Beberapa waktu yang lalu, KINCIR udah membahas soal soundtrack film. Baik film luar atau film Indonesia, soundtrack seperti seperempat nyawa dari film. Soundtrack mampu membuat film jadi hidup dan kalau ditempatkan secara baik, bisa bikin kita terhanyut.
Namun, lagu yang menghidupkan film bukan perkara soundtrack semata. Ada pula yang disebut dengan scoring. Kalau soundtrack berupa lagu dengan lirik, maka scoring film hanyalah musik.
Meskipun tanpa lirik, tetapi scoring bisa memberikan kita berbagai macam perasaan. Bahkan, ada berbagai macam penghargaan buat scoring seperti Academy Award kategori “Original Music Score” atau FFI kategori “Penata Suara Terbaik”.
Nah, simak aja, yuk, beberapa scoring film yang ngena banget di hati dan kalau didengarkan, bikin kita merasa sedikit resah.
1. “Yumeji's Theme” (In the Mood for Love)
Film-film Wong-kar Wai adalah mahakarya, sesuatu yang bikin pencinta seni terkagum-kagum seperti saat melihat orang yang mereka cintai lewat. Dialog, adegan, penokohan, dan alur dibuat dengan sempurna, karismatik, sinematik, tetapi enggak hiperbola, seperti In the Mood for Love (2000).
Namun, hal-hal ini enggak akan jadi sempurna tanpa adanya soundtrack “Quizàs, Quizàs, Quiźas” oleh Nat King Cole serta scoring dari Shigeru Umebayashi yaitu “Yumeji's Theme”.
Apa pengaruh musik ini buat film? Dengerin, deh. “Yumeji's Theme” membuat film jadi lebih syahdu. Selain itu juga bikin kalian mampu meresapi keresahan sang tokoh lelaki dan perempuan yang saling mencinta, tetapi terhalang status pernikahan yang bahkan sudah enggak sehat lagi.
Atau, kalian sedang jadi selingkuhan? Hati-hati, scoring ini bisa bikin kalian kepengin mengakhiri hidup.
2. “A Estrada” (Paris Je T’aime)
Para peselingkuh atau kalian yang lupa menghargai pasangan, tontonlah seri film omnibus Paris Je T'aime (2006) yang satu ini. Seri tersebut berkisah tentang seorang pria yang selingkuh sama pramugari. Mau menceraikan istrinya, tetapi sang istri ternyata kena kanker dan hal itu, alih-alih jadi kesempatan asyik, justru bikin dia merasa menyesal udah selingkuh.
Ceritanya klise, tetapi tentu dengan plot tepat, narasi sederhana nan filosofis, dan scoring dari Rodrigo Leão bikin kalian bener-bener pengin memeluk orang yang kalian kasihi.
Scoring-nya berkonsep Waltz, bikin kita pengin berdansa, sih, tetapi entah kenapa di bagian akhir, rasanya agak bikin hati sesak.
Di antara tabuhan drum, musik meliuk-liuk menyayat bikin kita sadar kalau suatu saat, orang yang kita cintai bakal berpisah sama kita karena maut.
3. “Odessa Medley” (Everything Is Illuminated)
Di balik statusnya sebagai "love it or hate it movie" alias enggak semua orang bisa suka, Everything Is Illuminatex adalah karya seni indah yang dibikin oleh orang dengan selera menawan.
Pengambilan gambarnya cantik, terutama dalam adegan rumah di tengah kebun bunga matahari. Penokohannya bagus, berkisah tentang Jonathan Safran Foer, seorang novelis yang mau mencari "jejak sang kakek" yang pernah jadi penyintas holocaust di Odessa, Ukraina.
Apalagi yang menarik dari film adaptasi dari novel semi-otobiografi karya Safran Foer ini? Segala scoring dan soundtrack-nya, berterimakasihlah pada grup band indie Gogol Bordello dengan lagu-lagu "ganjil" mereka, serta Paul Cantelon dengan scoring khusus “Odessa Medley”.
Musik ini diputar saat Foer menjelajah Odessa menyusuri jejak sang kakek, dan punya nuansa bahagia sekaligus sedikit mengharukan. Yah, sama kayak perasaan kita saat mengingat sesuatu yang indah, tetapi udah berlalu.
4. “Moving to the Ghetto, Oct 31, 1940” (The Pianist)
Apa yang bisa dikritik dari The Pianist (2002)? Enggak ada. Film ini adalah wujud ramuan kesempurnaan, berkisah tentang sejarah yang pernah bener-bener terjadi, tetapi jauh dari kata kaku dan membosankan.
Film ini berkisah tentang Wladyslaw Szpilman, seorang pianis penyintas Holocaust yang berusaha buat melarikan diri. Tentu alunan “Chopin Nocturne C Sharp Minor” adalah yang paling khas, tetapi jangan lupakan scoring dari Wojciech Kilar yang memenangkan César Award dalam kategori “Musik Terbaik” buat film.
Scoring film ini menimbulkan rasa sedih, menyayat, dan bikin kita geram mengapa Adolf Hitler pernah ada di dunia ini.
5. “Theme from Schindler's List” (Schindler's List)
Saat kalian berada dalam fase putus asa, hindari Schindler's List (1993) dengan alasan apa pun. Film ini akan membuat kalian sedih, walaupun sebenernya ending film ini cukup optimistis.
Tentu ini dipengaruhi sama banyak hal, mulai dari film yang hitam-putih, kisah kejamnya NAZI Jerman, anak kecil berbaju merah, sampai scoring film. Ya, dengarkan dan hayati scoring dari John Williams ini dan rasakan ketakutan yang masuk dalam jiwa kalian.
***
Pengaruh scoring film ternyata cukup besar, lho, buat nuansa tayangan. Hanya saja, penonton suka lupa adanya aspek ini dan justru punya peran penting. Nah, menurut kalian, ada, enggak, scoring film lain yang juga meresahkan?