Sebuah renungan di Hari Film Nasional.
Tahun 2003 menjadi salah satu tahun penting dalam sejarah perfilman Korea Selatan. Silmido karya sutradara Kang Woo-suk menjadi film Korea Selatan pertama yang berhasil menembus pencapaian 10 juta penonton.
Di tahun yang sama, dua film lainnya, Oldboy dan Memories of Murder meraih perhatian luas di sejumlah festival bergengsi sekaligus meraih sukses komersial di negerinya sendiri. Oldboy karya Park Chan-wook meraih Grand Jury Prize di Cannes Film Festival sekaligus membukukan perolehan box office sebesar 3,25 juta penonton. Sementara Memories of Murder besutan Bong Joon Hoo beroleh FIPRESCI Prize dan San Sebastian International Film Festival sekaligus mencetak perolehan box office sebesar 5,25 juta penonton.
Film Indonesia sendiri baru berhasil beroleh pencapaian 10 juta penonton yang dicetak film KKN di Desa Penari di tahun 2022. Hingga hari ini film-film kita masih terus berjuang tampil di festival bergengsi untuk mendapatkan pengakuan internasional.
Menengok ke belakang, sebenarnya usia perfilman Indonesia sudah cukup panjang. Loetoeng Kasarung dicatat sejarah sebagai film Indonesia pertama yang diproduksi di tahun 1926. Begitupun justru film Darah dan Doa dianggap sebagai tonggak sebagai film Indonesia pertama yang diproduksi oleh rumah produksi Indonesia sekaligus oleh sutradara Indonesia di tahun 1950. Hari pertama pengambilan gambar film yang disutradarai Usmar Ismail tersebut pada 30 Maret 1950 akhirnya ditetapkan sebagai Hari Film Nasional.
Sementara itu, pada akhir tahun 1990-an, film-film produksi Korea Selatan masih dianggap sebagai produk “kelas dua” dan belum bisa menyaingi kualitas film impor utamanya dari Hollywood. Sebagaimana dikutip dari Kompas, pada periode yang sama juga terjadi penurunan drastis produksi film Indonesia dan menjadi periode terparah sejak kebangkitan pada awal tahun 1970.
Ada banyak faktor, seperti perkembangan televisi swasta, sistem manajemen perusahaan perfilman, dan persaingan dengan film asing. Jumlah produksi film nasional semakin merosot hingga titik memprihatinkan, bahkan hanya berkisar enam hingga sembilan judul saja setiap tahunnya.
Kebangkitan film Indonesia dan Korea Selatan pun sesungguhnya terjadi di waktu berdekatan. Setelah dihajar krisis yang terjadi di tahun 1997, kedua negara mulai bangkit setahun setelahnya.
Namun yang menarik dicermati adalah mengapa perfilman Korea Selatan melaju tak terbayangkan sedangkan film Indonesia bahkan belum mampu mencapai setengah dari sukses yang dicetak sinema Korea Selatan?
Indonesia ketinggalan jauh soal jumlah layar bioskop
Salah satu hal yang paling sering mendapat perhatian terkait dengan perkembangan sinema tanah air adalah jumlah layar bioskop di Indonesia yang masih jauh dari ideal. Dengan jumlah penduduk sebanyak 273,8 juta jiwa menurut data Badan Pusat Statistik, setidaknya Indonesia layak memiliki 6000-7000 layar.
Menurut data Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia [GPBSI] yang dilaporkan pada Mei 2022, jumlah layar bioskop di Indonesia mencapai 2.088 layar. Sebanyak 65 persen di antaranya adalah milik jaringan Cinema XXI, baru kemudian ada jaringan CGV, Cinepolis, dan independen. Padahal sejak dicabutnya bioskop dari Daftar Negatif Investasi, semestinya jumlah layar bioskop terus meningkat pesat dan investor semakin berlomba-lomba membangunnya hingga ke pelosok.
Jumlah layar bioskop yang kurang lebih mendekati sudah dicapai Korea Selatan di tahun 2015 dengan 2492 layar. Dengan jumlah layar sebanyak itu negeri ginseng itu bisa beroleh mencetak 18 film dengan perolehan di atas 10 juta penonton dan menempatkan Korea Selatan sebagai pasar internasional terbesar keempat di seluruh dunia.
Kritikus film Hikmat Darmawan menilai pemerataan bioskop di seluruh Indonesia akan menjadi kunci untuk mendorong kemajuan industri film nasional pada tahun-tahun mendatang. Faktanya di tahun 1980-an jumlah layar bioskop Indonesia menembus angka 6000-an layar karena bioskop menembus semua kalangan dari strata sosial A-B-C.
Bioskop tak hanya ada di kota besar/ibukota propinsi bahkan di kota kabupaten di pelosok. Saya sendiri yang menghabiskan masa kecil di Polewali [sekarang Sulawesi Barat] di akhir tahun 1990-an mengingat di kota itu bahkan ada 3-4 bioskop sekaligus.
“Sekarang kan menuju 2.500 layar saja ngos-ngosan. Dulu 6.600 layar berarti di atas kertas seluruh kabupaten kita ada bioskopnya. Artinya ada lapis bioskop juga, bioskop kelas A, B, C. Sekarang kan seolah-olah bioskop itu harus kelas A semua, harus mewah. Menurut saya, di kota-kota kecil, bioskop yang murah adalah masa depan industri kita. Tapi kan orang berpikirnya (bioskop) kelas Plaza Senayan semua. Itu kan enggak realistis untuk penduduk Indonesia,” ujar Hikmat sebagaimana dikutip dari Kantor Berita Antara.
Tak lepas dari peran penting pemerintah
Sepuluh tahun sebelum Silmido, Oldboy dan Memories of Murder meraih sukses, Korea Selatan menyadari film sebagai komoditas yang menguntungkan pasca suksesnya film besutan Steven Spielberg, Jurassic Park. Sebagaimana dikutip dari Tirto, Presiden Korea Selatan saat itu, Kim Youngam, mulai mengakui nilai ekonomi industri hiburan sebagai komoditas. Pada masa itu pula, studio film dapat mengakses pinjaman bank sekaligus mendapat pembebasan pajak untuk biaya produksinya.
Dalam workshop Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea Batch 2 yang digelar oleh Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation (Jakarta, 5 Desember 2022), pakar studi internasional dari Universitas Korea, Andrew Kim, juga menuturkan hal serupa. Tahun 1993-1994 menjadi titik balik bagi pemerintah Korea Selatan untuk menjadikan industri kreatif sebagai industri strategis nasional. Hasil dari penjualan tiket film Jurassic
Park yang setara dengan penjualan mobil andalan Korea Selatan, Hyundai, menyadarkan pemerintah sepenuhnya. “Itu cukup untuk menyadarkan pembuat kebijakan Korea dan publik tentang gagasan budaya sebagai sebuah industri,” tuturnya sebagaimana dikutip dari Tempo.
Kita memang tertinggal puluhan tahun dari Korea Selatan terkait dukungan pemerintah kepada industri perfilman nasional. Tidak padunya kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga dituding sebagai penyebab tidak cukup cepatnya akselerasi industri film di tengah pencapaian industri film sendiri yang terus bertumbuh dengan kokoh dari tahun ke tahun dengan jumlah layar bioskop yang masih sangat terbatas.
Jika dijabarkan setidaknya ada sejumlah hal yang bisa dilakukan pemerintah demi mengejar ketertinggalan dari Korea Selatan:
Pertama, memudahkan pihak swasta membangun bioskop di kota-kota kecil dengan skema insentif/pajak yang menarik.
Kedua, pemerintah pusat dan daerah bekerjasama meramu sebuah aturan yang memudahkan rumah-rumah produksi —terutama independen— yang tersebar di seluruh Indonesia yang jumlahnya jauh lebih banyak dari jumlah rumah produksi besar dalam mengakses permodalan terkait pembiayaan film.
Ketiga, pemerintah daerah berpartisipasi aktif membantu pengembangan komunitas film dengan penyediaan anggaran khusus secara konsisten.
Keempat, pemerintah pusat meramu skema insentif pajak yang bisa digunakan untuk pembiayaan film-film dengan tema-tema non-komersial/idealis yang diupayakan untuk berpartisipasi di festival film internasional.
Kelima, pemerintah menerbitkan aturan yang mewajibkan perusahaan swasta menyediakan anggaran khusus terkait dengan dukungan sponsorship untuk produksi film nasional. Tentu saja sebagaimana Korea Selatan, pemerintah perlu mencanangkan industri kreatif sebagai industri strategis nasional dengan cetak biru perencanaan hingga 20 tahun ke depan.
Belajar dari Korea Selatan yang tak gentar untuk berbeda
Tahun ini menjadi tahun yang menarik bagi pencapaian jumlah penonton film Korea Selatan di negeri ini. Setelah bertahun-tahun rekor jumlah penonton dipegang Parasite dengan perolehan sekitar 700 ribu penonton, maka tahun ini Exhuma mendobrak dengan pencapaian hingga 3 kali lipat sekaligus. Sesuai data yang dipublikasikan pada 26 Maret 2024, Exhuma sudah mencatat perolehan 2,2 juta penonton.
Exhuma juga menarik dicermati di tengah kisruh film Kiblat yang dianggap melewati batas toleransi penonton atas sebuah film yang menggunakan simbol-simbol agama secara serampangan sekaligus hanya sebagai epigon dari menjamurnya film horor religi.
Baik Exhuma maupun Kiblat sama-sama film horor namun Exhuma yang juga menginjeksikan unsur kepercayaan dalam filmnya selalu bisa menahan diri untuk menghormati apa yang diyakini sebagian besar penontonnya. Hal yang perlu diapresiasi dari Exhuma adalah bagaimana film tersebut juga berani berbeda dari kebanyakan film horor dengan mencoba mengulik sisi sejarah yang menarik dan justru membangkitkan keingintahuan masyarakat khususnya generasi muda.
Kredo “think different” yang dilakoni Steve Jobs sudah dilakukan perfilman Korea Selatan puluhan tahun sebelumnya. Sebagaimana dikutip dari Deutsche Welle, persaingan ketat membuat para pelaku bisnis di Korea Selatan, termasuk mereka yang bergelut di industri film, dipaksa berinovasi terus-menerus, tidak hanya di ibu kota Seoul, melainkan di semua kota besar. Jika seseorang ingin menarik perhatian di negara ini, mereka harus melakukan sesuatu yang benar-benar kreatif, unik, dan baru.
Bandingkan dengan di industri film kita. Sejak sukses fenomenal KKN di Desa Penari di Lebaran tahun 2022 tiba-tiba bioskop dibanjiri film horor. Salah satu yang menarik dari bangkitnya kembali tren film horor adalah pencapaian 2 film horor, Qodrat dari sutradara Charles Gozali dan Inang dari sutradara Fajar Nugros.
Keduanya membuat standar baru di industri atas pencapaian artistik maupun isi filmnya sendiri. Qodrat dianggap mendefinisikan ulang film horor dengan memberi tempat pada ustadz menjadi tokoh utama dan mendorong filmnya memaksimalkan unsur aksi sehingga menjadikan Qodrat terasa menyegarkan. Sementara Inang yang mencampurkan horor dan thriller dianggap berhasil karena menyajikan komentar sosial secara menarik dalam sebuah film.
Begitupun yang selalu menjadi masalah di tengah tren adalah bermunculannya pedagang film berkedok produser film. Mereka yang sekedar menunggangi tren semata untuk kepentingan komersial, memproduksi film berkualitas buruk tanpa memikirkan keberlangsungan dan kepercayaan masyarakat terhadap film lokal. Mereka yang memproduksi film berbiaya murah hanya untuk mengeruk puluhan hingga ratusan ribu penonton agar bisa balik modal. Akhirnya seperti lingkaran setan, produksi film horor sampah pun seakan tak berhenti karena ternyata masih ada saja penonton yang menyaksikannya di bioskop.
Filosofi Han, kunci sukses Korea Selatan
Saya mengetahui filosofi Han setelah membaca buku tentang industri kreatif Korea Selatan yang ditulis secara menarik oleh Euny Hong berjudul Korean Cool.
Sebagaimana kita ketahui Korea Selatan dijajah Jepang pada tahun 1910-1945. Sebelum Korea Selatan dijajah oleh banyak bangsa selama ratusan bahkan ribuan tahun. Masyarakat Korea Selatan meyakini bahwa kemajuan yang mereka capai saat ini dilandasi dengan filosofi yang mereka sebut sebagai Han.
Filosofi Han tampil sebagai rasa balas dendam, rasa ingin membuktikan, dan rasa ingin melakukan hal terbaik setelah lama mengalami penderitaan dan penjajahan. Orang Korea tentu saja memiliki Han terhadap orang Jepang. Tetapi mereka berusaha membalasnya dalam hal-hal positif.
Pada tahun 1997 Presiden Kim Young-sam harus berhutang pada IMF sebesar 57 milyar dollar (sekitar 750 triliun rupiah). Bagi warga Korea Selatan, hari permohonan hutang dinyatakan sebagai hari memalukan nasional. Kombinasi dari rasa malu dan filosofi Han yang mengalir deras dalam darah warga justru menjadi pemacu semangat bangkitnya negeri tersebut dari keterpurukan. Presiden baru, Kim Dae-jung, memanfaatkan momentum tersebut dengan menginstruksikan bahwa kebangkitan Korea tidak bisa dilakukan sendiri oleh pemerintah, kebangkitan bisa terjadi jika dilakukan ikhtiar secara nasional.
Masih dalam buku Korean Cool, Euny juga memaparkan sejumlah faktor penting yang berperan dalam suksesnya Korea Selatan mengimpor budaya populernya di seluruh dunia. Selain filosofi Han, juga diyakini karakter orang Korea terkait kegigihan, keteguhan, keyakinan akan harapan dan terus melakukan gerakan dan inovasi agar bangsa dan negeri mereka maju tidak hanya skala kecil namun bahkan targetnya mendunia juga mengambil porsi besar.
Inovasi menjadi kata kunci. Berani berpikir berbeda. Saat rumah-rumah produksi besar cenderung membebek, berada dalam status quo dengan memproduksi film yang dianggap mengikuti tren —padahal tak selamanya terbukti sukses—, rumah-rumah produksi independen justru mendobrak.
Salah satu yang mencatat sejarah adalam Imajinari yang didirikan dynamic duo, Dipa Andika dan Ernest Prakasa, dengan pencapaian film Agak Laen dari cerita orisinal yang sudah mencetak perolehan box office mencapai 9 juta penonton. Masa depan film Indonesia bisa jadi memang akan dibangun justru oleh rumah-rumah produksi independen yang seharusnya lebih berani berpikir orisinal.
Jadinya dalam 20 tahun ke depan di tahun Indonesia Emas 2045, apakah kita bisa mencapai apa yang sudah diraih Korea Selatan sejauh ini? Ketika sebuah film berhasil menyentuh jumlah penonton hingga 17 juta orang sebagaimana yang dicapai film The Admiral: Roaring Currents di tahun 2014? Ketika sebuah film berhasil beroleh beberapa piala Oscar termasuk kategori Film Terbaik di Academy Awards sebagaimana yang dicapai Parasite di tahun 2020?
Selamat Hari Film Nasional!