*Spoiler Alert: Artikel ini mengandung bocoran film yang bisa aja mengganggu buat lo yang belum nonton.
Cerita: 8 | Penokohan: 8 | Visual: 7 | Sound Effect/Scoring: 7 | Nilai Akhir: 7,5/10
Keberanian Ernest Prakasa dalam menggarap film komedi keluarga patut diapresiasi. Apalagi, sepak terjangnya di film komedi, Ngenest (2015) dan Cek Toko Sebelah (2016), bisa dibilang berhasil nunjukin kualitasnya di ranah sinema. Kali ini, lewat film terbarunya, Susah Sinyal, Ernest kembali unjuk bakat lewat film komedi keluarga bersama Starvision.
Posisi Ernest ngerangkap sebagai sutradara, penulis skenario, dan pemain. Mungkin awalnya ini terkesan ambisius dan perfeksionis sebagai sineas baru. Namun, kerja kerasnya terbayar dengan hasil yang sepadan. Filmnya berhasil menarik antusiasme masyarakat di tengah film-film akhir tahun lain yang enggak kalah seru.
Dalam proyeknya, Ernest juga menggandeng sang istri, Meira Anastasia, untuk mendampinginya terjun langsung membuat naskah. Kalau dalam dua film sebelumnya, Meira hanya membantu dalam pengembangan cerita. Kali ini, Meira punya porsi lebih besar.
Sinopsis: Susah Sinyal bercerita tentang enggak harmonisnya hubungan antara Ellen (Adinia Wirasti) sebagai ibu dari remaja 17 tahun, Kiara (Aurora Ribero). Sebagai single parent, Ellen terlalu sibuk mencari nafkah dan meraih kariernya. Makanya, hubungan dia bersama sang anak jadi berjarak dan enggak harmonis. Namun, semua berubah ketika Ellen mengajak Kiara berlibur ke Sumba sebagai misi merekatkan hubungan ibu dan anak sebagaimana mestinya.
Dari segi cerita, film ini ngasih gambaran mengenai kehidupan keluarga yang banyak terjadi saat ini: seorang anak kurang mendapat kasih sayang orangtuanya meski segala kebutuhan dia yang lainnya udah terpenuhi. Lalu, ada pula dampak baik dan buruk dari adanya media sosial serta potret orang kota dan orang pedalaman. Film ini juga menyinggung isu rasisme.
Meski kesannya berat, semua gambaran tersebut dibalut komedi sehingga film jadi ramah keluarga. Namun, lawakan di dua film sebelumnya sedikit dikurangi. Gaya lawakan di film ini sering kali absurd dan receh. Enggak sedikit banyolan yang bikin ketawa jadi gagal. Yap, ini masalah selera aja, kok!
Enggak kayak dua film sebelumnya yang punya candaan satir berbau kritik sosial. Bisa jadi, ini karena Ernest pengen bikin gaya komedi yang berbeda dari yang lainnya. Ditambah kehadiran para komika. Ernest tepat buat ngasih sesi tampil rekan-rekan komikanya, namun enggak mengorbankan inti cerita.
Yap, nama-nama komika, seperti Dodit Mulyanto, Ge Pamungkas, Arie Kriting, Abdur Rasyid, Acho, Rispo, Aci Resti, muncul dalam film ini. Ada pula aktor dan aktris ternama sebagai ajang reuni dari film Cek Toko Sebelah, seperti Adinia Wirasti, Chew Kinwah, Asri Welas, Gisella Anastasia, dan Gading Marten. Makin lengkap dengan kedatangan pemeran baru yang enggak perlu lagi diraguin, yaitu Aurora Ribero, Refal Hady, Valerie Thomas, Niniek L. Karim, dan Darius Sinathrya. Bertabur bintang, ‘kan?
Meski punya visual yang enggak beda dari film lokal lainnya, film ini menyuguhkan keindahan Indonesia. Tepatnya, pemandangan Sumba yang memukau beserta budayanya. Hal itu jadi warna tersendiri dalam karya Ernest yang jadi penyeimbang latar perkotaan.
Film komedi keluarga ini enggak hanya bikin lo ngakak, tapi juga bikin hati lo tersentuh. Ada dua isu sentral yang dibawa Ernest. Pertama, lo akan teringat pentingnya kehadiran orangtua, khususnya nyokap. Yang sebenarnya dibutuhkan dari seorang anak bukanlah kebahagiaan semu yang diciptakan melalui pemberian materi, melainkan kebahagiaan abadi yang hanya tercipta melalui interaksi dan waktu.
Pesan itu juga diperkuat dengan adanya konflik perebutan hak asuh anak antara Sandra (Gisela Anastasya) dengan Marco (Gading Marten). Sandra yang diceritakan sebagai artis sinetron yang sedang naik daun kalah dalam persidangan. Sang anak lebih memilih bokapnya lantaran dalam kesehariannya Sandra terlalu sibuk stripping sinetron dan bersenang-senang dengan kemewahannya.
Kedua, isu teknologi, khususnya keberadaan gawai. Selama ini, keberadaan gawai kerap dikambinghitamkan sebagai bentuk pergeseran budaya interaksi. Ernest ngegambarin adanya kesulitan akses sinyal lewat kisah Ellen dan Kiara berlibur berdua ke Sumba yang susah dijangkau internet. Justru, inilah yang bikin komunikasi lebih terjalin antara keduanya.
Bukan berarti Ernest menyampaikan anggapan bahwa gawai itu berdampak negatif. Soalnya, dia juga nunjukin adanya manfaat gawai saat ini yang bisa menghasilkan rezeki. Yap, lewat film ini, Ernest layaknya negasin bahwa kesalahan pergeseran budaya bukan pada perkembangan teknologi itu, melainkan kebijaksanaan manusia dalam menggunakannya. Semuanya selalu ada pilihan.
Ada satu yang enggak bisa dibeli dengan uang. Ada satu yang lebih berharga ketimbang uang. Ada satu hal yang bisa kita berikan kepada orang lain, yang bisa kita habiskan demi orang lain, dan sama sekali enggak membuat kita rugi. Hal itu adalah waktu.
Nah, buat lo yang pengen seru-seruan bareng keluarga dan teman-teman, lo bisa jadikan film Susah Sinyal sebagai tontonan di akhir tahun. Film ini udah tayang sejak 21 Desember 2017, pas banget rilis menjelang Hari Ibu. Yuk, kumpul asyik bareng keluarga! Mumpung masih ada waktu!