*Spoiler Alert: Artikel ini mengandung bocoran film yang bisa aja mengganggu buat lo yang belum nonton.
Cerita: 7 | Penokohan: 7 | Efek Suara/Scoring: 8 | Visual: 6 | Nilai Akhir: 7/10
Akhirnya, salah satu live action paling ditunggu tahun ini tayang di Indonesia. Buat pencinta manga bergenre seinen, masuknya live action ini udah pasti kabar gembira. Yap, apa lagi kalau bukan Tokyo Ghoul?
Live action ini digarap sama sutradara Kentarou Hagiwara yang juga pernah menyutradarai film Anniversary (2016). Tokyo Ghoul diangkat dari manga berjudul sama karya Sui Ishida. Film ini mengisahkan para Ghoul pemakan manusia yang hidup bergerilya di Tokyo. Di dalamnya, ada Kaneki Ken yang kehidupannya berubah setelah bertemu dengan Rize Kamishiro (Yuu Aoi).
Rize yang belakangan diketahui merupakan Ghoul mengalami kecelakaan yang membawanya menemui kematiannya saat akan memakan Kaneki. Kaneki berhasil bertahan berkat transplantasi organ yang dilakukan oleh sang dokter. Namun, setelah itu, dia harus menerima kenyataan bahwa tubuhnya enggak lagi sama. Kaneki menjadi setengah manusia dan setengah Ghoul.
Sebelum Tokyo Ghoul, tahun ini udah ada satu live action yang masuk Indonesia dan bisa dibilang sukses mindahin aspek terpenting dalam manga ke live action, yaitu Gintama. Nah, sebelum Viki bahas lebih lanjut, menurut lo, kira-kira Tokyo Ghoul ini udah sesukses Gintama belum sebagai live action yang diadaptasi dari manga? Buat Viki, jawabannya adalah “belum”.
Sebenarnya, Tokyo Ghoul bukan live action yang gagal kayak Attack on Titan (2015)—yang dirilis sampai dua bagian, tapi enggak ada satu pun yang setia sama manganya. Tokyo Ghoul malah berusaha setia sama tiga volume manganya. Usahanya ini kelihatan dari urutan pengambilan gambar yang dibuat sesuai sama manganya. Sayangnya, film ini enggak sepenuhnya setia ngikutin latar tempat dalam manga.
Mungkin susah nemuin tempat yang sesuai sama yang digambarin di manga atau animenya, tapi jangan jauh-jauh juga. Yang paling menarik perhatian itu adalah penyerangan yang dilakuin sama Nishiki Nishio (Shunya Shiraishi). Dalam manga dan animenya, Nishiki nyerang Hide dan Kaneki di lorong gelap nan sepi setelah mencoba kudapan di luar area kampus. Nah, di filmnya, penyerangan justru dilakuin di area kampus, di ruang klub Nishiki dan Hide.
Jelas banget alasan penyerangannya dilakuin di lorong gelap dan sepi di manga dan anime, ya, biar enggak menarik perhatian. Bayangin aja, Kaneki dan Nishiki bertarung pakai kagune mereka, pasti ribut banget. Kalau dilakuin di area kampus, keributan semacam itu enggak mungkin enggak mengundang perhatian. Jadinya, pertarungan Kaneki dan Nishiki enggak terasa geregetnya.
Selanjutnya, film ini juga enggak luput dari plot hole. Bahkan, plot hole terbesar justru muncul di awal film saat Kaneki bertemu Rize. Enggak jelas bagaimana ceritanya, tiba-tiba Rize dan Kaneki berkencan. Setelah kencan, lo tahulah apa yang terjadi.
Nah, plot hole selanjutnya terjadi setelah itu. Kaneki dikasih ginjalnya Rize dalam operasi yang menyelamatkan dirinya. Namun, hal ini cuma dijelasin lewat wawancara singkat di televisi yang kebetulan ditonton sama Kaneki. Jujur aja, adegan ini sama sekali enggak menarik perhatian dan enggak bikin penonton aware sama kenyataan bahwa Kaneki dapat transplantasi organnya Rize—padahal ini penting banget buat jalan cerita setelahnya.
Akibatnya, Rize jadi karakter yang enggak penting di live action ini. Ini ngaruh banget ke perkembangan karakternya Kaneki di film. Di manga dan anime, Kaneki bukan karakter yang kuat (seenggaknya sampai dia belum ketemu Jason). Dia lemah karena pada dasarnya cuma seorang kutu buku yang enggak bisa berantem.
Di film, karakter Kaneki dibuat jadi lebih kuat. Mungkin pertimbangannya, buat apa karakter lemah diangkat dalam film? Hasilnya, lo enggak bakal nemuin Kaneki yang berusaha mati-matian buat nyelametin orang-orang terdekatnya. Perasaan itu enggak tersampaikan dalam film ini. Bisa dibilang, ini bikin Tokyo Ghoul jadi terasa kurang berjiwa.
Sebenarnya, masih banyak lagi plot hole yang bikin beberapa adegan di film ini jadi kurang berjiwa: Kaneki yang sama sekali enggak makan daging manusia tapi tetap bisa hidup, Hinami yang punya penciuman tajam, dan Jason yang sebenarnya terlibat dengan penyerangan terhadap keluarga Fueguchi. Klimaksnya, sih, film ini enggak bakal bikin lo mikir soal siapa yang benar dan siapa yang salah kayak di manga dan animenya. Habisnya, Kaneki enggak dikasih tempat buat mikirin soal itu di filmnya. Namun, semua itu terselamatkan berkat akting para pemerannya.
Yap, bisa dibilang, live action ini terselamatkan berkat akting brilian Masataka Kubota yang meranin Kaneki Ken. Meski plotnya enggak ngebiarin lo nikmatin perkembangan karakter Kaneki, akting Kubota justru bikin plot hole tadi jadi bisa dimaafin. Kubota bisa jadi anak baik-baik di satu sisi. Saat Kaneki mulai ‘liar’, Kubota banyak mainin gerakan mulutnya, termasuk bikin lidahnya melet-melet kayak orang kelaparan. Ini kece banget menurut Viki!
Oh, ya, bukan cuma Kaneki, loh, yang sukses diperanin sama aktornya. Kureo Mado juga berhasil ditampilin dengan baik banget sama Yo Oizumi (I Am a Hero). Mado tampil ngeselin kayak biasa dan masih jadi musuh terbesar yang dibenci para Ghoul, terutama Touka. Fumika Shimizu yang meranin Touka juga berhasil terlihat dingin dalam live action ini.
Selanjutnya, Hiyori Sakurada yang meranin Hinami Fueguchi juga terlihat meyakinkan sebagai anak perempuan yang pemalu namun optimis dan menyenangkan. Bahkan, bisa dibilang, Hiyori juga meranin Hinami dengan brilian. Nyokapnya, Ryoko Fueguchi, diperanin dengan pas oleh Shoko Aida: cantik dan lembut. Minusnya, sih, Amon Kotaro—di manga merupakan karakter yang dingin dan menjunjung tinggi keadilan—di film malah jadi cowok gila kerja yang galak. Namun, secara garis besar, casting-nya udah oke banget, kok.
Dalam sebuah wawancara yang dirilis sama Anime News Network, Hagiwara bilang bahwa dia enggak bermaksud menjadikan film ini sebagai film aksi, melainkan sebagai film yang mengandung unsur aksi dan drama. Jadinya, dia ngaku enggak menghidupkan kagune biar kelihatan keren di film. Dia lebih memilih nonjolin cerita keseluruhan.
Memang, sih, kagune dalam film ini bisa dibilang kelihatan kayak tentakel alien. Namun, biar bagaimanapun, efek CGI film Jepang memang enggak bisa dibandingin sama film Hollywood, ya. Terlepas dari itu, Viki suka banget sama koreografinya, terutama saat pertarungan antara Kaneki dan Amon.
Soal live action yang diangkat dari manga bergenre sama, Viki lebih suka Parasyte (2014 dan 2015). Meski efek CGI-nya juga enggak luar biasa, penggarapan plot sama karakternya berhasil banget. Memang, sih, mindahin sekian banyak detail di manga ke dalam film live action sama sekali enggak mudah. Namun, nyatanya, dua film Parasyte bisa berhasil dengan caranya sendiri.
Sebagai live action, Tokyo Ghoul bisa dibilang masih punya banyak hal yang mengganjal. Namun, bukan berarti film ini buruk, ya! Soalnya, topeng Kaneki aja jadi kece banget di film ini. Jadi, buat penggemar manga dan animenya, film ini tetap wajib banget ditonton.
Tokyo Ghoul bisa lo tonton mulai 13 September 2017 di jaringan CGV Cinemas di seluruh Indonesia. Buat pemanasan, tonton dulu aja cuplikannya di bawah ini!