(REVIEW) The Old Guard (2020)

The Old Guard
Genre
  • aksi
  • fantasi
Actors
  • KiKi Layne
  • Matthias Schoenaerts
Director
  • Gina Prince-Bythewood
Release Date
  • 10 July 2020
Rating
3 / 5

*Spoiler Alert: Artikel ini mengandung sedikit bocoran film The Old Guard Netflix yang bisa aja mengganggu buat kalian yang belum nonton.

Kalian mungkin sudah menanti-nanti Wonder Woman 1984 tayang di bioskop pada Oktober 2020 (kalau enggak diundur). Akan tetapi, sebelum itu, buat pemanasan, Netflix punya The Old Guard, film yang diadaptasi komik berjudul sama karya kreator komik Wonder Woman, Greg Rucka, dan Deadpool, Leandro Fernandez.

The Old Guard bercerita tentang petarung yang “abadi”, film ini juga punya sosok cewek badass pembela keadilan, Andromache of Scythia. Pada masanya, dia dipuja sebagai dewa karena keabadiannya.

Lihat trailer-nya, kalian mungkin sudah kebayang seberapa hebohnya aksi dalam film ini. Makanya, langsung saja simak ulasan KINCIR di artikel ini, ya.

Manusia Super yang Manusiawi

Kisah tentang manusia super hampir selalu dimulai dengan bagaimana sang tokoh utama mendapatkan kekuatannya. Namun, rasanya keabadian cukup berlebihan disebut sebagai kekuatan super, malah mungkin lebih tepat disebut kutukan. Ketika seseorang enggak bisa mati, akhirnya mereka jadi terlalu banyak melihat dunia, terlalu lelah, dan terlalu enggak percaya bahwa dunia bisa membaik.

Itulah yang jadi sorotan utama dalam The Old Guard garapan Gina Prince-Bythewood ini. Andromache alias Andy mengumpulkan empat pejuang abadi lainnya untuk melakukan pekerjaan “kotor” yang dapat membawa kebaikan. Namun, Andy sadar bahwa dunia mulai membusuk dan enggak ada lagi hal baik yang layak diperjuangkan saat ini. Perang bukanlah yang terburuk. Terlepas dari usahanya buat mencegah berbagai bencana besar di dunia selama ratusan dekade, kemalangan terus terjadi di dunia.

Nah, dalam The Old Guard, keabadian justru jadi bencana. Mereka yang enggak bisa mati harus terus menerus melihat kematian teman keluarga, atau orang-orang yang mereka sayangi. Pada akhirnya, mereka butuh menjaga satu sama lain dan bertahan di bawah satu aturan ketat: jangan menerima pekerjaan dari orang yang sama dua kali.

Namun, hidup di era yang serba canggih kayak sekarang ini bikin usaha persembunyian mereka semakin sulit. Makanya, mereka akhirnya malah dikejar demi penelitian yang mengatasnamakan kemanusiaan.

The Old Guard mengedepankan ironi dari keabadian yang dicari oleh mereka yang enggak punya, tapi diharapkan enggak dimiliki sama mereka yang punya. Buat manusia abadi kayak Andromache dan yang lain, kematian masih lebih baik daripada berbagai tragedi tanpa akhir yang terus menerus mereka cegah, tapi terus menerus terulang lagi juga.

Pada akhirnya, kekuatan mereka bukanlah kekuatan super yang bisa bikin mereka berubah wujud, bertambah ototnya, atau hal-hal lain semacam itu. Mereka adalah prajurit berpengalaman yang enggak bisa (belum saatnya) mati dengan kemampuan regenerasi sel yang cepat.

Jadi, mereka manusia dengan handicap enggak (belum) bisa mati. Kekuatan yang mereka dapatkan murni adalah pengalaman yang terasah beratus-ratus tahun atau bahkan ribuan tahun, dari abad pertengahan, perang Crusade, hingga perjalanan Napoleon.

Ditambah lagi, entah kebetulan atau enggak, memang para manusia abadi ini sejak awal adalah petarung. Jadi, mereka punya jiwa petarung yang pantang menyerah, menjunjung tinggi keadilan, dan pemberani. Paket lengkap buat manusia super yang manusiawi.

Aksi Super Cepat

Ini memang bukan pertama kalinya Prince-Bythewood menggarap film superhero. Sebelumnya, Prince-Bythewood telah menggarap serial Marvel Cloak & Dagger pada 2018 dan 2019. Makanya, gaya penceritaannya cukup familier buat kalian yang terbiasa mengikuti kisah para superhero. Soal aksi, kalian bisa melihat adegan pertarungan yang super cepat dengan koreografi yang pas.

Akan tetapi, balik lagi, aksi super cepat ini tetap terlihat enggak berlebihan karena merupakan kemampuan kombat yang terasah zaman. Kayak kalian main game aja. Meski kalian sering game over awalnya, kalau diulang lagi, lama-lama kalian bakal jago juga.

Sayangnya, aksi super cepat ini enggak cukup dieksploitasi dalam film sehingga KINCIR kurang merasakan fightgasm-nya. Tata geraknya memang konsisten dan rapi, tapi hasilnya jadi kelihatan kurang berkesan karena penempatannya yang terbangun secara kompleks. Jadinya, seluruh aksi dalam film ini kayak adegan pertarungan biasa aja.

KINCIR jadi ingat performa Charlize Theron di Mad Max: Fury Road yang bisa maksimal dan ada gregetnya. Mungkin ini faktor The Old Guard unggul jauh dari para lawannya. Bahkan “final boss”-nya pun enggak segitu “evil villain”-nya sampai-sampai kalian bisa puas saat melihat dia dikalahkan. Jadi, yah, aksinya enggak berhasil membangun keseruan sampai klimaksnya.

Plot Standar Minim Konflik

Nah, terkait aksinya yang kurang berkesan tadi, ini juga bisa jadi masalah kerumitan konflik yang enggak terbangun dengan baik. Kesan bahwa Andy menyesal menyerah mencari Quynh dan tekad dia buat menyelamatkan teman-temannya yang sudah “disandera” jadi enggak sinkron dan enggak relevan. Makanya, aksi habis-habisan di akhir film rasanya malah kayak pertarungan sebelum ketemu final boss.

Sesungguhnya yang bikin KINCIR tertarik dengan film ini adalah premis manusia abadi yang terlalu lama hidup hingga melihat terlalu banyak keburukan dari dunia ini. Kalau bagian ini jadi sasaran utamanya. Buat KINCIR, The Old Guard melupakan hal penting ini dan malah menjadikannya tempelan sebagai bagian dari dialog numpang lewat Andromache dan Nile Freeman.

Kalau hal ini digarap dengan lebih filosofis, KINCIR yakin ini bakal jadi konflik besar yang bisa membangun karakter para The Old Guard dan bikin villain Steve Merrick jadi kelihatan benar-benar menjijikkan di atas ketamakannya.

Karakter Andy pun jadi ikutan enggak berkesan. Mengingat dia seharusnya luas biasa dan jadi “harapan” manusia, kurangnya perkembangan karakter Andy bikin dia jadi karakter yang mudah terlupakan, sama kayak keempat The Old Guard lainnya.

Bagian yang seharusnya didramatisasi justru terlewat begitu aja, kayak kengerian dan tragedi yang dialami Quynh dan keputusasaan Andy buat menemukan Quynh; begitu juga masa-masa Andy hidup sendirian terlalu lama. Apa yang dirasakan Andy enggak digambarkan dan malah jadi mengurangi feel perjuangan Andy pada akhirnya. Sebetulnya, Andy memperjuangkan apa?

Enggak lupa juga “petunjuk” yang terlihat jelas banget dari awal soal pengkhianatan Booker (Matthias Schoenaerts) merusak plot twist yang seharusnya menampar. KINCIR juga perlu mention musik yang karakternya enggak nyatu sama film, khususnya ketika adegan pertarungannya. Jadi, pada akhirnya film ini jadi datar aja dan kurang nendang buat sebuah film aksi.

Adaptasi Menarik, tapi Terlalu Singkat

Memang, sih, kelihatannya The Old Guard ini cuma permukaannya aja buat universe yang lebih besar lagi. Jelas bahwa Netflix juga menyiapkan sekuel dengan kemunculan Quynh (Van Veronica Ngo) di akhir film, tapi, buat KINCIR, adaptasi ini terlalu singkat dan ringan buat semesta yang mau dibangun. Film ini memang enggak menyediakan jawaban soal kenapa ada mereka yang enggak bisa mati. Namun, yang ditampilkan pun jadi terlalu kasar buat sebuah pembukaan.

Charlize Theron yang memerankan Andy memang jadi sorotan, tapi KINCIR rasa ini juga bukan penampilan terbaiknya. Keempat karakter lainnya pun jadi kayak menempel kepada Andy tanpa alasan karena kurangnya pembangunan karakter Andy. Durasi 120 menit jadi terbuang cuma karena melewatkan bagian penting dari Andy yang seharusnya didramatisasi.

***

Buat menemani masa-masa pandemi ini, The Old Guard di Netflix ini jelas bisa jadi tontonan yang menghibur. Sayangnya, buat sebuah film aksi, film ini standar aja dan enggak memberikan kepuasan yang seharusnya. Namun, buat KINCIR, Charlize Theron tetap badass, kok!

Kalau menurut kalian bagaimana? Bagikan pendapat kalian di kolom komentar, ya!

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.