*Spoiler Alert: Artikel ini mengandung bocoran film yang bisa aja mengganggu buat lo yang belum nonton.
Cerita: 5 | Penokohan: 5 | Visual: 7 | Sound Effect/Scoring: 7 | Nilai Akhir: 6/10
Biarpun enggak suka film bergenre gore (banyak adegan sadis), Viki harus akuin kalau Final Destination adalah film yang fenomenal. Yap, kisah tentang cara kematian yang enggak bisa ditebak adalah ide yang cemerlang. Saking cemerlangnya, ide soal kematian tak terduga ini diadaptasi jadi sebuah kisah orisinal baru—dengan tambahan elemen-elemen lain—dalam film Wish Upon.
Film thriller/horor yang baru aja dirilis 14 Juli 2017 ini berkisah tentang Clare Shannon (Joey King), seorang cewek remaja yang hidup sengsara karena ditinggal nyokapnya yang bunuh diri. Hidupnya makin sengsara karena selalu dirisak di sekolah. Semua berubah 180 derajat ketika dia nemuin kotak musik oriental yang ternyata bisa ngabulin tujuh permintaan. Namun, apa yang didapat Clare dari kotak musik ini ternyata enggak gratis. Ada harga mahal yang dipatok buat tiap permintaan, yaitu darah dari kerabat dan orang terdekat dari sang peminta.
Kisahnya sendiri cukup menarik. Ide buat ngegabungin premis “kematian tak terduga ala Final Destination” dengan premis “pengabul permintaan” ini awalnya terlihat amat menggiurkan dan punya potensi. Mungkin lo berharap bakal ada adegan gore yang lebih kreatif dan enggak pernah lo bayangin sebelumnya.
Sayangnya, keinginan lo akan adegan sadis dan berdarah-darah harus sirna setelah Final Destination 6. Kalau diibaratin, Wish Upon kayak seseorang yang gagal ngeraih impiannya. Yap, dengan kata lain, film terlihat banget berusaha keras buat nyeimbangin Final Destination, tapi malah berujung kegagalan.
Perbandingan antara Wish Upon dan Final Destination ini terlihat jelas. Keduanya sama-sama punya kisah dan adegan yang bikin kita penasaran (dan bikin enggak nyaman buat yang enggak doyan gore). Sepanjang film diputar, lo bakal menebak-nebak apa yang bakal terjadi selanjutnya. Khususnya adegan kematian yang dibikin sekreatif dan seabsurd mungkin. Sayangnya, ada perbedaan yang bikin Wish Upon ini terlihat lebih buruk, yaitu rating PG-13 yang dilabelin.
Yap, rating PG-13 berarti enggak ada adegan kejam dan berdarah-darah. Hal ini bikin adegan kematian di Wish Upon terasa “kentang”. Penggemar film gore udah bisa Viki pastiin bakal kecewa banget sama film ini. Lo bayangin aja, di saat lo udah penasaran banget atau “risih-risih” ala nonton Final Destination, yang bakal lo dapat malah adegan tanggung yang antiklimaks.
Dari segi horornya sendiri, Wish Upon juga enggak “dapat”. Sedikit bocoran, enggak ada penampakan setan yang bikin lo merinding. Bahkan, efek kejut yang jadi pakem film horor zaman sekarang juga minim banget. Sekalipun film ini berusaha buat jadi menyeramkan dan menegangkan, yang terjadi setelahnya malah adegan-adegan receh dan konyol yang bikin sensasi horornya sirna.
Sutradara John R. Leonetti dan penulis skenario Barbara Marshall tentu jadi sosok yang bertanggung jawab atas semua ini. Keduanya terlihat enggak bisa saling ngedukung. Skenario yang dibuat terlihat lemah dan terkesan buru-buru. Banyak adegan yang harusnya bisa terlihat maksimal malah jadi aneh gara-gara adegan yang bikin kita bingung dan bertanya-tanya, "Udah? Begitu aja?" atau, "Apaan, sih?"
Misalnya aja adegan kematian. Karena enggak terlihat sadis, feel yang lo dapat malah “kentang”. Ditambah lagi, lo bakalan bingung karena caranya yang maksa dan ketebak. Yah, Viki sendiri, sih, bingung sama bagaimana si kotak musik jahat ini milih korbannya. Soalnya, random banget, sih.
Jujur aja, yang Viki rasain saat nonton film ini adalah kayak nonton FTV dengan bumbu Final Destination. Lo mungkin pernah nonton FTV/sinetron yang ceritanya tentang cowok/cewek culun yang enggak punya apa-apa, jadi bahan risakan, terus pada akhirnya dia bisa dapatin apa yang dia mau. Nah, Wish Upon ini juga sama ceritanya. Belum lagi dialog-dialog ala sinetron yang cheesy abis.
Makanya, dibanding film thriller/horor, Wish Upon lebih cocok disebut sebagai dongeng kanak-kanak. Hal ini bisa lo lihat nanti dari skenarionya yang tergolong enggak cerdas kayak film thriller pada umumnya. Cerita tentang anak yang “terhipnotis” sebuah benda yang bisa mengabulkan permintaan terlalu mengada-ngada. Mana ada, sih, anak generasi milenial percaya sama hal-hal kayak begini.
Dari segi penokohan, Wish Upon ini termasuk yang unik banget. Biasanya, tokoh utama film horor itu pasti terzalimi dan bikin kita ngerasa enggak tega. Nah, karakter Clare ini lain dari yang lain. Sejak dia nemuin kotak musik terkutuk itu, kelakuannya bikin kita ngerasa gregetan. Kocaknya, dia butuh waktu cukup lama buat sadar bahwa kotak musik itu ternyata benar-benar jahat. Yah, sebenarnya ini bukan masalah, sih. Namun, Viki ngerasa seharusnya karakter Clare bisa dibuat lebih cerdas lagi.
Meski film ini punya banyak keburukan, para aktor tetap berakting dengan baik, kok. Joey King yang udah pernah main film horor (The Conjuring) ini kelihatan pengalaman banget. Para pemeran lainnya juga ngelakuin tugasnya dengan cukup baik. Di film ini, lo bakal ngelihat wajah-wajah familier. Misalnya aja Shannon Purser yang meranin Barb di Stranger Things serta Ryan Phillipe, salah satu bintang film thriller era 1990-an, I Know What You Did Last Summer.
Intinya, Wish Upon bisa jauh lebih baik kalau dibikin lebih serius. Meski bisa dibilang sebagai film alternatifnya Final Destination, Wish Upon masih jauh dari kesan horor. Jadi, kalau lo memang suka sama film-film horor yang penuh dengan penampakan dan efek kaget, Viki saranin lo tungguin aja Annabelle 2 yang rencananya tayang Agustus. Akan tetapi, kalau lo suka film-film bertema misteri dan drama remaja, enggak ada salahnya nonton film ini.