*Spoiler Alert: Artikel ini mengandung sedikit bocoran film yang bisa aja mengganggu buat lo yang belum nonton.
Cerita: 8 | Penokohan: 8 | Visual: 7 | Sound Effect/Scoring: 7 | Nilai Akhir: 7,5/10
Film Silariang: Cinta yang (Tak) Direstui jadi film segar yang menampilkan salah satu kebudayaan di Indonesia. Ide cemerlang Wisnu Adi dan Ichwan Persada sebagai sutradara dan produser film ini jadi suatu tantangan untuk bikin film yang kental dengan isu-isu lokal. Memang, enggak mudah bikin visualisasi kearifan lokal dalam suatu tayangan yang bisa dinikmati secara universal dan sesuai zaman.
Lewat film ini, Wisnu dan Ichwan berani ngangkat budaya Bugis Makassar yang dikemas dalam drama romantis. Kalau lo mikir, film drama di Indonesia yang kebanyakan dialog menye-menye, justru film ini lebih nunjukin nilai budaya dan religius suatu budaya. Bisa dibilang, film ini hampir mirip dengan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (2013) milik Sunil Soraya.
Wajar kalau lo yang bukan berasal dari Makassar ngerasa asing dengan judulnya. Yap, sesuai judulnya, film ini udah ngerepresentasiin isinya. Istilah silariang merupakan bahasa Makassar yang berarti “kawin lari”. Isu yang enggak lekang oleh zaman di kalangan Bugis Makassar ini berkisah tentang dua pasangan insan yang enggak direstui karena perbedaan strata sosial.
Sinopsis: Yusuf, putra tunggal pengusaha kaya, menjalin hubungan cinta dengan Zulaikha, seorang putri bangsawan Bugis yang masih kuat memegang adat. Garis darah yang enggak sederajat itu bikin cinta keduanya menghadapi tembok penghalang. Cinta yang terhalang bikin mereka membuktikannya dengan silariang.
Sebenarnya, tema mengenai silariang bukanlah hal baru di industri kreatif Tanah Air. Sebelumnya, pada 1970-an, sastrawan terkenal asal Makassar, Rachman Age, udah mengangkatnya dalam sebuah cerita pendek. Lalu, Nurhadie Irawan juga pernah buat film yang berjudul Jangan Renggut Cintaku (1990) yang berhasil dapat penghargaan Piala Citra pada 1990.
Kolaborasi Wisnu dan Ichwan ini sebenarnya bukanlah hal yang sulit bagi mereka. Soalnya, keduanya pernah kerja bareng lewat Miracle: Jatuh dari Surga (2015). Ditambah, Oka Aurora sebagai penulis naskah butuh waktu lama untuk ciptain film ini. Mereka harus ngelakuin riset mendalam mengenai budaya Bugis Makassar yang benar-benar kental dengan adatnya.
Kesederhanaan cerita ini jadi daya tarik Silariang: Cinta yang (Tak) Direstui. Film ini mengangkat realita kehidupan yang sering terjadi di kehidupan kita. Cerita tentang cinta pun akhirnya jadi sangat rumit. Cerita tentang keluarga, sosok ibu, perkawinan siri, dan bibit-bebet-bobot adalah hal yang biasa terjadi, namun bikin hidup makin kompleks.
Segi cerita, film ini menawarkan kisah yang serius. Bahkan, meski filmnya drama romantis, lo enggak akan nemuin adegan ciuman kayak film-film lainnya. Dialog-dialog yang dibangun juga enggak lebay kayak cerita sinetron. Mayoritas plot yang disajiin mengedepankan kisah silariang khas Bugis Makassar.
Tentunya, hal tersebut didukung dengan adat Bugis Makassar yang kental dengan nilai-nilai religius. Lo bakal lebih nemuin pesan moral lewat dialog atau pun adegan, dibanding adegan dewasa receh yang bikin lo geleng-geleng kepala. Sisi humoris film ini pun enggak membosankan, justru hadir lewat kekhasan pemain.
Wisnu berhasil ngebangun cerita meski bukan berasal dari Makassar. Bahkan, dia berani ngangkat tema silariang ini. Mengingat, silariang dalam adat Bugis Makassar bukanlah hal yang sederhana. Saking adiluhungnya, cerita yang dibangun juga harus hati-hati. Misalnya adegan tentang upacara Mabbarata.
Bersama Oka, Wisnu bisa dibilang berhasil ngangkat silariang sesuai dengan perkembangan zaman. Atmosfer film pun dibuat kekinian, namun tetap mempertahankan tradisi. Kalau lo suka cerita tentang budaya, film ini bisa bikin lo bengong karena terkesima dengan ceritanya.
Lo juga bakal dimanjain dengan visual dari pemandangan Makassar. Tepatnya Rammang Rammang, lokasi sentral film ini. Berada di daerah Maros, daerah ini menyajikan pesona pegunungan karst yang begitu luas dengan sungai dan area sawah yang indah di sekitarnya.
Sayangnya, penataan kameranya agak mengganggu. Namun, hal itu enggak mengurangi kualitas cerita kok! Bisa jadi, film ini dibikin enggak pakai dana besar. Jadi, cerita sederhana pun dibuat dengan benar-benar sederhana. Namun, ini hanyalah permasalahan teknis.
Ada juga beberapa plot cerita yang terkesan ngegantung dan seperti dipaksakan demi formalitas. Kalau lo termasuk orang Bugis Makassar, lo bakal nganggap masalah silariang sebenarnya lebih rumit dan kompleks dibanding yang ada dalam film ini. Namun, buat standar film Indonesia, film ini patut diperhitungkan.
Ditambah, pemeran filmnya juga bukan aktor dan aktris yang biasa aja. Wisnu juga berhasil mengarahkan pemain untuk benar-benar menjiwai sebagai masyarakat Bugis dengan gaya dan dialek yang apik. Tenang aja, lo enggak bakal ketemu sama aktor dan aktris yang biasa ada di FTV atau sinetron, kok!
Film ini dibintangi oleh selebritas muda, seperti Bisma Karisma dan Andania Suri. Ada pula kehadiran aktris peraih Piala Citra, Dewi Irawan, yang bikin film ini terasa semakin sempurna. Selain itu, film tersebut juga didukung sejumlah aktor dan aktris lokal berbakat asal Makassar, seperti Nurlela M. Ipa, Muhary Wahyu Nurba, Sese Lawing, Cipta Perdana, dan Fhail Firmansyah.
Mereka berhasil nunjukin kualitas film lewat akting yang dijalaninya. Meski beberapa bukan asli dari Bugis Makassar, para pemeran berhasil menjiwai dan ngasih nilai-nilai moral lewat adegan yang dilakukan, bahkan ngena di hati penonton. Yap, isu-isu mengenai nilai adat, harga diri, cinta seorang ibu, dan keluarga bisa bikin lo tersentuh kala nonton film ini.
Film yang dibuat oleh Inipasti Komunika dan Indonesia Sinema Persada ini jadi film pertama kolaborasi antara rumah produksi Makassar dengan Jakarta. Film sederhana ini enggak mengharuskan lo mikir keras. Lo cukup nikmatin dialog yang terasa seperti syair dengan pemandangan yang memukau.
Film ini cocok buat lo yang suka film budaya dengan genre drama romantis. Film yang dikemas kekinian ini rencananya bakal pada 18 Januari 2018. Film ini ngasih nilai respek atas segala sesuatu. Saat kita berani berjuang untuk sesuatu yang kita yakini, itulah kemenangan yang sejati. Nilai kepedulian yang kini udah luntur antara orangtua dan anak pun kembali dikuatkan lewat film ini.
Sebuah kiriman dibagikan oleh Film Silariang 18 Januari 2018 (@silariangthemovie) pada
Nah, buat yang penasaran dengan film ini, lo bisa ajak teman-teman, gebetan, dan keluarga lo untuk family time dengan nonton Silariang: Cinta yang (Tak) Direstui di bioskop favorit. Apalagi buat lo yang termasuk pelaku silariang, film ini bisa bikin lo nostalgia!