jelas spesialisasi apa yang ia miliki sebagai dokter, karena yang terpenting adalah ia hanya harus berada di dalam situasi yang “seksi” dengan lawan mainnya.
Distribusi/Penayangan Film
Banyak film semi yang bisa tampil di layar bioskop atau bahkan masuk ke dalam festival seperti Kabukicho Love Hotel yang diputar di Toronto International Film Festival pada tahun 2014. Proses distribusinya pun sama dengan proses distribusi film-film bioskop, layar kaca, atau platform VOD pada umumnya.
Namun, distribusi film porno berbeda dengan distribusi film semi. Film porno biasanya akan diunggah di situs-situs porno (seperti Brazzers atau agregator semacam PornHub, XHamster, XVideos, dsb) dan dapat dinikmati secara utuh oleh penonton dengan membayar biaya langganan. Sebelum penggunaan Internet masif seperti sekarang, film porno seperti Japanese Adult Videos dijual di tempat-tempat khusus dalam bentuk DVD (hal ini juga masih berlaku sampai sekarang di beberapa red light district).
Film porno enggak akan bisa masuk ke dalam layar bioskop, diputar di festival film, atau masuk ke platform VOD biasa. Maka dari itu, karena dianggap berbeda dengan film pada umumnya, awards yang diselenggarakan untuk film porno pun bersifat khusus, seperti AVN (Adult Videos News) Awards.
***
Kendati sama-sama punya muatan bersifat seksual, film semi dan film porno memang merupakan genre yang betul-betul berbeda dengan proses pembuatan dan distribusi yang juga enggak sama. Namun, tetap saja kedua film ini berada pada rating dewasa dan bukan film yang bisa dengan bebas dinikmati oleh semua penonton dari berbagai usia.