Deretan Film Bagus yang Enggak Laku karena Promosi Film yang Menipu

Kebanyakan orang menilai bahwa kualitas yang bagus dengan aktor yang aktingnya cemerlang sudah cukup untuk membuat film digemari banyak penonton. Nyatanya, ada satu elemen eksternal yang kerap dilupakan, padahal penting untuk membuat film meraup untung besar: marketing film yang sesuai, bukan promosi film yang menipu.

Barbie (2023) menjadi sukses bukan hanya karena penggodokan cerita yang berlangsung lama dan pemilihan aktor A-list. Dengan pemasaran yang gila-gilaan, baik secara daring mau pun luring, Barbie mampu mencetak keuntungan hingga 1,4 triliun dolar pada minggu pertama Agustus. Pemasaran Barbie ini dilakukan bahkan di tempat umum, mulai dari stiker di halte bus sampai Barbie raksasa di Dubai, membuat orang-orang pun ikut-ikutan tren pakaian Barbie.

Sayang, enggak semua produser film punya bujet atau intensi untuk membuat promosi segila itu. Beberapa film yang bagus ini apes lantaran promosi film yang menipu dan membuat mereka bikin kesel penonton.

Apa saja film-film bagus yang flop karena marketingnya enggak sesuai? Ini dia.

Film-film berkualitas yang flop karena promosi yang menipu

The Hunchback of Notre Dame (1996)

Notredame via Istimewa

Usai nominasi Beauty and The Beast dalam Best Picture dan kesuksesan secara finansial, Disney memutuskan untuk membuat The Hunchback of Notre Dame yang diangkat dari novel karangan Victor Hugo, pengarang asal Prancis yang legendaris.

Sebetulnya, animasi ini adalah karya yang bagus. Lantas mengapa ia kurang laris dan malah menuai kritik?

Rupanya, hal ini dipengaruhi oleh trik iklan dan promosi film dari Disney. Disney, yang ingin menarik pasar utama mereka, yakni anak-anak, menampilkan adegan-adegan yang seolah menunjukkan bahwa film ini ringan di trailer dan berbagai iklannya.

Sayangnya, saat menonton, anak-anak justru bingung bahkan agak ketakutan melihat betapa beratnya isu dan beberapa adegan yang sebenarnya hanya dipahami orang dewasa. Maka dari itu, film ini pun menuai banyak kritik dan enggak disukai layaknya Beauty and the Beast.

Good Morning Vietnam (1987)

Good Morning Vietnam via Istimewa

Saat mendengar tentang film yang dibintangi oleh Robin Williams, apa yang lantas kamu pikirkan? Mungkin, kamu akan berpikir tentang film-film heartwarming yang memiliki sedikit humor ringan.

Good Morning Vietnam bukannya enggak memiliki humor, tetapi apa yang disampaikan cukup berat dan enggak terlalu mengingatkan kita pada berbagai film yang dibintangi Robin Williams. Peran yang dibawakan Robin dan isunya terlalu serius.

Apakah itu menjadi masalah? Ya, itu adalah masalah saat trailer dan promosi film justru memberikan kesan bahwa film ini akan menjadi film yang sarat akan humor. Sehingga, pada akhirnya penonton pun kecewa saat menontonnya. Padahal, dengan branding yang tepat, film ini bisa cukup disukai karena memang kualitasnya bagus.

Annihilation (2018)

Annihilation via Istimewa

Baik dalam poster mau pun trailer, Annihilation terlihat seperti film fiksi ilmiah yang seru dan menyenangkan untuk ditonton agar melepaskan penat. Sayangnya, saat menontonnya, kamu justru akan merasa resah.

Annihilation bercerita tentang keberadaan The Shimmer, sebuah ruang anomali yang dibuat oleh alien di Bumi. Alien-alien di dalamnya rupanya dapat membuat tiruan manusia (doppelganger)

Annihilation bukan film fiksi ilmiah biasa. Lupakan jika kamu mengharapkan aksi dengan monster yang motivasinya begitu sederhana dengan fighting sebagai penyelesaian masalah. Annihilation sebetulnya lebih filosofis dengan mind games yang bikin bingung dan membuatmu merasa enggak enak hati.

Annihilation adalah film berkelas. Permasalahannya, Annihilation dipromosikan sebagai sci-fi biasa dan akhirnya orang-orang pun merasa kecewa dan jenuh saat menontonnya. Padahal, jika dipromosikan kepada penggemar arthouse, pastinya akan lebih tepat sasaran.

Mother! (2017)

Mother! via Istimewa

Mother adalah film dengan alegori yang ciamik, tentang seorang perempuan yang disebut Ibu (melambangkan mother Earth) dan “suaminya” yang seorang penyair bernama Him (merepresentasikan Tuhan). Rumah mereka yang indah itu kemudian kedatangan manusia, lama-kelamaan semakin banyak manusia yang membuat kekacauan dan kerusakan.

Film ini sebetulnya adalah arthouse yang berkelas. Namun, kesalahan pemasaran membuat penghasilannya pas-pasan, enggak jauh dari bujetnya secara internasional. Sebelum dirilis, film ini dipasarkan sebagai film horor, sehingga saat yang mereka dapatkan adalah alegori yang cukup depth, penonton pun merasa kecewa.

It Comes at Night (2017)

It Comes at Night via Istimewa

Dengan tagline fear turns men into monsters banyak orang yang berharap bahwa film ini menyajikan kisah seorang pria yang menjadi gila dan menyebabkannya menjadi monster, atau mungkin infeksi tertentu yang terjadi kepadanya.

Infeksi itu memang ada di dalam film ini, tetapi sayangnya infeksi virus di luar sana hanya menjadi trigger bagi sebuah keluarga untuk berada di rumah, berhadapan dengan diri mereka masing-masing dan mengeluarkan semua potensi konflik yang ada saat di rumah. It Comes at Night bukan film yang buruk, bahkan cukup serius sebagai psychological thriller. 

Namun, pemasaran dan tagline menunjukkan kalau film ini bermaksud menyajikan horor dan kengerian berdara lain, bukannya kental akan drama. Selain itu, trailer-nya seperti berbohong saat menyajikan clue kalau mungkin ada monster.  Ritme yang kemudian dianggap kurang “horor” bikin film ini mengecewakan penonton.

Film-film di atas mungkin enggak mendapatkan rating buruk, tetapi jelas mengecewakan produser dan semua yang terlibat di dalamnya soal penghasilan. Dari mereka, kita bisa belajar bahwa elemen promosi film juga enggak boleh diabaikan, karena promosi film yang menipu malah justru bikin penonton kurang menghargai karya dan enggak mendapatkan apa yang mereka mau.

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.