*Spoiler Alert: Artikel ini mengandung sedikit bocoran film yang bisa aja mengganggu buat kalian yang belum nonton
Para Ghoul hidup bersembunyi di kota Tokyo dalam serial manga dan anime Tokyo Ghoul. Cerita karangan Sui Ishida ini sempat diangkat ke layar lebar dalam suguhan live action yang judul yang sama pada 2017. Kini, Kaneki kembali mencari jati dirinya dalam sekuel live action bertajuk Tokyo Ghoul S.
Kaneki bakal berhadapan sama karakter Shu Tsukiyama, Ghoul sadis yang terkenal mencari cita rasa terbaik dari daging makanannya. Setelah mencium bau tubuh Kaneki serta darahnya yang merangsang, Shu berniat menjebak Kaneki untuk ditangkap.
Sebelumnya, Tokyo Ghoul S telah dirilis lebih dulu di Jepang pada Juni lalu. Mendekati libur akhir tahun, Shochiku menggiring adaptasi live action tersebut untuk disiarkan di seluruh dunia. Di Indonesia, film garapan Takuya Kawasaki dan Kazuhiro Hiramaki ini tayang mulai 11 Desember 2019.
Buat kalian yang Ingin menonton adaptasi live action kedua dari Tokyo Ghoul (2017), baca ulasan dari KINCIR di bawah ini, ya.
Konflik Manusia dan Ghoul
Di film Tokyo Ghoul, kita melihat keputusan Ken Kaneki untuk hidup di bawah bayang-bayang. Setelah mengalahkan Mado dan Amon, Kaneki diklasifikasikan sebagai Ghoul berbahaya sehingga bakal dibunuh jika identitas manusianya diketahui CCG, unit khusus yang menangani Ghoul.
Meski Kaneki telah menerima nasibnya sebagai Ghoul, kini dia berhadapan sama Shu yang mengetahui bahwa darah seorang manusia setengah Ghoul terasa sangat enak. Di sini, Kaneki melihat bahwa para Ghoul yang hidup di bawah bayang-bayang punya cara sangat sadis untuk memakan manusia yang mereka buru.
Dok. Geek Sight
Di sisi lain, kita juga bisa melihat perkembangan karakter Nishio yang sebelumnya hendak membunuh Kaneki. Nishio ternyata punya seorang pacar manusia yang dia lindungi sampai mati. Para Ghoul memang ditakdirkan untuk berada di puncak rantai makanan setelah manusia. Di sinilah para karakter Ghoul dan manusia mencari cara terbaik untuk meredakan menghindari konflik dan tetap bertahan.
Tokyo Ghoul S terkenal menghadirkan beberapa adegan sadis. Manga dan anime ini memang terkenal punya banyak scene yang cukup gore. Di film kedua ini, Shu yang berusaha memburu Kaneki menampilkan ketegangan yang cukup berkesan.
Koreografi dan Pertarungan Para Ghoul
Dok. Geek Sight
Harus diakui, film live action adaptasi dari manga dan anime punya ‘pekerjaan rumah’ yang enggak gampang. Terlebih untuk Tokyo Ghoul yang punya efek visual serta koreografi lincah. Untungnya, Tokyo Ghoul S berhasil mengembangkan efek visual ‘kagune’ dari para Ghoul. Organ baru yang dapat digunakan oleh para Ghoul tampil cukup detail dan kelihatan lebih nyata dari film sebelumnya.
Sayangnya, koreografi yang ada di dalam Tokyo Ghoul S terkesan terlalu maksa. Di film pertamanya, adegan pertarungan direduksi dengan tambahan animasi sehingga bisa bermain aman ketika menampilkan gerakan lincah. Di episode kedua ini, Shochiku sayangnya memakai bantuan alat seperti sling untuk menarik karakter dan terlihat kaku di layar. Alhasil, adegan pertarungan jadi salah satu aspek yang disayangkan dalam suguhan live action ini.
Meski koreografinya kurang memuaskan, Tokyo Ghoul S berpegang pada adegan yang cukup sama dengan adaptasi anime sehingga suguhan yang mereka sajikan tampil cukup memuaskan bagi penggemarnya. Semua kembali lagi kepada latar dan konflik yang juga dibangun secara emosional di sela-sela baku hantam.
Wajah Baru yang Tampil Segar
Dok. Geek Sight
Shochiku dan Geek Sight yang memproduksi live action dari Tokyo Ghoul S masih mempertahankan Masataka Kobuta sebagai pemeran tokoh utama bernama Ken Kaneki. Sementara itu, karakter Touka kini diperankan oleh Maika Yamamoto, setelah sebelumnya Fumika Shimizu yang menjadi Ghoul bersayap satu tersebut. Wajah lain yang enggak ketinggalan mencuri perhatian, yakni sang antagonis utama, Shu Tsukiyama yang diperankan cukup baik oleh Shota Matsuda.
Kehadiran dua wajah baru ini memberi pembawaan yang segar untuk film ini. Di Tokyo Ghoul S, pembebanan cerita kembali sama pengembangan karakter. Di satu sisi, wajah baru Maika Yamamoto tampil memikat dan lebih ekspresif. Maika mampu mengantar perasaan Touka yang dikenal sebagai Ghoul yang kuat namun tetap berhati lembut kepada manusia.
Sayangnya, Shota yang memerankan Shu terlihat belum maksimal mewakili erotisisme yang melekat dalam tokoh tersebut. Ketika scoring berangsur naik, emosi yang diluapkan oleh Shu belum bisa mengimbangi sehingga terasa timpang. Meski begitu, penampilan Shu berhasil membangkitkan tegangan cerita yang tumbuh di babak kedua ini.
Babak Pertengahan yang Menjanjikan
Dok. Geek Sight
Secara keseluruhan, Tokyo Ghoul S memberi adaptasi yang ngena di hati penggemar yang mengikuti waralaba ini. Pengembangan karakter, adegan, serta pendekatan yang cukup rinci di film garapan Takuya Kawasaki dan Kazuhiro Hiramaki ini membuat penggemar boleh berharap untuk film selanjutnya.
Babak cerita di dalam Tokyo Ghoul S sayangnya belum memberikan tekanan yang menarik. Namun sebagai live action, seri ini menjadi pengantar yang baik. Para penggemar yang mengikuti jalan cerita tentu dibuat penasaran pada cerita selanjutnya. Jika melihat penggarapan ini, babak cerita menuju akhir nasib Kaneki sebagai manusia bisa jadi memikat nantinya.
***
Buat kalian yang masih ragu dengan sajian live action, film Tokyo Ghoul S ini berhasil mengembangkan tokoh serta membawa cerita yang cukup menyentuh. Kini tinggal menunggu Shochiku merilis film lanjutannya yang bakal dihiasi oleh banyak karakter baru serta mempertemukan Kaneki dengan adegan paling berkesan di sepanjang manga dan anime Tokyo Ghoul.
Film live action ini memiliki rating 17 tahun ke atas. Sehingga, enggak cocok disaksikan oleh anak-anak karena mengandung unsur kekerasan, kanibalisme, dan adegan gore.
Nah, buat kalian yang udah nonton, bagaimana pendapatnya? Bagikan pendapat kalian di kolom review yang ada di awal artikel ini, ya.