Apa yang membuatku takut, juga menakutkan bagimu. Kita semua takut pada hal yang sama. Itulah yang membuat horor merupakan genre yang sangat kuat. Yang perlu kamu lakukan adalah mencari tahu apa yang menakutkanmu, maka kau tahu apa yang membuatku takut,” John Carpenter.
Ternyata sudah cukup lama Indonesia “dihantui” film horor. Bahkan faktanya terjadi sejak sebelum Indonesia berhasil merenggut kemerdekaan dari tangan penjajah. Ouw Peh Tjoa, juga dikenal dengan judul Melayu, Doea Siloeman Oeler Poeti en Item (Dua Siluman Ular Putih dan Hitam), adalah film Hindia Belanda tahun 1934.
Film ini disutradarai dan diproduseri The Teng Chun. Diadaptasi dari Legenda Siluman Ular Putih, sebuah cerita rakyat Tiongkok, film ini mengisahkan seekor ular ajaib yang hidup sebagai manusia tetapi akhirnya mati. Film ini menjadi penanda sebuah era bahwa kelak Indonesia akan “dihantui” film horor hingga puluhan tahun setelahnya.
Indonesia dihantui film horor sejak dulu
Doea Siloeman Oeler Poeti en Item (Dua Siluman Ular Putih dan Hitam) bisa jadi juga menjadi pelopor dari sistem sekuel akan sebuah film sukses di negeri ini. Karena berhasil membuat masyarakat menyerbu bioskop untuk menyaksikannya, film ini akhirnya dilanjutkan 2 tahun setelahnya dengan judul Anaknja Siloeman Oeler Poeti. Doea Siloeman Oeler Poeti en Item (Dua Siluman Ular Putih dan Hitam) sendiri terus diputar di bioskop hingga tahun 1953.
Beberapa tahun setelahnya film Tengkorak Hidup dirilis. Tepatnya pada tahun 1941. Tengkorak Hidoep mengisahkan perjalanan perjalanan sekelompok orang ke Pulau Mustika. Salah satu remaja itu, Raden Darmadji ingin mencari saudaranya yang hilang dalam kecelakaan kapal. Namun mereka mengalami masalah.
Mereka bertemu dewa Maha Daru yang telah hidup di sana selama dua ribu tahun. Akibat badai, Maha Daru bangkit. Petir menyambar makamnya dan ia menjadi tengkorak hidup yang dikelilingi api. Darmadji disergap preman dan makhluk halus. Putrinya, Rumiati selamat, namun terancam oleh Maha Daru.
Tapi yang sering didengungkan banyak kalangan sebagai film horor Indonesia pertama adalah Lisa yang dibuat hampir 40 tahun setelahnya, tepatnya pada tahun 1971. Kritikus film, Ekky Imanjaya, menganggap Lisa sebagai “sebuah film yang progresif dan liberal. Berlawanan dengan teori state ibusm atau to-be-looked-at.”
Lisa berkisah tentang seorang ibu tiri (Rahayu Effendi) ingin membunuh anak suaminya yang telah meninggal, demi mengangkangi hartanya dan melicinkan hubungannya dengan sopirnya, Harun (Sophan Sophiaan).
Mula-mula disuruhnya Budi (Sukarno M. Noor) untuk membunuh sang anak itu, Lisa (Lenny Marlina), dengan bayaran 10 juta. Budi gagal dan lalu dibunuh oleh ibu tiri itu sendiri. Lalu disuruhnya dr. Santo (Wahid Chan) dengan bayaran sama. Oleh Santo yang ternyata baik hati, Lisa hanya dipingsankan dan upahnya digunakan untuk memelihara Lisa dan bayinya, hasil hubungan Lisa dengan Harun.
Ibu tiri yang merasa telah bisa menguasai seluruh warisan, malah terteror bayangan Lisa. Ketakutan ini begitu hebat, hingga ketika Lisa kembali ke rumah pun, ketakutan itu tak kunjung hilang, bahkan sang ibu tiri terjun ke jurang.
Hampir bersamaan dengan dirilisnya Lisa juga dirilis Beranak Dalam Kubur yang melahirkan ratu horor Indonesia yang belum tergantikan hingga saat ini: Suzzanna. Beranak dalam Kubur diadaptasi dari komik Tangisan di Malam Kabut karya Ganes TH, disutradarai Awaludin dan dibintangi Suzanna, Mieke Widjaja, Dicky Suprapto dan Ami Prijono.
Era keemasan film horor Indonesia dengan Suzzanna sebagai ratunya
Sejak tampil dalam Beranak Dalam Kubur, Suzzanna langsung mendominasi skena film horor tanah air. Keberadaannya bahkan tak tertandingi hingga hari ini. Film horor Indonesia mencapai puncak keemasannya bersamaan dengan film-film yang dibintangi Suzzanna mendominasi bioskop selama 20 tahun sejak tahun 1971 – 1991.
Setelah Beranak Dalam Kubur, Sundel Bolong (1981) mengukuhkan Suzzanna sebagai ratunya film horor. Dan Ratu Ilmu Hitam yang masih di tahun produksi yang sama berhasil membuat kualitas aktingnya diperhitungkan dan masuk dalam daftar nomine Pemeran Utama Wanita Terbaik Festival Film Indonesia 1982.
Dari 41 film yang dibintanginya sejak 1950 -1991, 19 judul diantaranya bergenre horor termasuk diantaranya Nyi Ageng Ratu Pemikat, Perkawinan Nyi Blorong (1983), Telaga Angker (1984), Ratu Sakti Calon Arang, Bangunnya Nyi Roro Kidul (1985), Malam Jumat Kliwon, Petualangan Cinta Nyi Blorong (1986), Santet, Ratu Buaya Putih, Malam Satu Suro (1988), Wanita Harimau/Santet 2 (1989), Pusaka Penyebar Maut, Titisan Dewi Ular (1990), Perjanjian di Malam Keramat dan Ajian Ratu Laut Kidul (1991).
Nurdiyansyah Dalidjo melihat film-film Suzzanna yang lekat dengan kekerasan sebagaimana yang dituliskannya via Magdalene. “Film-filmnya selalu lekat dengan adegan kekerasan. Suzanna kerap memainkan peran sebagai sosok gaib (setan), dukun yang menguasai ilmu hitam (teluh atau santet), dan perempuan sakti, seperti sundel bolong, Calon Arang, Nyi Roro Kidul, dan Nyi Blorong. Dan musuh-musuhnya jelas dan sebagian besar adalah laki-laki–para pemerkosa serta pria-pria yang haus kekuasaan dan ingin kaya raya secara instan.
Awalnya, Suzzanna tampil sebagai gadis cantik yang lugu dan baik-baik, kemudian menjadi target kekerasan. Ia bisa jadi perempuan yang diperkosa, lalu tewas, dan arwahnya menuntut balas. Bisa jadi perempuan yang dituduh mempraktikkan ilmu hitam atau menyantet orang, lalu mengalami persekusi, dan ia membalas dendam dengan berguru pada sosok yang sakti untuk mendapatkan kekuatan.
Sebagai korban, kematian atau pelarian atau pengucilannya merupakan potret dari kebuntuan situasi. Negara tidak hadir dengan hukum dan perangkatnya serta nilai-nilai moral gagal melindungi ia yang perempuan.”
Perempuan sebagai hantu dalam film horor Indonesia
Penguasaan Suzzanna dengan film-film horor yang dibintanginya juga menyiratkan satu hal yang kelak ditelaah oleh banyak peneliti berpuluh tahun setelahnya. Bahwa ia menjadi representasi bagaimana perempuan sangat sering dijadikan sebagai obyek penderita dalam film horor. The Conversation menurunkan hasil studinya pada tulisan yang diterbitkan pada 13 Juni 2022 yang mencatat 559 film horor Indonesia yang dirilis selama periode 1970-2019 menunjukkan bahwa perempuan sangat dominan direpresentasikan sebagai hantu dan karakter utama.
Sebanyak 338 (atau 60,47%) dari total film tersebut menghadirkan sosok perempuan sebagai hantu utama. Hanya 135 film (atau 24,15%) yang menghadirkan sosok laki-laki sebagai hantu utama. Sementara, 86 film (atau 15,38%) menghadirkan sosok perempuan dan laki-laki sebagai hantu utama. Sementara itu, peran utama laki-laki sering berwujud tokoh pemuka agama, seperti ustaz atau pastor yang bertugas untuk ‘mengusir’ atau ‘menyembuhkan’ tokoh protagonis perempuan yang menjelma menjadi hantu untuk kembali ke alamnya.
Dosen dari Universitas Padjajaran bernama Justito Adiprasetio bersama dengan Annisa Winda Larasati dari UGM menulis sebuah jurnal berjudul Ketimpangan Representasi Hantu Perempuan pada Film Horor Indonesia periode 1970-2019. Dalam jurnal ini, disebutkan bahwa sejak film Lisa terbit pada 1971 di layar lebar Tanah Air, hantu perempuan mendominasi.
“Bahkan sebelum KKN di Desa Penari, Pengabdi Setan (2017) yang menjadi manifestasi kesuksesan film horor kontemporer Indonesia ditayangkan di banyak layar secara internasional juga menempatkan perempuan sebagai hantu utama, ” tulis Justito di akun Twitter @justitoadi saat membahas jurnal tersebut pada pada 19 Mei 2022 sebagaimana dikutip dari Inibaru.id.
Peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Gita Putri Damayana menyebut dominannya hantu perempuan di Indonesia terkait dengan rendahnya keadilan bagi korban-korban kasus kriminal yang dialami para perempuan. Adanya mitos balas dendam dari para korban inilah yang kemudian memunculkan hantu-hantu tersebut.
Si manis Jembatan Ancol dan sundel bolong adalah perempuan korban kekerasan seksual yang menjadi hantu untuk menuntut keadilan. Sementara kuntilanak dan sundel bolong gagal mendapatkan layanan kesehatan yang layak. Mereka meninggal bersama dengan bayi mereka saat persalinan,” jelas Gita masih dikutip dari Inibaru.id.
Film horor di era Orde Baru
Raka Putra Pratama melalui esai yang diterbitkannya via Medium menulis soal bagaimana film horor di era Orde Baru yang begitu kental dengan unsur religi. “Film-film horor di masa Orde Baru kental dengan unsur religi-keagamaan. Peran agama ini biasanya tayang dalam menetralisir dan mengalahkan kekuatan supranatural yang menjadi tokoh antagonis. Peran tokoh keagamaan yang dikenal dengan kaum santri dalam “literatur sejarah Jawa”, muncul sebagai antitesis terhadap mistisisme di film horor.
Tokoh keagamaan dalam film horor dapat diprediksi, mereka selalu bisa mengalahkan kekuatan supranatural yang biasanya diaktori oleh “kaum abangan”. Walau kaum abangan dalam film horor tidak selalu muncul, tetapi tokoh agama selalu ada dalam menetralkan keadaan.”
Raka memberi 4 judul film sebagai representasi atas temuannya tersebut masing-masing Dukun Lintah (1981), Ratu Ilmu Hitam (1981), Nyi Blorong (1982) dan Malam Satu Suro (1988). Film Dukun Lintah (1981) yang disutradarai oleh Ackly Anwari menggambarkan kemenangan mutlak kekuatan religio-spiritual terhadap mistisisme-supranatural kaum abangan. Dalam film ini si dukun melakukan guna-guna dengan media lintah kepada semua warga desa.
Tindakan si dukun tidak bertahan lama, anti-tesis terhadap kekuatan mistis muncul, sang ustaz. Sang Ustaz tiba-tiba datang di tengah kerumunan warga yang terkena guna-guna lintah. Dengan membacakan doa-doa, ustaz tersebut berhasil mengundang petir dari langit yang kemudian menyembuhkan warga yang terkena lintah. Tak lama setelah itu si dukun lintah kena imbasnya, tubuhnya dipenuhi oleh lintah. Di sini kekuatan religio sang ustaz berhasil menaklukan mistisme abangan si dukun.
Dikotomi antara mistisme-supranatural dan religio-spiritual hadir dalam film Ratu Ilmu Hitam (1981). Kekuatan mistisme-supranutral sangat menonjol dalam film ini. Murni sang lakon utama berusaha membalaskan dendamnya kepada warga desa yang telah membuangnya.
Murni dibantu oleh sang dukun abangan untuk melampiaskan dendam tersebut. Satu-persatu warga desa lumpuh oleh kekuatan magis. Di akhir cerita, sangat terlihat pertentangan antara agama dan mistisisme dalam film ini.
Murni tiba-tiba mengamuk, kekuatan mistisnya berhasil membuat warga di masjid terbakar. Gedon sang dukun berusaha mengendalikan Murni namun hal ini ditentang oleh kekuatan religi. Warga dalam film tersebut serentak membacakan ayat kursi terhadap Murni dan si dukun. Murni sadarkan diri sedangkan si dukun habis dan tidak berdaya.
Munculnya tokoh keagamaan yang mengalahkan kekuatan mistisme juga terlihat dalam film Nyi Blorong (1982). Film ini menceritakan tentang seorang pria yaitu Cokro, yang melakukan pesugihan ala abangan untuk mengais rezeki secara instan melalui Nyi Blorong. Tokoh keagamaan datang pada awal cerita dengan memperingati bahwa penyembahan terhadap Nyi Blorong untuk memperkaya diri adalah musyrik.
Peran ustaz juga muncul untuk menetralisir keadaan saat Sasti, anaknya Cokro, mengalami kesurupan. Arwah yang memasuki tubuh Sasti berhasil dikalahkan oleh doa yang dilantunkan oleh ustaz.
Peran tokoh agama pada film Malam Satu Suro (1988) ialah ketika sundel bolong mulai membalaskan dendamnya dengan cara-cara yang keji, lalu ustaz meredakan situasi dengan membacakan doa agar sundel bolong dapat pergi kembali ke alamnya dengan tenang.
Alhasil nona sundel bolong kembali tenang oleh kekuatan sang ustaz.
Sementara itu Nanang Krisdinanto, pengajar Komunikasi Media dari Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya, mengungkapkan soal reprentasi kiai sebagai kehadiran negara dalam sinema.
Kiai dengan segala atribut religiusnya diposisikan sebagai tokoh protagonis yang melambangkan “kemenangan kebaikan atas kejahatan.” Mereka hampir selalu muncul di ujung kisah film horor. Segalak apapun hantu yang bergentayangan, mereka tidak akan berdaya di hadapan tokoh agama atau atribut keagamaan.
Tokoh agama dianggap sebagai figur yang tepat untuk menjaga atau memulihkan ketertiban, yang pada titik tertentu bisa dilihat sebagai “perpanjangan tangan” negara. Kehadiran kiai ini bisa juga dipahami sebagai strategi kebudayaan atau kontrol pemerintah Orde Baru untuk melanggengkan kepatuhan warga negara terhadap segala bentuk otoritas.
Fenomena ini sejajar dengan sering munculnya tokoh kepala desa, hansip, atau polisi dalam film-film bergenre lain, yang selalu digambarkan sebagai pemulih ketertiban dan pembawa pesan pembangunan, “ ujarnya sebagaimana dikutip dari Konde.co.
***
Pedoman untuk membuat film horor yang bisa dinikmati terus-menerus memang tak ada, namun artikel ini menjabarkan betapa fenomenalnya genre horor di Indonesia. Bahkan, dari data yang telah dipaparkan tadi, sangat jelas bahwa film Horor harusnya tidak kehabisan penikmat.
Nantikan part kedua artikel ini hanya di KINCIR, ya!