*Spoiler Alert: Artikel ini mengandung sedikit bocoran film yang bisa aja mengganggu buat lo yang belum nonton.
Cerita: 7 | Penokohan: 7 | Visual: 9 | Sound Effect/Scoring: 7 | Penyutradaraan: 7 | Nilai Akhir: 7,4/10
Udah enggak mengherankan jika film bertema fiksi-sains atau monster urung memikirkan logika. Berkhayal pun udah menjadi hal yang wajib lo lakukan saat menontonnya. Namun, tentu berkhayal ada batasnya. Begitu pun logika dalam film. Sebuah film harus memiliki logikanya sendiri agar memiliki batasan mana yang masuk akal dan yang tidak. The Meg bisa dibilang berusaha keras menghiraukan batasan tersebut demi sajian sinematis yang menghibur.
The Meg adalah film dengan premis teror ikan hiu raksasa yang mengancam peradaban manusia. Tak terasa udah 43 tahun sejak Steven Spielberg merilis foto ikonisnya yang membuat Jaw (1975) begitu melegenda sebagai film bertema ikan hiu. Film ini berusaha menghidupkan kembali teror yang sama dengan mengadaptasi novel karya Steve Alten dengan judul yang sama.
Kisahnya berfokus pada impian manusia untuk mengeksplorasi dunia bawah laut yang belum pernah dijelajahi sebelumnya. Sayang, upaya tersebut tak berjalan mulus setelah mereka tahu ada monster purba yang selama ini masih berenang bebas di lautan dalam setelah dianggap punah.
Megalodon, atau dengan panggilan gaul "Meg" di film ini, adalah tersangka utamanya. Ikan hiu purba berukuran hampir 30 meter ini pun menjadi bintang utama lewat terapi teror tanpa henti terhadap Jonas Taylor (Jason Statham), Suyin (Li Bingbing), dan seluruh umat manusia.
Sebelum membahas lebih dalam, harus diakui film ini sangat menghibur. Bisa dibilang The Meg adalah kombinasi unik antara tema monster, adegan aksi yang memicu adrenalin, teror mencekam, serta humor di setiap adegannya.
Untuk film dengan biaya produksi 150 juta dolar, secara visual The Meg berhasil mencapai ekspektasi. Memang ada beberapa adegan yang sangat terlihat efek komputernya. Namun, semuanya ditampilkan dengan sangat rapi. Sejujurnya, penulis enggak berekspektasi tinggi dan bahkan mengira efek komputer akan enggak sebagus ini. Ternyata dugaan tersebut salah dan film ini terlihat apik. Terlebih dengan adegan aksi yang membuat efek makin terlihat mencengangkan.
The Meg sukses mengombinasikan elemen horor dan humor menjadi satu kesatuan yang padu. Secara keseluruhan, teror dan horor yang disajikan enggak begitu terasa, terlebih jika dibandingkan dengan film sejenis seperti Jaw. Namun, beberapa adegan aksi sekaligus humor berhasil mengundang decak kagum dan tawa lepas penontonnya.
Sayangnya, humor yang ada di film ini akan terasa norak jika lo memang punya selera humor yang tinggi. Beberapa lelucon terkesan dipaksakan dan dibuat-buat.
Ada satu hal lain yang membuat film ini terasa begitu menghibur, yaitu ketidaklogisannya. Bahkan, levelnya bisa dibilang seperti tanpa batas. Meski terasa mengada-ngada, hal itulah yang bikin semuanya terasa epik karena lo akan merasa geregetan sendiri saat menontonnya.
Seperti yang udah dibahas di atas, The Meg seakan tak begitu memedulikan logika lo sebagai manusia cerdas. Ada cukup banyak adegan yang terjadi begitu aja sehingga membuat lo akan menggeleng-gelengkan kepala dan bingung kenapa hal tersebut bisa terjadi begitu saja.
Lo bisa ambil logika dasarnya dari tema film ini secara keseluruhan. Karakter yang ada di film ini sebenarnya tahu ada monster berbahaya di bawah laut sana yang mengancam nyawa mereka. Namun, mereka seakan enggak peduli sama keberadaan monster tersebut dan justru masuk ke 'sarangnya'. Pertanyaannya, kenapa enggak mengandalkan robot seperti apa yang dilakukan oleh ilmuwan bawah laut di dunia nyata?
Ada juga adegan yang cukup 'epik' saat satu karakter menyatakan dengan jelas kalau semua orang harus menjauh dari laut untuk menghindari serangan si Meg. Enggak lama setelahnya, "Persetan dengan semua ini, ayo kita pergi ke laut!".
Harusnya, dan bahkan udah pasti mereka tahu kalau lawan mereka adalah ikan hiu raksasa dari zaman purba yang ganas. Si Meg ini juga digambarkan sangat haus darah dan sangat sensitif terhadap gerakan. Namun, Jonas tanpa ragu berenang di laut untuk menandakan si Meg dengan pelacak.
Lucunya, sutradara Jon Turteltaub seakan tak mampu menggambarkan situasi mencekam di beberapa adegan yang sebenarnya berpotensi menjadi sajian horor yang epik. Seharusnya, para karakter yang ada di film ini merasa ketakutan jika berada di air karena ada si Meg yang siap menelan lo bulat-bulat. Namun, saat berada di air, semua karakter justru diperlihatkan sangat rileks seakan tak ada apa-apa di bawah sana.
Ada yang unik dalam film ini dari segi penokohan. The Meg menggunakan formula penokohan yang enggak jauh beda seperti film bertema monster pada umumnya. Ada jagoan utama macho, cewek cantik, bocah polos, si cerewet, si cerdas, dan tokoh konyol yang selalu terzalimi. Meski udah terbaca, formula ini terbukti sukses membuat penonton terhibur.
Lebih uniknya lagi, entah kenapa Turteltaub memilih aktor yang bisa dibilang seperti versi 'bootleg' aktor legendaris. Sebut saja karakter Jack Morris (Reiss Wilson) yang mirip Jack Nicholson, atau karakter DJ (Page Kennedy) yang mirip Ice Cube. Tentunya keduanya enggak bisa disamakan dari segi akting.
Penokohan Morris juga menjadi titik lemah film ini. Masalahnya, sepanjang film perannya sangat ‘abu-abu’. Dari perannya, dia jelas enggak diplot jadi karakter jagoan lewat sifat ngeselinnya sebagai bos. Namun, dibilang jahat pun juga enggak karena kurang licik.
Begitu juga dengan karakter Shuyi yang diperankan oleh Li Bingbing. Siapkan diri lo untuk dibuat geleng-geleng kepala dengan semua keputusan yang dia buat. Namun, harus diakui kehadirannya mampu mengimbangi Statham sebagai bintang utama.
Secara keseluruhan, film ini memang penuh klise. Entah itu disengaja atau enggak. Beberapa adegan memang ada yang terasa mengganggu. Namun, ada juga adegan yang tingkat klisenya udah kelewat batas hingga membuatnya jadi menggelak tawa penonton. Inilah yang bikin The Meg begitu menghibur. Ditambah aksi dari Jason Statham yang membuktikan dirinya sendiri bahwa dia adalah orang yang tepat untuk mengisi posisi jagoan utama film ini.
Kalau lo mau nonton film ini, sangat disarankan untuk membuang jauh-jauh logika lo. Sebab, makin lo menghiraukan semua hal rasional yang ada di kepala lo, makin luar biasa film ini di mata lo.