*Spoiler Alert: Review film Suzume no Tojimari ini mengandung bocoran yang bisa saja mengganggu kamu yang belum menonton.
Jika ada satu hal yang selalu punya makna dalam sekaligus traumatis bagi sebagian masyarakat Jepang, mungkin itu adalah gempa. Berada di atas Cincin Api Pasifik, masyarakat Jepang seolah hidup di atas cacing raksasa yang bisa bergeliat kapan saja.
Metafora barusan adalah premis utama dari Suzume No Tojimari karya Makoto Shinkai. Mengambil cerita tentang kenangan Tsunami Tohoku 2011 berkekuatan 9,0 SR, Makoto Shinkai menggunakan fantasi untuk menjelaskan sebuah filosofi hidup yang bisa dijadikan pelajaran dalam menerima kehilangan. Bicara soal mitologi gempa, sebetulnya masyarakat Jepang punya cerita soal ikan lele raksasa (Ōnamazu) di inti Bumi yang jika menggeliat bisa menyebabkan gempa hingga tsunami. Namun, alih-alih menggunakan mitologi turun-temurun tersebut, Shinkai menggunakan cacing.
Sama seperti kebanyakan anime dengan tema fantasi, menonton Suzume No Tojimari adalah membiarkan dirimu masuk ke dalam sebuah dunia yang ajaib. Visualisasinya menawan, premisnya juga feel-good walau dilandasi banyak cerita kematian.
Review film Suzume no Tojimari (2023)
Sinopsis film Suzume no Tojimari (2023)
Suzume No Tojimari berkisah tentang petualangan seorang perempuan bernama Suzume dan lelaki misterius bernama Souta dalam mencegah bencana gempa bumi terjadi di seantero Jepang. Bencana itu terjadi lantaran sebelumnya Suzume tertarik pada kekuatan sebuah pintu lapuk dan membuka kenopnya.
Usut punya usut, pintu tersebut ternyata mengandung batu segel cacing raksasa penyebab gempa dan Souta adalah salah satu dari sekian penjaga pintu yang harus memastikan enggak ada pintu terbuka. Keduanya pun kemudian harus mencari Batu Kunci yang betul-betul dapat menyegel pintu untuk menyelamatkan seantero Jepang.
Ini bukan film pertama Shinkai terkait fenomena alam. Sebelumnya, Shinkai pernah menghadirkan bencana meteorit dalam Your Name dan masalah cuaca dalam Weathering with You.
Perayaan atas kematian sekaligus kehidupan
Awalnya, kita mengira bahwa kita hanya akan dibawa menuju petualangan kebaikan melawan kejahatan. Perjalanan Suzume dan Souta memang sebetulnya hanya bertujuan mencegah bencana dengan memastikan semua pintu tersegel. Namun, ujung dari film ini rupanya bukan tentang melawan kejahatan, tetapi tentang menerima.
Setiap kali mencoba menutup pintu, kita akan mendengar jampi-jampi panjang Souta sebagai bentuk permohonan kepada dewa untuk melindungi mereka. Jampi-jampi itu bukan sekadar kata-kata, karena jika dipahami lebih dalam lagi, jampi-jampinya adalah apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh film ini.
Lewat Suzume no Tojimari, Shinkai enggak mau hanya menggambarkan kisah heroik yang sukses atau masalah yang selesai. Seperti apa yang dikatakan Souta acap kali memohon, masalah enggak akan selesai. Kehidupan suatu saat akan tergantikan kematian. Taman hiburan ramai, sekolah unggulan, hingga desa yang indah semuanya suatu saat akan menjadi kenangan, puing-puing semata. Enggak ada yang abadi.
Itulah yang sering disalahartikan oleh manusia. Mereka mengira bahwa hidup yang baik adalah hidup tanpa bencana, kehilangan, kegagalan, dan kematian. Nyatanya, yang pasti dalam hidup ini hanyalah “akhir”. Jadi, salah besar jika manusia menegasikan kematian, kegagalan, dan kehilangan. Soalnya, yang penting dalam hidup adalah tentang menikmati setiap momen dan menjalin hubungan sebaik mungkin dengan banyak orang.
Makoto Shinkai lagi-lagi sukses memanifestasikan nilai filosofi yang berat itu ke setiap hal sederhana dalam Suzume no Tojimari. Contoh-contoh kecilnya seperti interaksi Suzume dengan tantenya yang agak overprotektif kepadanya, teman-temannya, hingga orang asing yang ia temui dalam setiap perjalanannya.
Setiap orang di dalam film ini memiliki latar belakang yang berbeda. Dari sampul, kelihatannya mereka seperti orang pada umumnya yang bisa diabaikan. Namun, saat mengenal mereka lebih dekat, rasanya seperti semakin memahami bahwa hidup itu sangat berarti, penuh dengan kehangatan, selama kita mau menerima setiap perbedaan.
Inspirasi untuk memberanikan diri menghadapi trauma
Dalam setiap bencana, selalu ada kehilangan dan kematian yang menyebabkan trauma. Banyak orang yang kemudian melanjutkan hidup, menjauh dari semua hal yang merangsang ingatan tentang trauma itu,. Termasuk Suzume yang enggak pernah ke kampung halamannya lagi setelah ia diangkat sebagai anak oleh tantenya.
Suzume pun enggak pernah benar-benar mau mengingat kejadian tsunami 2011 karena ia begitu sedih kehilangan ibunya. Namun, semakin ia menjauh, semakin ia enggak mengenal “sumber” dari bencana di dalam hatinya.
Pada akhirnya, cara supaya Suzume bisa menghargai hidupnya dan mengatasi rasa kosong di dalam hatinya adalah dengan menghadapi sumbernya. Suzume enggak perlu lari dan menjauh, yang perlu ia lakukan hanya jujur dan menerima hal itu dengan lapang dada.
Metafora kucing yang manis
Daijin, kucing jelmaan Batu Kunci yang hidup setelah Suzume membuka kenop terasa sangat menyebalkan di separuh cerita. Kucing ini bukannya bikin gemes seperti The Cat Returns-nya Ghibli, tetapi sangat creepy dan menyebalkan. Setelah film hampir berakhir, kita baru menyadari mengapa kita sebal sama kucing “dewa” ini, sama seperti kenapa kita mungkin sering sebal dengan kenyataan.
Kucing ini mungkin hanya terlihat digambarkan sebagai perwujudan dewa yang ternyata punya misi menuntut Suzume dan Souta. Namun, jika kita bedah lagi, kucing putih ini bisa dianalogikan sebagai kata hati terdalam kita.
Seringkali, orang dengan trauma seperti Suzume menolak kata hatinya sendiri dan memilih untuk pura-pura tuli dari suara-suara itu. Dalam kasus film ini, Suzume enggak pernah betul-betul terbuka kepada bibi yang menyayanginya dan teman-teman yang peduli kepadanya. Namun, saat Suzume membuka kenop, itu diibaratkan seperti ia mulai punya keberanian untuk “menghadapi ketakutan itu”.
Kejadian itu bisa menjadi metafora bagi siapa saja yang mulai berani untuk membuka trauma masa lalunya. Saat itulah, suara hatinya, yang dalam Suzume no Tojimari berbentuk kucing putih, hidup dan mulai “mengajak berpetualang”. Dalam petualangannya, Suzume bukan hanya menemukan fakta tentang masa lalunya serta menemukan pintu-pintu yang harus disegel, tetapi menemukan makna kehidupan dan makna pentingnya manusia saling berhubungan dengan orang lain selaku makhluk sosial.
Sedikit pengembangan chemistry antartokoh akan menyempurnakan
Souta adalah kunci penting bukan cuma bagi petualangan dan pendewasaan Suzume, tetapi juga awal dari keberaniannya menghadapi trauma masa lalu. Tentu itu enggak bisa dilepaskan dari fakta bahwa Suzume menyukai dan kemudian mencintai Souta. Ya, banyak kejadian di mana seseorang berani berkembang bahkan berangsur sembuh dari trauma masa lalu karena cinta.
Sayang, eksplorasi chemistry Souta dan Suzume kurang diperdalam. Padahal, perjalanan demi perjalanan yang mereka lalui bisa menjadi latar untuk menciptakan momen-momen berkesan antara keduanya. Lagipula, Souta, yang diubah menjadi kursi justru punya andil besar untuk berhubungan dengan kenangan masa lalu Suzume tentang kursi tersebut: benda peninggalan sang ibu. Souta sebagai kursi dan kursi itu sendiri adalah koneksi dari masa lalu ke masa depan. Eksplorasi yang dalam akan menyempurnakan perjalanan hubungan keduanya dan pilihan-pilihan hidup Suzume di kemudian hari.
Momen-momen yang kurang dalam dan obrolan yang kurang mengena rasa, membuat rasa cinta Suzume yang dalam kepada Souta terasa agak janggal dan sedikit dipaksakan. Agak lucu melihat bahwa perasaan Suzume bisa dengan mudahnya berkembang dari rasa kagum, jadi cinta. Bahkan tiba-tiba saja Suzume bisa rela mengorbankan nyawa, padahal enggak terlalu banyak obrolan mendalam di antara mereka berdua.
Kurangnya chemistry di antara keduanya sebetulnya agak mengecewakan. Terlebih, mengingat Shinkai pernah sukses besar membuat chemistry antartokoh yang bikin gagal move-on. Apalagi kalau bukan dalam 5 Centimeters per Second, di mana keterikatan antara tokoh pria dan wanita bisa bikin kita berempati bahkan ikutan galau.
Namun, itu adalah kelemahan yang agak minor jika dibandingkan dengan semua kejadian dan penokohan dalam film. Baik karakter Suzume, Souta, bahkan tante Suzume pun dikembangkan dengan baik sebagai individu. Kita melihat mereka bukan hanya sebagai orang baik, tetapi manusia sebagaimana adanya mereka, dengan kompleksitas, kelebihan, dan kekurangan.
Adegan demi adegan yang mengembuskan nada
Scoring dalam film ini hampir sempurna. Ia enggak terasa seperti tempelan, tetapi seperti embusan nafas dari momen. Semua lagu dan nada, termasuk dari Radwimps (Suzume), terasa tercipta dari adegan yang berlangsung, bukan hanya musik yang menyamai suasana.
Lagu-lagu yang diputar saat mobil Serizawa berjalan, kendati diceritakan norak, tetapi sebetulnya sangat sesuai dengan suasana –terlepas dari Serizawa yang memang doyan menyamakan playlist Spotify dengan suasana yang sedang ia hadapi–. Scoring ini berpadu sempurna dengan keindahan Kyushu, cantiknya Kobe, hingga langit magis Ever-After, dunia yang bukan didiami orang hidup. Langitnya seperti campuran antara nebula dan sinar surgawi yang misterius.
Dalam beberapa sketsa, diperlihatkan pula bahwa langit itu berpadu dengan residu-residu masa lalu: barang-barang rusak dan reruntuhan rumah yang terjadi akibat bencana alam. Paduan seni yang sungguh cantik, ajaib, membuat kita berada di persimpangan rasa takjub, bahagia, takut, bingung, sedih, sekaligus terharu. Sinematografi ini seolah menjadi representasi dari alam pikiran Suzume.
Langit magis menyimbolkan harapan dan rasa sayang banyak orang terhadap dirinya. Sementara itu, barang-barang rusak dan rumah-rumah roboh menggambarkan masa lalunya yang pahit dan menyeramkan akibat kematian sang ibu saat tsunami Tohoku 2011.
Film ini lagi-lagi menunjukkan bahwa bukan hal yang mengherankan jika Makoto Shinkai dijuluki sebagai the new Hayao Miyazaki. Selain vibe dari anime-anime besutannya yang sama, Shinkai berhasil menggabungkan cantiknya anime klasik, fantasi gila, dengan isu-isu terkini.
Lucunya, salah satu adegan di dalam film ini sempat merujuk kepada salah satu film besutan Studio Ghibli, Whisper of the Heart. Seolah, dalam film yang kental akan nuansa Howl’s Moving Castle dan Spirited Away ini, Makoto Shinkai memang sangat terinspirasi dan menghormati karya-karya Studio Ghibli.
***
Suzume no Tojimari layak diperlakukan lebih dari sekadar film fantasi. Ia adalah gambaran dari bagaimana seseorang seharusnya menghadapi trauma masa lalunya serta jujur kepada diri sendiri.
Ia adalah ode bagi semua kehilangan dan kekhawatiran masyarakat Jepang atas bencana alam yang sewaktu-waktu bisa datang: bahwa hidup itu penting bahkan jika umur kita pendek. Fim ini mengajarkan bahwa yang berarti bukanlah keabadian, tetapi bagaimana kita bisa menikmati setiap momen yang ada sebelum mengembuskan napas terakhir.
Mau baca review film lainnya? Kamu wajib kunjungi KINCIR, ya!