*Spoiler Alert: Artikel ini mengandung sedikit bocoran film yang bisa aja mengganggu buat lo yang belum nonton.
Cerita: 8 | Penokohan: 8 | Efek Suara/Scoring: 7 | Visual: 8| Penyutradaraan: 8 | Nilai Akhir: 7,8/10
Enggak mudah bikin film bertema suatu budaya. Selain butuh riset mendalam, pemilihan cerita dan pemain pun enggak boleh asal-asalan dilakuin. Hal ini jadi tantangan tersendiri pula bagi para pemeran yang berasal dari luar budaya yang diangkat tersebut. Namun, film berjudul Yowis Ben ini bisa mengemas segala tantangan tersebut dengan cukup baik.
Sinopsis: Bayu (Bayu Skak) menyukai Susan (Cut Meyriska). Namun, Bayu memutuskan untuk memendam perasaan tersebut dalam-dalam karena dia ngerasa minder. Hari-hari Bayu pun berubah sejak Susan mengirim voice chat ke Bayu. Sayangnya, Susan hanya manfaatin Bayu yang kemudian jadi populer lewat band bentukannya yang bernama Yowis Ben. Konflik kisah cinta Bayu pun makin memanas dengan adanya perselisihan antaranggota band tersebut.
Yowis Ben adalah film lokal dengan isu anak muda pada umumnya. Film ini ngebahas masalah remaja seputar pencarian jati diri, rasa kesepian, semangat pertemanan, dan cinta sejati. Uniknya, film ini pakai 90% bahasa Jawa, tepatnya bahasa Jawa Timur. Penggunaan bahasa ibu dalam film ini dianggap sebagai bukti keragaman yang ada di Indonesia.
Terlepas dari anggapan bahwa film ini terlalu segmented, kisahnya tetaplah universal bagi remaja di perkotaan. Yap, film ini mengangkat kisah sekumpulan anak muda yang tengah mengejar pembuktian bahwa mereka adalah remaja yang mampu berkarya. Mereka ingin berbuat sesuatu yang bisa dibanggakan oleh orang-orang di sekeliling dan keluarga mereka.
Sekilas, kalau lo hanya lihat cuplikan filmnya, Yowis Ben mirip dengan film populer remaja dari Thailand berjudul Suck Seed (2011). Kemiripannya bukan pada cerita, melainkan pada formula berupa kisah band bentukan anak SMA yang mengalami konflik karena ada sosok cewek cantik yang bisa memecah belah persahabatan. Akhirnya? Tentu aja happy ending.
Film remaja ini nampilin sederet pemain pendatang baru. Selain Bayu Skak yang tampil sebagai pemeran utama, film ini juga dibintangi oleh Joshua Suherman, Cut Meyriska, Brandon Salim, dan Try Yudiman. Kehadiran Erick Estrada, Arif Didu, dan Ence Bagus pun bikin film makin meriah.
Enggak hanya itu, lo juga bisa ngelihat akting beberapa sineas Tanah Air lainnya, seperti Ria Ricis, Erix Soekamti, Sandy Pas Band, Tretan Muslim, Yudha Keling, Muhadkly Acho, dan Uus. Yap, enggak perlu ditanya lagi. Udah pasti kehadiran mereka bikin unsur komedi dalam film makin terasa.
Uniknya, meski dialog film ini penuh dengan dialog bahasa Jawa, para pemeran ngebuktiin totalitas mereka meski enggak semuanya berasal dari suku Jawa. Sambil syuting, mereka juga belajar demi mendalami peran dan menjiwai bagaimana jadi orang Jawa atau pun non-Jawa yang dikelilingi budaya Jawa. Tentunya, tantangan ini jadi ajang pembuktian yang menarik dalam dunia perfilman Indonesia.
Bisa dibilang, tema kehidupan anak SMA jadi makin memikat dengan tema perjuangan anak band. Jadi enggak biasa karena adanya lagu-lagu gaul berbahasa Jawa. Tercatat, ada empat lagu soundtrack yang menghiasi film ini. Bahkan, bukan sekadar gimmick, kualitas ngeband Bayu Skak, Joshua Suherman, Tutus Thompson, dan Brandon Salim ini layaknya band-band indie yang punya warna sendiri.
Beberapa adegan nampilin empat cowok tersebut ngeband di panggung. Kualitas musik yang disuguhkan benar-benar jernih. Lo bakal ngerasa nonton konser band terkenal yang dilengkapi dengan sound system berkualitas. Namun, semua itu enggak bisa lepas dari peranan Andhika Triyadi sebagai penata musik, Khikmawan Santosa dan Syamsurrijal sebagai penata suara, dan Hasanudin Bugo sebagai perekam suara.
Secara visual, film ini enggak ada nampilin sesuatu yang istimewa. Bukan berarti enggak bagus, loh. Soalnya, visual film ini sejernih suara yang ditampilkan. Berlokasi syuting di Malang dan Surabaya, tentunya lengkap dengan berbagai landmark dua kota tersebut, film ini seakan ngajak lo jalan-jalan mengitari Masjid Jami, Gereja Hati Kudus, Museum Angkut Batu, Kampung Warna-warni, dan Alun-alun Merdeka Kota Malang.
Digarap oleh Fajar Nugros, Yowis Ben ngasih unjuk bahwa film yang menyelami budaya Jawa bisa jadi tontonan layar lebar yang menarik. Sutradara asal Yogyakarta tersebut tertarik ngegarap karena film ini punya kekuatan tersendiri. Kepiawaian Fajar bukan hanya terlihat dari kefasihannya tentang budaya Jawa, tapi juga pengarahan pemain dan para kru. Sebagian besar memang bukan bersuku Jawa, namun mereka bisa ngelakuin dengan baik. Selain itu, karena ide cerita berasal dari Bayu Skak, Fajar enggak ingin ngubah karakter Bayu yang terjaga di video-video buatannya.
Bayu Skak, youtuber asal Malang, memang udah lama pengen ngerealisasiin idenya tersebut. Hal ini pun disetujui oleh Chand Parwez sebagai produser karena premis ceritanya menarik. Bersama Bagus Bramanti dan Gea Rexy, keduanya bikin skenario jadi lebih layak buat disajiin sebagai sebuah film berkualitas.
Bayu punya banyak alasan memilih bahasa Jawa sebagai dialog filmnya. Salah satunya adalah faktor kecintaan pada tanah kelahirannya. Selain itu, dia terinspirasi dengan film serupa asal Makassar yang meledak di pasaran berjudul Uang Panai (2017). FYI, Yowis Ben jadi film pertama bagi Bayu Skak yang juga bertindak sebagai pemain dan kosutradara.
Film ini menarik buat dinikmati. Meski enggak ngerti bahasa Jawa, lo masih bisa ngikutin ceritanya, kok. Lo bisa paham lewat subtitle yang mudah dicerna dan enggak mengurangi komedi filmnya. Terlepas dari banyaknya hujatan, film ini justru jadi penguat dari oknum pemecah belah SARA di negeri "Bhinneka Tunggal Ika" ini.
Lo udah bisa nikmatin film komedi remaja ini mulai 22 Februari 2018. Ajak teman-teman dan keluarga buat nonton bareng di akhir pekan. Lo bakal mendapatkan makna kekeluargaan, persahabatan, cinta, usaha, dan pengakuan. Nah, biar enggak penasaran, lihat cuplikan filmnya dulu, deh. Kalau udah nonton, kasih pendapat lo lewat kolom komentar di bawah ini, ya!