*Spoiler Alert: Artikel ini mengandung sedikit bocoran film yang bisa aja mengganggu buat lo yang belum nonton.
Cerita: 6 | Penokohan: 6 | Efek Suara/Scoring: 7 | Visual: 8 | Penyutradaraan: 6 | Nilai Akhir: 6,6/10
Lara Croft si “tukang gali kubur” kembali lagi menggali misteri yang tersimpan di sebuah pulau terpencil di Jepang. Eits, yang dimaksud di sini bukan game baru Tomb Raider, melainkan film layar lebar yang baru aja rilis. Kali ini, Lara versi layar lebar enggak lagi dibintangin sama Angelina Jolie. Aktris asal Swedia, Alicia Vikander, mengambil “jubah kehormatan” yang selama ini udah sangat lekat dengan Jolie dengan ngebawain sosok Lara Croft yang benar-benar berbeda.
Tentunya, hal ini menjadi tantangan tersendiri buat Vikander. Selama ini, Lara Croft selalu digambarkan dengan cewek gahar dan seksi berkat Jolie. Wajar jika penggemar berat waralaba game dan film Tomb Raider khawatir kalau Vikander enggak bisa menyamai apa yang udah dicapai Jolie sebagai Lara Croft.
Nyatanya, hal yang berbeda enggak selalu berakhir dengan kekecewaan. Vikander mampu membawakan karakter Lara Croft dengan ciri khasnya sendiri. Lara kali ini tetap gahar dan terkesan lebih cerdas. Lo enggak bakal kecewa melihat penampilan Vikander dalam Tomb Raider versi remake ini.
Filmnya sendiri punya premis dan latar yang sama dengan game Tomb Raider (2013). Lara adalah seorang penerus perusahaan besar yang memilih jalan hidupnya sebagai orang biasa. Teringat dengan ayahnya, Richard Croft (Dominic West) seorang arkeolog yang hilang misterius, Lara pun berupaya mencarinya lewat petunjuk yang dia dapatkan dari arsip penelitian tentang Pulau Yamatai.
Pulau ini dipercaya menjadi tempat keberadaan kekuatan supernatural yang bisa membuat seseorang bisa hidup abadi. Upaya Lara pun enggaklah mudah karena dia harus berhadapan dengan organisasi jahat bernama Trinity yang ingin menguasai kekuatan supernatural tersebut.
Tahan dulu rasa girang lo akan film ini. Soalnya, kalau lo berpikir film ini bakal mengadaptasi kisah yang sama dengan game Tomb Raider, lo bakal kecewa berat. Meski latarnya sama, cerita film ini benar-benar orisinal dan berbeda. Sayangnya, cerita yang disajikan di versi filmnya sama sekali enggak bisa dibandingin dengan keepikan cerita versi gamenya.
Ceritanya bahkan bisa dibilang enggak tersusun rapi. Banyak lubang plot yang bakal bikin lo bertanya-tanya saat film berakhir. Intinya, kisah film ini dibuat sesederhana mungkin agar penikmatnya bisa lebih mengerti akan filmnya. Sayang, bukannya dibuat ngerti, lo bakal dibuat bingung dan cenderung bosan.
Sejujurnya, film ini bakal terlihat keren banget dengan catatan lo harus menyingkirkan logika lo. Ada cukup banyak adegan yang bikin logika lo berteriak karena benar-benar enggak masuk akal. Sebut aja waktu yang dibutuhkan untuk berlayar dari Hong Kong ke pulau terpencil Jepang hanya sehari semalam atau adegan saat Lara berhasil menemukan markas musuh di pulau yang isinya hutan belantara tanpa peta.
Terlihat jelas bahwa Tomb Raider seperti lagi “ngejar setoran”. Semuanya dibuat dengan tempo cepat. Hal inilah yang jadi alasan kenapa film ini mengesampingkan logika Bisa dimengerti, sih, bakal buang-buang waktu dan berpotensi klise jika banyak adegan yang dibuat lebih panjang dan bertele-tele.
Bicara soal klise, Tomb Raider masih enggak bisa lepas dari hal ini. Saking klisenya, cerita film ini sangat mudah untuk ditebak karena lo akan menemukan banyak hal yang sama di film-film lain. Khususnya hubungan antara Lara dan ayahnya di akhir film.
Sangat disayangkan hanya Vikander yang mampu menonjol di film ini. Keputusan Warner Bros. untuk enggak nge-casting aktor atau aktris sekelas aktris pemenang Oscar ini patut dipertanyakan. Padahal, kalau Vikander punya rekan main seleb kelas kakap, Tomb Raider bisa jadi lebih epik dan punya karakter yang berkesan, khususnya untuk pemeran Lu Ren (Dennis Wu) dan penjahat utama.
Penokohan si karakter penjahat bisa dibilang jadi isu besar film ini. Adegan pengenalan villain utama, Mathias Vogel (Walton Goggins), benar-benar terasa canggung dan nanggung. Dia kenalan sama Lara, terus ngaku jahat dan membunuh ayah Lara. Namun, ya, udah, begitu aja. Enggak dijelasin lagi kenapa dan bagaimana dia membunuh ayah Lara sehingga membuat motivasinya terkesan hampa.
Penggemar Tomb Raider mungkin tahu bahwa pihak yang bertanggung jawab dengan kekacauan di semesta Tomb Raider adalah Trinity. Di film ini, Vogel memang berperan sebagai bidak perusahaan jahat ini. Sayang, di saat Vogel harus menjadi penjahat utama yang beringas dan kejam, dia justru enggak berhasil melakukannya sehingga terkesan nanggung. Sikapnya terhadap Lara pun patut dipertanyakan. Kenapa Vogel enggak membunuh Lara setelah dia udah mendapatkan apa yang dia inginkan sejak lama?
Untungnya, menjelang film berakhir, lo bakal disajikan dengan adegan aksi yang bikin lo betah dan bersemangat menontonnya. Memang, sih, adegan aksi di Tomb Raider versi remake enggak bisa dibandingkan dengan adegan aksi di film laga kelas kakap. Seenggaknya, itu udah cukup bikin lo melek di saat film ini nyaris bikin mata lo merem.
Vikander pun mampu membawakan karakter Lara versinya sendiri tanpa harus terbayang-bayangi Lara versi Jolie. Efek visual dan suaranya juga mampu mendukung elemen aksi ini. Makanya, lo masih bisa menikmati film ini meski sebenarnya enggak menikmati ceritanya.
Lagi-lagi masalah seperti yang dialami Tomb Raider mewakili isu yang sama dengan film adaptasi video game lainnya. Tomb Raider berusaha keras untuk menerjemahkan apa yang ada di video gamenya. Harus diakui, upaya itu berhasil. Sayangnya, enggak semua orang, khususnya penikmat film, bisa menikmati film-film seperti ini. Untuk mematahkan kutukan “film video game”, sepertinya bukan Lara Croft orangnya.
Tomb Raider udah bisa lo saksiin di bioskop-bioskop seluruh Indonesia. Kalau udah nonton, silakan beri pendapat lo di kolom komentar di bawah ini, ya!